Guru Merdeka
Opini: Rizal Effendi
Cucu saya, Defa dan Dafin, malas-malasan bangun pagi. Ketika pagi-pagi saya menemui mereka Jumat 25 November 2022 lalu, keduanya baru bangun mendengar saya datang. Saat disuruh mandi, mereka dorong-dorongan. “Abang aja yang duluan mandi,” kata Afin. “Enak aja, giliran Afin yang duluan, ‘kan kemarin Abang,” kata Defa.
Mereka memang lagi santai. Semua sekolah diliburkan. “Hari ini hari guru, Kai, gurunya upacara,” kata keduanya hampir serentak. Memang kalau guru upacara serentak, anak-anak tak sekolah. Maklum tidak ada yang menjaga dan mengajar.
Hari Guru memang ditetapkan diperingati setiap tanggal 25 November sekaligus hari lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sejarahnya merujuk kepada Kongres Guru Indonesia di Surakarta, 24-25 November 1945.
Dalam kongres yang mempertemukan berbagai organisasi guru yang ada waktu itu, lahirlah PGRI. Karena itu, melalui Keputusan Presiden No 78 Tahun 1994, ditetapkan juga sebagai Hari Guru Nasional untuk mendukung perjuangan guru di Indonesia.
Mengutip pgri.0r.id, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan sebenarnya sudah ada organisasi perjuangan guru-guru. Setidaknya pada tahun 1912 ada yang namanya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Lalu menyusul kemudian Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Ambachtsschool (PGAS), serta berbagai organisasi guru berbasis keagamaan dan kebangsaan seperti Christelijke Onderwijs Vereneging (COV) dan Katolieke Onderwijsbond (KOB).
Semua organisasi itu akhirnya bersatu di dalam organisasi gabungan, PGRI. Karena itu, PGRI menjadi salah satu organisasi profesi dengan jumlah anggota terbesar. Bayangkan angkanya mencapai 3,3 juta orang. Hampir sama dengan jumlah penduduk Kaltim. Belum lagi guru honor yang jumlahnya di atas satu juta orang.
Meski PGRI nonpartai, toh menjelang perhelatan demokrasi tahun 2024, PGRI termasuk kue manis yang jadi rebutan. Calon presiden, parpol, dan politisi berusaha meraup suara sebanyak-banyaknya dari para guru. Janji manis bertaburan, tapi nasib guru sejauh ini belum terangkat dengan baik.
Saya jadi teringat waktu saya masih menjadi wali kota. Saya selalu menjadi inspektur upacara peringatan Hari Guru Nasional. Acara apa pun saya tinggalkan termasuk berangkat ke luar daerah. Kecuali ada hal yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, saya punya koleksi baju batik guru hampir 10 lembar. Baju yang didesain warna hitam putih itu ditaburi logo PGRI. Saya pakai setiap menjadi irup hari guru.
Ada tiga hal mengapa saya harus selalu menghadiri upacara hari guru. Pertama, saya menyadari betul peranan guru membangun kualitas anak bangsa. Kedua, saya menghargai betul pengabdian para guru sekalipun dia guru honor dengan gaji kecil tapi tidak pernah kendur mengajari anak-anak kita. Dan ketiga, ayah saya juga seorang guru. Guru SD.
Ayah saya, Suhaimi Effendi, di tahun 60-an menjadi guru di Gunung Malang, Samboja. Malah sempat menjadi kepala sekolah. Lalu pindah jadi guru di SDN Tjong Hwa Tjong Hwe Samarinda, yang belakangan jadi kompleks pertokoan Pinang Babaris dan ganti lagi menjadi lokasi Hotel Ibis dan Mercure. Kemudian sekolahnya tergusur ke SD 028 di Jalan Aminah Syukur.
Sebagai guru senior, ayah saya juga aktif menjadi pengurus PGRI Samarinda. Sampai akhirnya terpilih menjadi anggota DPRD. Satu angkatan dengan mantan gubernur Awang Faroek Ishak. Dulu Pak Awang sempat menjadi ketua PGRI Kaltim, yang ikut mengantarnya berkarier di arena politik.
Ayah saya bilang, guru adalah medan pengabdian yang abadi. Dia sangat mencintai profesi yang mulia itu. Sampai akhir hayatnya.
Kapan Merdekanya?
Dari Senayan, saya mendengar suara lirih penyanyi cantik Krisdayanti (KD) menyambut Hari Guru Nasional tahun 2022. “Masih ada guru yang bergaji Rp300 ribu sebulan. Itu guru honor ada di sekitar kita. Ada yang tinggal di lingkungan sekolah, di bagian toilet, sesuatu yang tidak pantas kita berikan kepada para guru,” kata anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi pendidikan dan kesehatan ini.
KD berharap Pemerintah ke depannya bisa memberikan kesejahteraan yang sepantasnya bagi guru. Sebab para guru termasuk guru honorer dengan kondisi kesejahteraan yang terbatas, masih dapat memberikan yang terbaik untuk anak didiknya.
Lebih jelas lagi, seperti yang diungkapkan Satriwan Salim, koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). “Pemerintah ingkar penanganan janji. Presiden Jokowi harus turun tangan menuntaskan karut marut nasib guru di Tanah Air,” katanya seperti dilansir medcom.id.
Menurut Satriwan, kesejahteraan guru khususnya guru honorer, masih jauh panggang dari api. Padahal, negara berutang besar dari mereka. Indonesia saat ini mengalami darurat kekurangan guru ASN, dan itu diisi atau diselamatkan dengan kehadiran tenaga guru honorer.
Tahun 2021, Indonesia membutuhkan satu juta guru ASN PPPK secara nasional. Tapi sialnya, hanya 293.860 guru yang lulus dan dapat formasi dari Pemda. Lebih mengenaskan lagi, sebanyak 193 ribu lebih guru lulus tes PPPK namun tak mendapatkan formasi hingga November ini.
“Janji Mendikbudristek dan Menpan RB akan mengangkat 1 juta guru ASN PPPK tinggal janji saja. Para guru honor seolah di-‘ghosting’ Pemerintah. Nasib 193 ribu guru itu terombang-ambing dengan kacaunya seleksi PPPK. Belum lagi guru madrasah swasta yang tak bisa ikut, terkesan diskriminatif,” kata Satriwan.
Program ASN PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) adalah program bagi mereka yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu. Paling singkat satu tahun dan bisa diperpanjang. Yang boleh ikut seleksi berusia antara 20 sampai 59 tahun.
Selain masih riuh tahap pengangkatannya, kesejahteraan guru honor pun dirasakan sangat miris. Mereka masih menerima gaji di bawah UMP/UMK daerah. Masih banyak yang menerima antara Rp500 ribu sampai satu juta rupiah per bulan. Padahal berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial lainnya.
Akibat kesejahteraan yang minim itu, kini terungkap bahwa banyak guru menjadi korban praktik pinjaman online (pinjol) ilegal. Hal itu diungkapkan Friderica Widyasari, anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen mengutip hasil riset No Limit Indonesia.
“Berdasarkan demografi, 42 persen yang terjerat pinjol ilegal adalah guru. Mungkin karena mereka butuh uang untuk keperluan hidup mendesak dan kebetulan ada dana pinjol yang bisa cair lebih cepat,” kata Widyasari.
Pinjol ilegal memang manis di awal, tapi benjol di masa penagihan. Selain bunganya tinggi, mereka tak segan-segan mengancam dan mempermalukan si peminjam. Itu baru saja juga dialami 311 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), yang terjerat pinjol bernilai miliaran rupiah.
Urusan kesejahteraan guru ini juga mengusik aktivitas Wali Kota Samarinda Andi Harun. Ia harus menghadapi demo ribuan guru yang menolak dihapuskannya tambahan insentif guru Rp700 ribu per bulan dari APBD. Doktor ilmu hukum alumnus UMI Makassar itu harus menghadapi situasi yang dilematis, sebab secara aturan dianggap double anggaran. “Demi Allah saya ingin insentif tetap ada, bahkan kalau bisa ditinggikan,” katanya.
Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim mengakui ada yang belum lancar dalam proses pengangkatan guru honorer. “Saya tidak menutup mata memang masih banyak hal yang harus disempurnakan. Karena itu kita harus gotong royong agar target kita satu juta guru diangkat sebagai ASN PPPK dapat segera terwujud,” begitu kata Mas Nadiem di bagian akhir sambutannya menyambut Hari Guru Nasional 2022.
Banyak guru honorer menilai sambutan Mas Menteri itu terasa hambar. Malah lebih terkesan basa-basi tanpa diwarnai semangat untuk segera menuntaskannya. “Kalau cuma begitu komentarnya, kapan guru honorer merdeka? Percuma layar Merdeka Belajar dibentangkan,” tandas mereka.
Dirgahayu Hari Guru Nasional 2022. Terima kasih, guruku, meski belum bisa tersenyum lebar. (*)