History

Jejak AM Sangadji Calon Pahlawan Nasional dari Maluku di Samarinda

KLIKSAMARINDAJalan AM Sangaji terkenal di Samarinda, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Jalan itu ada di wilayah Kecamatan Sungai Pinang.

Publik Samarinda lumrah mendengar dan mengucapkan nama jalan tersebut. Sebagian besar barangkali mengenalnya sebagai sosok seorang pahlawan.

Benar perkiraan jika AM Sangadji adalah seorang pahlawan. Namun menjadi pertanyaan kemudian, dari mana asal AM Sangaji berasal sehingga bisa menjadi nama jalan di Kota Tepian?

Mungkin ada yang mengira jika AM Sangadji berasal dari Samarinda. Tetapi, tunggu sebentar.

Ada fakta bahwa Maluku pada tahun 2021 lalu mengusulkan nama AM Sangadji sebagai penerima gelar Pahlawan Nasional.

Ada sebuah momentum yang membuka tabir siapa sosok AM Sangadji di Samarinda sebenarnya. Momentum itu adalah ketika seorang pengajar dari Universitas Patimura, Ambon Maluku mendatangi Kantor Perpustakaan dan Kearsipan kota Samarinda.

Nama intelektual Maluku itu adalah Dr. Sem Touwe. Beliau bersama tim berkunjung ke Samarinda dalam rangka riset dan pengumpulan bahan studi sejarah tentang A.M. Sangadji.

Salah satu tujuannya adalah Perpustakaan Kota Samarinda. Dari keterangan tertulis pihak Perpustakaan Kota Samarinda, Dr. Sem Touwe menyatakan dalam perjalanan hidupnya, AM Sangadji pernah tinggal dan berkiprah di Samarinda.

“Mengelola pendidikan di Samarinda, tepatnya pada tahun 1920,” demikian Dr. Sem Touwe menyatakan seperti dirilis Dinas Perpustaan dan Kearsipan Samarinda, 14 April 2022.

Dr. Sem Touwe beserta tim berkunjung ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Samarinda mencari bahan literatur dan informasi dalam rangka pengusulan A.M. Sangadji menjadi pahlawan nasional.

Jauh sebelum kedatangan Dr. Sem Touwe ke Samarinda, rupanya publik Maluku telah mengusulkan AM Sangadji untuk menjadi Pahlawan Nasional kepada Kementerian Sosial Agustus 2021. Pengusulan itu sendiri merupakan pengulangan sejak pengusulan awal pada 20 tahun lalu.

DPRD Maluku pun telah berupaya mendorong rencana penabalan AM Sangadji sebagai Pahlawan Nasional dan mengawalnya hingga ke tingkat pusat.

“Agar proses selanjutnya bisa final sampai ke Kementerian Sosial,” ujar Wakil Ketua DPRD Maluku, Abdul Asis Sangkala, Senin 9 Agustus 2021, melalui iNews.

Seperti di Samarinda, Nama AM Sangaji juga menjadi penanda jalan protokol di beberapa di Indonesia. Setidaknya nama Jalan AM Sangaji ada di Kota Ambon dan Yogyakarta, hingga Solo.

Siapa AM Sangadji
Dari keluasan literasi digital saat ini, melacak jejak AM Sangadji memiliki peta beragam. Namun beberapa fakta bisa disajikan sebagai rangkaian kisah tentang sosok satu ini.

Abdoel Moethalib (AM) Sangadji merupakan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia era tahun 1920-an. AM Sangadji lahir 3 Juni 1889 di Desa Rohomoni, Uly Hatuhaha, Pulau Haruku, Maluku Tengah.

Darah yang mengalir di tubuh AM Sangadji adalah darah seorang reghent/raja negeri Rohomoni, Abdoel Wahab Sangadji. Ibu AM Sangadji juga merupakan putri Raja Negeri Siri Sori Islam, Siti Saat Pattisahusiwa.

Sangadji sendiri berarti gelar untuk wakil Kesultanan Ternate pada masanya di Pulau Haruku (Nusa Hatuhaha). Gelar itu diperoleh dari pihak Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan & Kesultanan Jailolo (Maluku Utara).

Abdul Muthalib Sangadji (AM Sangadji) adalah Keturunan dari Salah Satu SANGAJI SULA (Sanana) yang ditempatkan di Pulau Haruku (di bawah Keresidenan Ambon) oleh pihak Kesultanan Ternate.

Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Ternate, SANGAJI adalah pejabat setingkat gubernur yang bertanggung jawab dan menangani masalah-masalah luar negeri termasuk daerah taklukan. Sangaji juga kerap menjabat sebagai Menteri Urusan Luar Negeri.

Dalam kanal Youtube Ruang Bicara berjudul “Jejak Kepahlawanan A.M SANGADJI Guru Para Tokoh Bangsa”, penelusuran jejak AM Sangadji rupanya telah dilakukan para anggota keluarga AM Sangadji.

Menurut cicit AM Sangadji, Muhammad Kamil Mony, penelusuran awal itu telah dilakukan oleh kakeknya, anak AM Sangadi sejak 1994. Penelusuran berawal keluarga AM Sangadji di wilayah Kalimantan Timur, yaitu Samarinda dan Tenggarong.

Di dua wilayah itu, Samarinda dan terkhusus di Kutai Kartanegara ada salah satu pelaku sejarah yang membersamai AM Sangaji. Dia adalah H. Oemar Dahlan, seorang wartawan media massa Pewarta Borneo yang dalam literasi kewartawanan memiliki banyak data dan referensi tentang Kalimantan masa perjuangan Kemerdekaan.

Menurut Muhammad Kamil Mony, Oemar Dahlan adalah sekretaris pribadi AM Sangaji di Tenggarong, Kutai Kartanegara.

“Dari Oemar Dahlan, saat itu kami banyak menerima dokumentasi sejarah. Ada foto AM Sangadji bersama 20 orang tokoh pemuda keluar dari tahanan pendudukan Jepang tahun 1942. Ada juga beberapa foto AM Sangadji dalam keaktifan mendirikan Syarikat Islam di Samarinda,” ujar Muhammad Kamil Mony, 18 Desember 2021.

Muhammad Kamil Mony menerangkan, ada satu monumen perintis kemerdekaan AM Sangadji ketika berjuang di sana. Rumah itu dijadikan monumen oleh Pemkab Kukar.

“Oemar Dahlan memiliki adik kandung Ahmad Dahlan yang menjadi kepala daerah di Kukar. Oemar Dahlan berwasiat kepada AM Sangaji yang akrab disapa Tuan Guru Sangaji di Tenggarong harus ada sebuah monumen yang harus diwariskan kepada generasi selanjutnya supaya bisa mengetahui tokoh besar,” ujar Muhammad Kamil Mony.

Pada 1909, A.M.Sangadji mulai bekerja di sebuah jawatan pemerintah Hindia Belanda bidang hukum. AM Sangadji sebagai panitera pengadilan (griffir landraad), Landraad Saparua, Kota Ambon.

Muhammad Kamil Mony menyatakan, kakak dari Abdoel Moethalib bernama Abdullah Sangadji merupakan Commise Controleur atau Asisten Wedana di Tenggarong Kukar tahun 1912. Mulai tahun itu pula, AM Sangadji mulai mengetahui Kalimantan Timur karena kerap mengunjungi kakaknya di Tenggarong.

Pada 1919 hijrah atas inisiatif sendiri ke tanah Jawa yakni, Surabaya. Pria berjuluk Jago Toea ini mulai menjadi aktivis pejuang pergerakan senior bersama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan Hadji Agus Salim sehingga mendapatkan julukan Trio SI: Tjokro-Salim-Sangadji, sebutan yang disematkan Mr. Moehammad Roem saat itu.

AM Sangadji terlibat diskusi panjang dengan dua sahabat karibnya, di Rumah Peneleh Nomor 29-31. Rumah Peneleh di Surabaya itu menjadi laboratorium intelektual tempat calon pendiri bangsa seperti Tan Malaka, Semaun, Soekarno, SM Kartosuwirjo, Alimin dan lain-lain berguru dan menimba ilmu.

AM Sangadji juga menjadi pendiri organisasi Sarikat Islam yang sebelumnya disebut Sarikat Dagang Islam (1912). Dia turut mendirikan SI bersama tokoh nasional lainnya seperti Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, dan Soerjopranoto.

Menjadi catatan tersendiri bahwa Presiden RI pertama, Ir. Soekarno saat di Peneleh memanggil AM Sangadji dengan sebutan paman atau “Om”. Hal itu menurut Muhammad Kamil Mony menandakan kedekatan mereka saat berada di Peneleh, Rumah Perjuangan HOS Tjokroaminoto bersama calon-calon pemimpin bangsa.

Mereka diketahui kemudian telah lebih dulu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

AM Sangaji dikenal sebagai tokoh pejuang perintis kemerdekaan. Dia memiliki latar belakang pendidikan Belanda. AM Sangadji sempat ikut sebagai peserta dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Jakarta.

AM Sangaji mengenyam pendidikan dasar sekolah Belanda yang bernama HIS dan sempat melanjutkannya sampai tingkat menengah atau disebut MULO. Namun, dia tidak sempat melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi dan terjun ke dunia politik dan pendidikan.

Dia aktif mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR) di Samarinda. A.M. Sangaji melalui Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rajat (BPPR) mengelola Neutrale School atau Neutrale School Vereniging (NSV) sebagai tempat pendidikan anak-anak sekolah dari kalangan bumiputera atau pribumi.

Saat itu pendidikan masih mengalami diskriminasi dari Belanda. AM Sangadji dibantu tokoh pemuda di Kaltim saat itu, yaitu Abdoel Moeis Hassan.

Dalam sebuah foto yang dimiliki Muhammad Kamil Mony, AM Sangadji tampak berfoto di depan sekolah BPPR Samarinda. Pada papan di depan sekolah itu tertulis Neutrale School Juli ’37.

Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, AM Sangaji harus melakukan perjalanan dari Samarinda Kaltim menuju ke Banjarmasin Kalsel untuk bertemu dengan pemimpin BPRI.

Dalam perjalanan itu, ada 3 rombongan besar yang dikomandoi A.M. Sangaji. Misi mereka adalah kampanye dan memberitahukan proklamasi Indonesia Merdeka, mengibarkan bendera merah putih, dan memberikan kesadaran perjuangan kemerdekaan kepada rakyat di daerah-daerah yang dilalui.

April 1946, polisi Belanda menangkap dan memenjarakn A.M. Sangaji di penjara Banjarmasin. Penjara Banjarmasin itu kini menjadi Gedung Pos Besar Banjarmasin.

Saat itu, penjara Banjarmasin penuh dengan tawanan penangkapan besar-besaran oleh Belanda pasca pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.

“Keadaan kami ketika itu dalam penjara adalah sebagai dalam daerah merdeka, daerah Republik, di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada dokternya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit yang menjadi isi tempat tahanan itu,” ujar AM Sangaji dilaporkan Majalah Mandau terbitan Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) Yogyakarta (1948).

AM Sangaji kemudian keluar penjara Banjarmasin dan melanjutkan perjuangan di Pulau Jawa. Di Jawa, dia memimpin Laskar Hisbullah di Yogyakarta.

AM Sangaji wafat karena ditembak militer saat Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta tahun 1947 dan dimakamkan di Yogyakarta.

“Fakta-fakta ini perlu diketahui generasi muda supaya tidak terjadi distorsi sejarah,” ujar Muhammad Kamil Mony. (dui)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status