Opini

Antre Minyak

Opini Rizal Effendi

LENGKAP sudah penderitaan masyarakat saat ini. Ibu-ibunya sudah berbulan-bulan antre berjuang untuk mendapatkan minyak goreng. Sekarang nasib serupa dialami juga oleh bapak-bapaknya yang berprofesi sebagai sopir kendaraan komersial berbahan bakar solar. Mereka juga harus antre berhari-hari untuk mendapatkan minyak solar bersubsidi.

Baik di media sosial, maupun televisi berita antre minyak goreng dan solar terus menjadi trending di berbagai daerah. Malah sebagian televisi banyak memfokuskan pemberitaan antrean solar bersubsidi di Balikpapan. Alasannya juga berbau paradoks sama seperti minyak goreng, “tikus mati di lumbung padi.”

Bayangkan, Balikpapan itu memiliki kilang BBM Pertamina RU (Refinery Unit) V yang menghasilkan BBM jenis premium, kerosen, solar, avtur, LPG dan lainnya untuk melayani kebutuhan Indonesia Bagian Timur, yang merupakan 2/3 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kilang RU V Balikpapan memiliki kapasitas pengolahan minyak mentah sebanyak 260.000 barel per hari, yang melalui proyek peningkatan kilang atau RDMP (Refinery Development Master Plan) saat ini ditingkatkan menjadi 360.000 barel per hari setara 25 persen dari kapasitas intake nasional.

Karena itu, orang awam menganggap aneh kalau Balikpapan kesulitan minyak solar karena kilangnya ada di kota sendiri dan sangat besar kapasitasnya.

Tetapi itulah fakta yang terjadi. Kelangkaan solar terus berlangsung selama ini. Bahkan, sejak saya masih aktif sebagai wali kota sering menghadapi demo. Saya dengar sejumlah sopir truk Rabu 30 Maret 2022 melakukan aksi yang sama untuk memprotes sulitnya mendapatkan minyak solar bersubsidi.

Padahal Pemkot termasuk Pertamina yang sering dituding, tidak bisa berbuat banyak lantaran kewenangannya ada di Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang memutuskan kuota minyak bersubsidi bersama DPR RI bersamaan penyusunan APBN.

Menurut Kepala Dinas Perdagangan Balikpapan Drs Arzaedi Rachman, Wali Kota Rahmad Mas’ud sudah mengirim surat ke BPH Migas agar kuota solar bersubsidi di daerahnya segera ditambah. Jika tidak, pasti kelangkaan dan antrean tidak dapat diatasi.

Kuota Balikpapan tahun 2022 sebanyak 27.948 kiloliter, sepertinya tidak mencukupi karena penyaluran per hari mencapai 98 kiloliter sedang idealnya menurut BPH Migas hanya 64 kiloliter. Jadi diprediksi kebutuhan tahun 2022 mencapai 34.310 kiloliter di atas kuota yang ada.

Penjelasan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Senin (28/3) mengungkapkan sebagian masalah yang menjadi penyebab terjadinya kelangkaan solar bersubsidi saat ini.

Menurut Nicke, kelangkaan solar bersubsidi ini terjadi karena permintaan masyarakat atas solar bersubsidi naik. Namun di sisi lain kuota solar subsidi pada 2022 dipangkas dibandingkan tahun lalu.

Permintaan solar bersubsidi mencapai 10 persen, sementara kuota tahun 2022 turun 5 persen dibandingkan 2021.

“Dengan melihat pertumbuhan ekonomi naik sekitar 5 persen, maka dampak terhadap mobilitas dan aktivitas usaha bisa terlihat adanya peningkatan demand, termasuk dari solar. Produksi full capacity dan logistiknya, kalau kita lihat peningkatan ini sekitar 10 persen dari sisi demand,” tuturnya seperti diberitakan nkripost.com kemarin.

Selain itu, kata wanita nomor satu di jajaran Pertamina ini, kelangkaan solar bersubsidi juga karena selisih harga dengan solar non subsidi gap-nya sangat jauh mencapai Rp 7.800 per liter. Sehingga mendorong orang melakukan shifting konsumsi, yang berakibat tidak mudah melakukan pengendalian dan monitoring di lapangan.

Nicke juga mengungkapkan antrean solar bersubsidi banyak terjadi di daerah industri sawit dan pertambangan. Saat ini industri itu lagi giat-giatnya meningkatkan produksi akibat harga yang melonjak naik di pasar internasional.

Seharusnya kendaraan yang dioperasikan untuk industri sawit dan pertambangan menggunakan solar non subsidi.
“Karena itu kami membutuhkan petunjuk teknis dari pemerintah terkait siapa saja yang berhak mengonsumsi solar bersubsidi dan volumenya,” kata Nicke sambil meminta dukungan DPR RI agar kuota solar bersubsidi disesuaikan dengan kebutuhan karena sudah terjadi overkuota.

JOKOWI LEWAT LANCAR
Selasa kemarin, saya sempat menengok betapa panjangnya antrean kendaraan yang akan mengisi solar bersubsidi di SPBU Km 15 Jalan Soekarno-Hatta, Karang Joang, Balikpapan.

“Ya ini pemandangan yang sudah biasa di sini dengan antrean berkilo-kilo. Saya dan teman-teman sudah satu hari satu malam antre di sini,” kata Supris (40) sopir truk tronton, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari SPBU.

Ketika saya temui kemarin, Supris ditemani istrinya. Truknya lagi penuh muatan perlengkapan ponton untuk dibawa ke Batu Kajang, Kabupaten Paser.

“Walau dekat rumah saya tidak bisa meninggalkan truk, nanti bisa disalip yang lain. Jadi anak istri yang datang ke sini sambil membawa makanan,” katanya memberi alasan.

Ia mengakui hampir semua truk yang beroperasi maunya menggunakan solar bersubsidi. Harga solar bersubsidi di Balikpapan Rp 5.150 per liter, jauh di bawah harga solar nonsubsidi yang mencapai Rp 13 ribuan.

“Dengan kartu kendali yang kami beli di SPBU, tiap mobil dapat jatah maksimal satu juta rupiah atau hampir 200 liter,” katanya.

Desakan agar solar bersubsidi di Balikpapan ditambah sebenarnya sudah dilakukan melalui aksi demo perwakilan sopir truk bersama perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Balikpapan, Rabu (23/3) lalu.

Mereka mau bergerak ke Kantor Besar Pertamina RU V tapi diadang petugas, sehingga menggelar orasi di Lapangan Merdeka.

“Percuma Balikpapan disebut Kota Minyak, tapi BBM-nya langka terutama solar bersubsidi. Ini sangat mengganggu distribusi barang-barang termasuk sembako. Karena itu kami menuntut kuota solar bersubsidi untuk wilayah Kaltim termasuk Balikpapan ditambah,” kata Ahmad, koordinator aksi dari PMII.

Selain itu, mereka meminta Pertamina dan petugas keamanan melakukan pengawasan dan penindakan jika ada oknum Pertamina, oknum SPBU bermain dengan mafia solar. Sudah lama berkembang isu karut marutnya tata kelola solar bersubsidi.

Di antaranya adanya permainan oknum, pengelola SPBU dan juga sopir serta pemilik kendaraan seperti memodifikasi tangki mobil dan lain sebagainya.

“Saya nggak berani mengisi solar bersubsidi di salah satu SPBU dekat Samarinda, banyak oknum pembeli yang sebetulnya ngetap,” kata Supris.

Asosiasi Dump Truck Sumber dan Truck Community Balikpapan juga meminta agar titik lokasi SPBU yang menyalurkan solar bersubsidi ditambah. Saat ini di Balikpapan hanya ada 5 SPBU yang melayani solar bersubsidi, sudah tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang antre.

“Juga harus tegas siapa saja yang berhak mendapatkan solar subsidi,” timpal Zaenal Abidin, teman saya yang juga punya usaha angkutan truk ekspedisi.

Menurut Supris, distribusi solar bersubsidi sempat lancar selama dua hari, yaitu tanggal 14 dan 15 Maret 2022.

“Kita dilayani maksimal sampai dinihari. Soalnya Presiden Jokowi mau lewat menuju lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) dalam rangka berkemah. Setelah Pak Jokowi pulang, ya, antre lagi bermalam-malam,” katanya tersenyum kecut.

Antrean truk yang berhari-hari menunggu pengisian solar bersubsidi ternyata membawa berkah bagi pedagang minuman dan makanan di sekitar SPBU. Mereka mengakui omzetnya meningkat. Selain pedagang makanan, saya kaget di situ ada juga dibuka panti pijat sederhana.

“Kan Pak Sopir lama menunggu dan capek. Jadi mereka ramai-ramai pijat di sini,” kata si pemilik bersemangat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status