Antara Mengkudu dan Kecapi
Opini: Rizal Effendi
MINGGU lalu saya ikut mengantar jenazah ibunda Dzonazjiansyah, Sekretaris Dinas Perhubungan Balikpapan ke pemakaman Km 1,5 Rapak, Jl Soekarno-Hatta. Di sana, saya bertemu Pak Arbain Side, mantan asisten III Sekkot Balikpapan yang purnatugas dan beberapa pejabat Pemkot Balikpapan lainnya. Ibunda Dzona, Hj Nazirraah meninggal sehari sebelumnya karena sakit. Dia dimakamkan seliang lahat dengan suaminya yang lebih dulu wafat beberapa tahun lalu.
Makam Km 1,5 sepertinya sudah penuh sesak. Hampir tak ada lagi tempat untuk jenazah baru. “Ya, di sini boleh dibilang sudah ditutup. Hanya jenazah yang ada keluarganya di sini yang masih bisa. Itu pun dengan cara pemakaman bertumpuk,” kata seorang petugas.
Selain penuh sesak, saya melihat pemakaman Km 1,5 kurang terurus. Rumputnya tumbuh di mana-mana. Padahal habis Ramadan dan Idulfitri, yang biasanya banyak didatangi peziarah makam keluarga. Tapi kok tidak ada tanda-tanda habis dibersihkan. Pohon-pohonnya juga berjuntai lebat tak ada yang dipangkas.
Dari suasana yang kurang nyaman itu, ada juga yang menarik perhatian saya. Di situ tumbuh subur pohon mengkudu di sela-sela makam. Ada puluhan pohon mengkudu, yang lagi berbuah. Ada buah muda berwarna hijau, sedang yang sudah masak cenderung berwarna putih dengan aroma agak menusuk hidung. Posturnya mirip nanas kecil bertotol-totol.
Di Jawa, buah mengkudu populer disebut pace. Orang Aceh menyebutnya keumeudee. Masyarakat dunia lebih mengenalnya dengan nama noni fruit (buah noni kata orang Betawi). Mengkudu berasal dari Asia Tenggara dengan nama ilmiah Morinda citrifolia. Lalu menyebar luas di kawasan Indo-Pasifik. Buah ini gampang tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian pohon antara 3 sampai 8 meter.
Orang Betawi biasanya menggunakan daun muda dari pohon noni untuk membuat nasi goreng Betawi. Secara tradisional, masyarakat Aceh menggunakan buah mengkudu sebagai sayur dan rujak. Daunnya juga digunakan sebagai salah satu bahan nicah peugaga yang sering disajikan sebagai menu wajib buka puasa. Masyarakat Yogyakarta mengenal minuman semelak pace yang bahan utamanya dari mengkudu. Diyakini minuman itu cocok untuk mengatasi gangguan ringan seperti flu.
Penelitian membuktikan manfaat buah mengkudu antara lain untuk pendongkrak sistem imun, antidiabetes, antikanker, antiradang, antioksidan, bermanfaat bagi kesehatan sistem saraf dan kesehatan kulit, meningkatkan ketahanan fisik, hingga mempertahankan kesehatan tulang pada wanita.
Dengan segudang khasiatnya itu, tak heran kalau mengkudu jadi komoditas ekspor. Ratusan ton mengkudu dari Jawa Timur pernah diekspor ke Korea Selatan. Karena itulah mengkudu mulai dibudidayakan oleh sejumlah petani sebab dapat menambah pendapatan keluarga.
Tapi kita di Kalimantan, termasuk di Kaltim, mengkudu jarang dikonsumsi. Jadi tidak ada yang menanamnya secara intensif. Mengkudu tumbuh liar. Ada di pemakaman, di pinggir sungai atau di semak liar. Itu pun sudah jarang terlihat.
Ada satu lagi pohon yang menarik perhatian saya di pemakaman Km 1,5. Kebetulan lagi berbuah. Pohonnya besar dan rimbun daunnya itu adalah pohon kecapi. Buahnya sangat banyak sebesar bola tenis berwarna kuning, membangkitkan ingatan saya sewaktu kecil, ketika masih duduk di bangku sekolah rakyat (SR sekarang SD) antara tahun 65 -70.
Pohon kecapi sulit dipanjat, selain besar juga tinggi. Dengan senjata sepotong kayu, saya dan teman-teman melempari buah kecapi. Kalau ada yang jatuh, kami rujak atau pencok dengan bumbu garam dan lombok.
Kecapi diperkirakan berasal dari Indochina dan Semenanjung Malaya. Lalu masuk ke India, Indonesia (termasuk ke Kalimantan), Mauritius, dan Filipina. Dalam bahasa ilmiah, kecapi disebut Sandoricum koetjape. Orang Batak menyebutnya sotul. Dalam bahasa Toraja disebut katapi.
Buah kecapi umumnya berasa asam sepat dan kadang terdapat tekstur manis ketika sudah matang. Kulit buahnya yang berdaging tebal dengan biji di bagian dalam mirip buah manggis. Selain bisa dimakan langsung, terkadang buah kecapi dimasak lebih dulu, dijadikan bumbu masakan, manisan dan rujak. Orang Toraja menggunakan buah kecapi sebagai bumbu masakan penguat rasa masam segar untuk hidangan kuah ikan.
Kayu pohon kecapi bermutu baik sebagai bahan konstruksi rumah, bahan perkakas atau kerajinan. Kayunya mudah dikerjakan dan mudah dipoles.
Berbagai bagian pohon kecapi memiliki khasiat obat. Rebusan daunnya digunakan sebagai penurun demam. Serbuk kulit batangnya untuk pengobatan cacing gelang. Akarnya untuk obat kembung, sakit perut, dan diare. Serta untuk penguat tubuh wanita setelah melahirkan.
Sama dengan mengkudu, pohon kecapi dan buahnya sudah jarang kita temukan. Tak ada yang membudidayakan. Anak-anak milineal tidak mengenai buah kecapi. Kecuali mungkin alat musik kecapi, yang mirip gitar dipetik. Tapi tidak bisa dimakan.
TERANCAM PUNAH
Saya merasa perlu menulis pohon kecapi dan mengkudu berkaitan tanggal 22 Mei ini kita merayakan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional (Kehati) atau International Day for Biological Diversity. Diperingati setiap tahun. Kesepakatan ini dibuat PBB sebagai hari untuk meningkatkan kesadaran dan menumbuhkan kecintaan warga dunia terhadap keanekaragaman hayati atau biodiversitas di bumi.
Pada saat ini, bumi kita tidak hanya krisis ekologi, pandemi Corona pun masih melanda berbagai penjuru dunia termasuk kita di Indonesia. Pandemi Corona adalah sebuah peringatan kepada kita untuk berhenti melakukan hal-hal yang melebihi daya dukung bumi.
Penggundulan hutan, pengurasan perut bumi untuk diambil minyak, gas, dan batubara, menyebabkan terjadinya perubahan iklim, pemanasan global, dan hilangnya Kehati pada tumbuhan, hewan dan mikroba, sehingga mempercepat munculnya virus-virus baru.
Para pencinta lingkungan dunia sangat tidak senang hutan Kalimantan, termasuk di Kaltim, yang dikenal sebagai hutan tropis, dibabat habis-habisan untuk diambil kayunya, diganti tanaman hutan industri atau ditanami kelapa sawit seperti sekarang ini. Banyak kekayaan flora dan fauna kita yang hilang seperti juga pohon mengkudu dan kecapi. Padahal kita belum bisa memanfaatkannya secara maksimal dan berkelanjutan untuk kehidupan kita dan planet bumi di masa mendatang.
Ketika orang beramai-ramai datang ke lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Sepaku yang luasnya hampir 50 ribu hektare, tak ada seekor pun hewan hutan seperti orangutan, monyet, dan rusa sambar berkeliaran di sana. Suara burung juga tak terdengar. Pohon-pohon alamnya seperti meranti dan ulin sudah berganti dengan pohon tanaman industri seperti akasia dan eucalyptus.
Semua orang setuju karena Presiden Jokowi mengusung tema forest city dalam membangun kawasan IKN. Sangat bersejarah dan mulia. Sangat pro-lingkungan. Tinggal kita tunggu pelaksanaannya. Karena konsep ini mudah diucapkan, tapi tidak gampang menanam hutan sesungguhnya. Wallahua’lam. (*)