Warga Kutai Barat Tolak Aktivitas Tambang Batubara
KLIKSAMARINDA – Warga Kampung Geleo Asa dan Geleo Baru, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur (Kaltim) menyatakan penolakan terhadap rencana penambangan batubara di wilayah mereka. Pernyataan sikap warga tersebut dinyatakan saat konferensi pers di Cafe Pyramid, Jalan Dahlia Samarinda, Senin 13 Juli 2020.
Warga telah membentuk Forum Sempekat Kelompok Tani Rapak Gembira Kampung Geleo Asa sebagai organisasi untuk menolak rencana tersebut. Bahkan, menurut Koordinator Sempekat, Martidin, pihaknya meminta agar Gubernur Kaltim turun tangan untuk menolak Izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh Bupati Kutai Barat Nomor 545/K.1101/2010 milik PT Kencana Wilsa.
Lokasi pertambangan batubara itu berada di kawasan Gunung Layung. Padahal, Gunung Layung telah menjadi sumber mata pencaharian warga setempat. Di sana ada perkebunan karet, lahan pertanian, serta perikanan yang merupakan sumber perekonomian warga.
Saat ini, PT Kencana Wilsa tengah membuat jalan hauling dan pelabuhan tambang (jetty). Warga mempertanyakan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dari operasional perusahaan tersebut.
“Berdasarkan kesepakatan anggota Kelompok Tani Kampung Geleo Asa pada tanggal 28 Juni 2020, kami memutuskan untuk menolak dan tidak bersedia memberikan lahan kami digarap menjadi lahan tambang batu bara,” ujar Martidin.
Martidin menerangkan, warga Geleo Asa menolak aktivitas pertambangan itu karena tidak mau mengubah lahan produktif menjadi lahan produksi tambang batubara. Warga menilai industri pertambangan akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan warga di kampung mereka.
“Industri pertambangan tidak cocok di kampung Geleo Asa karena mata pencarian masyarakat selama ini adalah dengan cara bertani/bersawah dan berkebun karet. Jika tambang ini dilanjutkan maka sumber mata pencaharian masyarakat akan hilang,” ujar Martidin didampingi Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang.
Pradarma Rupang menduga adanya mal administrasi di kawasan tersebut. Antara lain, dugaan melanggar Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Nomor 04 Tahun 2009, Perda Nomor 1 Tahun2016 tentang RTRW Kaltim, dan Perda Nomor 32 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Kutai Barat.
“Ada dugaan mal administrasi rangkap izin. Di kawasan yang sama juga berdiri kebijakan pemerintah pusat, yaitu pembangunan irigasi bendungan dengan Anggaran APBN. Sehingga kemungkinan adanya tumpang tindih penerapan RTRW,” ujar Pradarma Rupang. (*)