Revisi UU IKN
Opini Rizal Effendi
Belum lagi genap setahun usianya, terhadap Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah diusulkan revisi. Itu terungkap dalam rapat kerja bersama Badan Legislasi DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly di DPR RI, Jakarta, Rabu 23 November 2022 lalu.
“Pemerintah mengusulkan tambahan dua RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 karena adanya dinamika perkembangan dan juga arahan Presiden, yaitu rencana perubahan UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan RUU Pengadaan Barang dan Jasa Publik,” kata Yasona.
Lalu dijelaskan, alasan melakukan revisi. Menurut Yasona, Presiden Jokowi langsung yang meminta dilakukan revisi demi mempercepat pembangunan dan proses transisi ke ibu kota negara baru tersebut.
Lewat revisi, Pemerintah ingin menguatkan Otorita IKN. Ada beberapa ketentuan yang hendak ditambah seperti pengaturan kewenangan pengelolaan barang milik negara di IKN, termasuk juga soal pengelolaan kekayaan IKN yang dipisahkan.
Selain itu, juga menyangkut soal pembiayaan, kemudahan berusaha, fasilitas penanaman modal, ketentuan hak atas tanah yang progresif, serta adanya jaminan kelangsungan untuk keseluruhan pembangunan IKN.
UU IKN yang dinilai dengan pembahasan sangat singkat, disahkan DPR dalam rapat paripurna, yang berlangsung Selasa 18 Januari, awal tahun 2022 lalu. Tak sampai sebulan, tepatnya 15 Februari, Presiden Jokowi sudah menandatangani UU tersebut untuk dicatatkan dalam Lembaran Negara sebagai UU No 3 Tahun 2022. Itu berarti memang hanya sekitar 9 bulan usia UU tersebut, Pemerintah sudah mengajukan usulan perubahan.
Tapi sebagian besar fraksi di DPR memberikan dukungan. Ada enam fraksi yang langsung oke, yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP. “Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak, sementara Nasdem masih bersikap abstain,” kata Supratman Andi Agtas, ketua Badan Legislasi DPR.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf mengatakan, PKS, sejak awal pembahasan RUU, sudah menolak lantaran pengajuan dan pembahasannya terburu-buru dan minim partisipasi publik. Terbukti sekarang, belum benar-benar masuk ke tahapan pelaksanaan, ternyata sudah mengalami persoalan.
“Membahas undang-undang itu diperlukan kehati-hatian. Diperlukan pandangan dari semua komponen anak bangsa, bukan memburu yang penting selesai. Ini catatan merah kedua bagi DPR menyusul polemik UU Cipta Kerja,” kata Bukhori.
Hal yang sama juga disampaikan anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrat Achmad. “Pemerintah menunjukkan kinerja yang buruk karena UU No 3 belum genap setahun sudah direvisi. Apalagi usulnya sesudah Prolegnas Prioritas 2023 sudah disepakati 20 September lalu,” tambahnya.
Karena itu Fraksi Partai Demokrat mempertanyakan perubahan sikap pemerintah dan terkesan memaksakan revisi UU IKN mesti segera dibahas.
Sementara itu, Fraksi Nasdem yang semula abstain sudah menyatakan secara resmi menyetujui dilakukannya revisi UU IKN. “Kami butuh waktu untuk mempelajari substansi revisi UU IKN tersebut. Sebagai partai koalisi pemerintah jelas Nasdem mendukung usulan revisi,” kata Sekretaris Fraksi Nasdem Saan Mustopa.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad melihat tujuan Pemerintah melakukan revisi UU IKN sangat baikk( karena itu DPR setuju. “l implementasinya tepat dan juga waktu pengerjaannya, serta untuk mengumpulkan dananya bisa lebih mudah,” begitu dia melihat alasannya.
Kepentingan Kaltim
Terlepas dari polemik di tingkat pusat, bagi Kaltim revisi UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN membuka ruang bagi daerah memasukkan atau memperjuangkan apa yang selama ini tidak tertuang secara jelas dalam undang-undang tersebut.
Mantan gubernur Kaltara, Dr Irianto Lambrie, mengajak orang daerah berprasangka baik terhadap langkah revisi itu. Tapi dia juga mengingatkan agar hal ini menjadi pelajaran bagi pemerintah dan DPR, dan meminta agar UU Otonomi Daerah mendapat perhatian khusus terkait revisi UU IKN, yang akan dibahas.
Mantan sekprov Kaltim yang kini menjadi ketua Kerukunan Bubuhan Banjar Kalimantan Timur (KBBKT) itu, juga meminta agar kebijakan pengadaan lahan, penentuan status lahan, termasuk hak-hak adat masyarakat lokal perlu dicantumkan dalam UU IKN. “Pengalaman mengajarkan masalah konflik atau sengketa lahan dalam kegiatan pembangunan dan investasi selalu menjadi masalah krusial, rumit, dan kompleks,” jelasnya.
Saya belum mendapat kabar detail sikap Aliansi Pimpinan Ormas Daerah Kalimantan Timur (AORDA Kaltim), yang selama ini gigih mengawal proses pembangunan IKN. Menjelang pembahasan RUU IKN, AORDA sempat mengusulkan beberapa hal kepada Pansus DPR dan Pemerintah.
Tapi Ketua AORDA Mohammad Djaelani mengatakan, pihaknya tetap pada usulan sebelumnya agar UU IKN merujuk pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menerangkan bahwa IKN merupakan provinsi daerah khusus ibu kota atau daerah istimewa yang dipimpin gubernur dan DPRD.
“Persoalannya apakah dengan UU No 1 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, maka UU No 32 Tahun 2014 tetap berlaku? Ini yang masih kami kaji,” kata Djaelani.
Rektor Universitas Balikpapan (Uniba) Dr Isradi Zainal setuju atas revisi UU IKN. Ia yakin kebijakan itu didasarkan pada kebutuhan untuk mempercepat dan memperlancar pembangunan IKN.
“Kita berharap revisi UU IKN semakin memberi ruang kepada warga IKN dan sekitarnya bisa berkiprah dan tidak menjadi pelengkap dalam pembangunan IKN,” tandasnya.
Menurut saya, masalah ketidakpuasan kita soal kepemimpinan Otorita IKN bisa menjadi bahan yang bisa dipertimbangkan ke dalam revisi. Ada kesempatan kita mengusulkan perubahan pasal 9 yang menyebutkan Otorita IKN dipimpin oleh Kepala Otorita dibantu seorang wakil. Tidak ada salahnya kita usulkan wakil kepala otorita sebanyak dua orang. Tambahan satunya mewakili orang Kaltim. Jadi kita tidak cuma dapat jatah dua kursi di deputi saja.
Dalam UU IKN, nama Kalimantan Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) ada disebut-sebut dalam Bab X Ketentuan Peralihan pasal 3 dan 4. Itu berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan serta pungutan pajak dan retribusi yang bisa terus dilaksanakan sampai dengan penetapan pemindahan IKN.
Sepertinya masih perlu dimasukkan pasal pemberian perhatian khusus kepada Provinsi Kalimantan Timur, PPU, dan Kukar termasuk daerah penyangga dan kota satelit lainnya. Perhatian khusus yang saya maksud dalam pelaksanaannya, seperti pemberian insentif yang lebih besar, pendirian pusat-pusat pelatihan, paket Proyek Strategis Nasional yang lebih banyak dan perubahan skema Dana Bagi Hasil (DBH), seperti diperjuangkan Gubernur Isran Noor.
Pembangunan IKN harus bersamaan dengan pembangunan daerah sekitarnya. Sehingga tidak terjadi ketimpangan seperti Jakarta dengan daerah sekitarnya. Kemajuan yang diciptakan di IKN juga sejalan dengan kemajuan yang terjadi di daerah sekitarnya. Jangan sampai yang terjadi justru ketimpangan baru, yang makin ekstrem.
Partisipasi masyarakat lokal juga harus dibuka lebar. Dalam UU IKN soal partisipasi masyarakat ada di Bab VIII Pasal 37. Tapi partisipasi masyarakat tidak saja dalam bentuk konsultasi publik, musyawarah, dan penyampaian aspirasi saja, melainkan juga partisipasi memperoleh kesempatan bekerja dan berusaha. Harus diperjelas dan dipertegas partisipasi dalam bentuk kemitraan dan keterlibatan lain dalam pasal tersebut.
Mumpung proses pembahasan revisi UU IKN No 3 antara DPR dan Pemerintah masih dipersiapkan, seyogianya Kaltim segera menyusun usulannya secara resmi. Jangan-jangan dikebut lagi, malah kita kaya penumpang yang ketinggalan kereta. (*)