Menolak Tambang
Opini: Rizal Effendi
MINGGU, 5 Juni 2022 ini, kita memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day. Sejarah penetapannya terjadi 50 tahun silam. Waktu itu berlangsung Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia, tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan serta mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia.
Momen peringatan ini dipandang sebagai kesempatan bagi semua orang untuk menjadi bagian aksi global dalam menyuarakan proteksi terhadap planet bumi, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Adalah Jepang dan Senegal yang mengusulkan. Kemudian, 5 Juni 1974, Hari Lingkungan Hidup Sedunia pertama kali dirayakan di Amerika Serikat. Tema perdananya sangat lugas, “Only One Earth.” Bumi kita hanya satu, jadi harus dijaga baik-baik agar tetap memberikan manfaat sebanyak-banyaknya serta berkelanjutan, bukan kemudaratan bagi manusia dan lingkungan.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini juga menandai peluncuran resmi Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021-2030. Dekade PBB ini dimaksudkan untuk memulihkan ekosistem yang terdegradasi dan hancur. Memerangi krisis iklim, mencegah hilangnya sejuta spesies dan meningkatkan ketahanan pangan, pasokan air, dan mata pencaharian.
Program ini juga bertujuan untuk menghidupkan kembali penyerap karbon alami seperti hutan dan lahan gambut, yang dapat membantu menutup kesenjangan emisi iklim hingga 25% pada tahun 2030.
PBB menetapkan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2022 ini sama dengan tema pertama tahun 1974 yaitu Hanya Satu Bumi untuk Masa Depan atau Only One Earth. Sekali lagi kita diingatkan bersama-sama untuk menjaga dan menyelamatkan bumi dari berbagai kerusakan yang menderanya.
Bicara soal lingkungan hidup, salah satu daerah yang mendapat perhatian orang adalah Kaltim. Maklum, provinsi ini terkenal sangat kaya sumber daya alam (SDA). Sudah ratusan tahun dari dalam perutnya, orang menyedot minyak dan gas. Lalu tahun 70-an kita habis-habisan membabat hutan untuk mengambil kayunya. Sementara pada tahun 2000-an ini, Kaltim besar-besaran membongkar buminya untuk kepentingan pengambilan batubara.
Kalau kita berdiri atau melintas di Jembatan Mahakam saat ini, kita bisa menyaksikan ratusan ponton berisi “emas hitam” bergerak menuju muara. Ada yang dikonsumsi untuk kepentingan listrik dalam negeri, tapi sebagian besar batubara itu diekspor ke mancanegara.
Semua orang sadar betul eksploitasi SDA itu memang mendatangkan pendapatan dan memajukan ekonomi. Tak kurang munculnya orang kaya baru (OKB). Tapi orang juga sadar bahwa kita bakal menuai badai, sebab berbagai kerusakan lingkungan bakal menghancurkan kehidupan anak cucu di masa depan. Apalagi kalau kita tidak berbuat semaksimal mungkin untuk penyelamatannya. Atau pura-pura pro-lingkungan padahal cuma sandiwara belaka.
Instruktur Nasional Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU), Dr. KH. Adnan Anwar S. Ip menggambarkan hutan Kalimantan itu, khususnya Kaltim, menjadi paru-paru dunia. “Kalau ini terbakar atau habis dibabat, orang sedunia mati tidak bisa bernapas. Oksigennya daerah hutan d<99i sini,” katanya pada acara halalbihalal dan pengukuhan Pengurus Ranting NU Balikpapan Selatan, Rabu 1 Juni 2022.
Bayangkan, dari luas Kaltim sekitar 13 juta hektare, 9,5 juta hektarenya adalah hutan. Sayangnya hutan itu sudah diobrak-abrik. Ada yang ditebang pohonnya untuk kebutuhan kayunya. Ada yang dibersihkan untuk permukiman. Ada juga yang diganti untuk tanaman kelapa sawit dan banyak lagi demi berbagai kepentingan.
Lubang Tambang
Salah satu eksploitasi SDA di Kaltim yang disorot pemerhati lingkungan belakangan ini adalah penambangan batubara. Apalagi harga batubara dunia lagi naik. Penambangan makin masif termasuk yang illegal dan karungan. Minggu lalu saya melintas di Samboja sampai Muara Jawa. Saya menyaksikan mulai penambangan minyak, gas, dan batubara, berlomba di sana.
Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan batubara di Kaltim tercatat mencapai 16,07 miliar ton pada 2020 atau 41,42 persen dari total cadangan di Tanah Air. Jumlah itu menjadikan Kaltim sebagai provinsi dengan cadangan batubara terbesar di Indonesia. Sementara produksi batubara Kaltim rata-rata di atas 200 juta ton setahun.
Para pemerhati lingkungan sangat khawatir dengan produksi yang semakin besar, maka dampak lingkungannya juga makin menakutkan. “Persoalan lubang tambang di Kaltim sampai saat ini belum juga tuntas. Bahkan menjadi momok,” kata Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Pradarma Rupang kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Jatam membeberkan lubang tambang terbanyak berada di wilayah Kukar. Ada 842 lubang. Lalu menyusul di Samarinda ada 342 lubang. Di Kutai Timur ada 223 lubang. Sisanya di Kawasan Kabupaten Paser, PPU hingga Berau.
Selain itu, Jatam juga mencatat ada 149 lubang bekas tambang di Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). Itu data terbaru. Pada perhitungan awal, tahun 2019 ditemukan 94 lubang tambang.
Sejauh ini, lubang-lubang itu belum ditutup dan dipulihkan. Kalaupun ada, belum begitu maksimal. Akibatnya, tidak kurang 40 nyawa melayang gara-gara tercebur ke lubang tambang. Korban terbanyak dari anak-anak. “Ini akan menjadi dosa kita jika tidak direklamasi,” kata Rupang.
Pada peringatan HUT ke-125 Kota Balikpapan, 10 Februari 2022 lalu, Wali Kota Rahmad Mas’ud memberikan penghargaan kepada mantan ketua DPRD Balikpapan, Andi Burhanuddin Solong, dan wali kota Imdaad Hamid, yang dinilai berjasa menolak adanya penambangan batubara di Kota Balikpapan. “Terima kasih kepada Pak Imdaad dan Pak Burhanuddin Solong, yang sudah mencegah tambang ada di kota kita tercinta ini,” kata Rahmad bangga.
Sejarah penolakan tambang batubara sebenarnya mulai diembuskan sejak era Pak Tjutjup. Lalu diteruskan oleh Pak Imdaad. Tapi, waktu itu masih berupa imbauan. Baru pada era saya, pelarangan tambang batubara di seluruh kawasan Balikpapan diformalkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali). Perwalinya Nomor 12 Tanggal 10 April 2013 tentang Penetapan Kota Balikpapan sebagai Kawasan Bebas Tambang Batu Bara. Saya tandatangani langsung. Nama saya tertera di situ.
Berkat Perwali itu, setiap penilaian pemberian penghargaan lingkungan dan kota bersih Adipura, Balikpapan selalu memperoleh nilai plus. Karena kebijakan seperti itu satu-satunya di Kalimantan. Bahkan di Indonesia. Saya menceritakan ketika menjelang Pilkada saya diiming-imingi bantuan biaya Pilkada asal mau membuka perizinan tambang. Tapi saya tetap bergeming. Saya tidak mau Balikpapan menjadi “kota hantu” seperti daerah lain karena banyak lubang menganga.
Sampai berakhir masa jabatan saya, 31 Mei 2021 lalu, Perwali itu masih berlaku dan belum ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Proses Perda memang melalui mekanisme DPRD. Jadi, Perwali yang ada masih hasil pembahasan di tingkat pemerintah kota. Sepenuhnya masih produk dan karya wali kota. Karena itu, saya bangga berkat menolak tambang itu. Saya atas nama Pemerintah Kota menerima Adipura dan penghargaan lingkungan berkali-kali. Saingan kita hanya Surabaya di zaman wali kotanya, Bu Risma. Jadi saya cukup puas mendapat penghargaan tingkat nasional. Bahkan belakangan juga tingkat ASEAN. (*)