Kaltim Menunggu Rp2 Triliun
Opini: Rizal Effendi
Jika berjalan lancar, Kaltim bakal mendapat dana segar Rp2 triliun. Angka yang besar. Itu berkat kegigihan Kaltim membangun lingkungan dan mengembangkan ekonomi hijau, sehingga dunia mau memberikan pembayaran sebagai kompensasinya. Nama bisnisnya perdagangan karbon atau carbon trade.
Ini memberi citra baru bahwa Kaltim tidak saja dikenal pandai mengeksploitasi hutan, migas, dan batubara, tetapi bisa juga bergeser menjadi produsen emisi karbon, yang menjadi kebutuhan penting bagi kelangsungan ekosistem global di masa mendatang.
“Ya, kita memang tengah menunggu pembayaran, karena sudah ditanya masyarakat,” kata Gubernur Isran Noor ketika me-launching program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) atau penurunan emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emissions) di Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, pertengahan April 2022 lalu.
Menurut Staf Khusus Gubernur Bidang Lingkungan dan Penurunan Emisi, Stephi Hakim, Pemprov Kaltim memang sudah mengajukan klaim pembayaran di muka atau down payment (DP) kepada Bank Dunia (World Bank). “Harapan kita dibayar November 2022 ini sebelum Gubernur terbang ke Mesir mengikuti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP27) di sana,” jelasnya kepada Bisnis.com.
Isran bakal menjadi pusat perhatian dalam pertemuan lingkungan di Negeri Piramida itu karena Kaltim dinilai sebagai salah satu daerah paling berhasil di Indonesia melaksanakan program dunia dalam masalah mengatasi perubahan iklim.
COP27 rencananya berlangsung tanggal 6-18 November 2022 di Sharm el-Sheik, kota di pengujung selatan Semenanjung Sinai di Mesir, di sepanjang pesisir antara Laut Merah dan Gunung Sinai. Jika tak ada perubahahan, Gubernur Isran rencananya akan hadir di konferensi itu, didampingi Prof Dr Ir Daddy Ruchiyat, M.Sc dari Unmul dan beberapa pejabat terkait lainnya. Dari Jakarta, bisa jadi langsung Presiden yang hadir bersama Menteri LHK.
Sepulang dari pertemuan COP26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya, tahun 2021 lalu, yang dihadiri Presiden Jokowi juga, sebenarnya Isran sudah mendapat informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa Bank Dunia telah menyatakan syarat efektivitas ERPA (Emission Reductions Payment Agreements) telah terpenuhi, sehingga Kaltim berhak menerima pembayaran atau kompensasi dari keberhasilan program pengurangan emisinya.
Uang dari pembayaran menjual emisi karbon itu memang akan disalurkan kepada masyarakat adat, khususnya yang berada di sekitar hutan atas hasil kerja keras dan pengorbanannya menjaga hutan. Sejauh ini di antaranya mereka ada di Kabupaten Berau, Mahakam Ulu (Mahulu), Kutai Kartanegara (Kukar), Kutai Barat (Kubar), dan Kota Balikpapan.
Menurut Stephi, Kaltim telah berhasil menurunkan 25 juta ton emisi karbon setara CO2 pada tahap pertama 2019-2020. Sudah lebih 5 juta dari target yang diminta Bank Dunia. “Kelebihannya masih menunggu hasil audit, apakah tetap dibeli Bank Dunia atau dijual ke pihak lain. Sudah banyak yang ingin membeli,” katanya.
Ketika menyampaikan orasi ilmiahnya pada Dies Natalis ke-60 Universitas Mulawarman, 27 September lalu, Menteri LHK Prof Siti Nurbaya mengakui Kaltim telah lebih dahulu bekerja terkait dengan mitigasi iklim dan urusan karbon melalui program FCPF-CF World Bank.
Menyusul Kaltim ialah Proyek BioCF Jambi. Kedua provinsi ini menjadi tempat belajar untuk mitigasi iklim, penurunan emisi CO2, dan skema prestasi penurunan emisi dengan mekanisme Result Based Payment (RBP) atau pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja.
Menurut Menteri, berdasarkan ERPA, maka pengurangan emisi di Kaltim pada laporan pertama (2019-2020) telah jauh melampaui jumlah minimum yang dapat dibayarkan, yaitu 5 juta ton CO2-e. Dengan demikian, daerah ini sudah memiliki surplus pengurangan emisi.
“Jika RBP seluruh ER minimum tersebut dibayarkan dengan kesepakatan harga 5 dolar AS per ton, maka potensi nilai RBP yang akan diterima segera oleh Kaltim sebesar 25 juta dolar AS,” jelasnya. Angka itu kira-kira sebesar Rp375 miliar.
Sampai dengan akhir program di tahun 2024 nanti, RBP yang akan dibayarkan Bank Dunia kepada Kaltim sebanyak 22 juta ton CO2-e. Maka potensi nilai totalnya yang bisa diperoleh Kaltim mencapai 110 sampai 125 juta dolar AS. “Hampir mencapai Rp2 triliun,” kata Isran.
Environment Coordinator for Indonesia World Bank, Andre Rodriques Aquino memastikan pencairan segera dilakukan Bank Dunia setelah adanya verifikasi dan validasi. Kalau tak salah dilakukan AENOR, lembaga standardisasi dan sertifikasi dari Spanyol. “Kaltim akan menjadi program ke-2 yang akan mendapatkan pembayaran emisi karbon. Kami upayakan secepat mungkin,” tandasnya.
Komitmen Dunia
Ketika saya masih menjabat wali kota, saya sering bercerita kepada warga soal perkembangan dunia perdagangan. Selama ini kita dapat uang kalau menjual kayu, migas, atau yang terakhir ini lagi habis-habisan mengekspor batubara.
Tapi di sisi lain, dunia berteriak lantang melihat dampak dari menguras sumber daya alam dan membangun industri. Kerusakan lingkungan terjadi, dampaknya mendunia. Lalu muncullah apa yang lebih dikenal dengan istilah pemanasan global atau efek gas rumah kaca (greenhouse gas effect).
Temperatur panas bumi meningkat secara signifikan, yang ditandai mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut dan perubahan iklim yang ekstrem. Hal ini sudah mulai terjadi sekarang ini. Hujan deras di atas normal dan banjir bandang terjadi di mana-mana.
Karena itu, sekitar 200 negara yang hadir dalam Pertemuan Paris 2015 sepakat emisi gas rumah kaca harus dikurangi setengahnya sebelum 2030 dan mencapai “nol bersih” pada 2050 untuk membatasi terjadinya pemanasan global.
Perdagangan karbon berawal dari Protokol Kyoto, kesepakatan PBB yang menetapkan tujuan pengurangan emisi karbon global dan mitigasi perubahan iklim mulai tahun 2005. Dari sana muncul skema perdagangan karbon sebagai salah satu solusi.
Upaya lain juga dilakukan dunia, di antaranya membatasi perluasan perkebunan kelapa sawit karena berimplikasi terjadinya pembabatan hutan alam, mulai dikembangkannya penggunaan kendaraan listrik agar kita tidak lagi tergantung dengan kendaraan berbahan bakar BBM dari fosil dan pembatasan pembangunan power plant yang berbahan bakar batubara.
Memang tidak gampang memahami seluk beluk soal perdagangan karbon. Soalnya ini komoditas baru dan tidak berwujud. Ini semacam jasa lingkungan karena kita mempertahankan dan menjaga hutan, di samping mengembangkan kegiatan ekonomi atau investasi hijau.
Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli kredit karbon. Negara yang masih punya hutan tropis seperti Indonesia, khususnya Kaltim, asal bisa menjaga hutannya (sebagai penyerap karbon, carbon sink) akan dibayar oleh negara industri (penghasil karbon atau emitor) melalui skema yang sudah ditetapkan.
Transaksi perdagangan karbon bisa antarnegara sebagai bagian dari perjanjian internasional. Bisa juga melalui skema cap dan trade, variasi perdagangan karbon, yang memungkinkan penjualan kredit emisi antarperusahaan. Aturan untuk pasar karbon global sendiri ditetapkan di Glasgow pada COP26.
Pada Juli 2021, China memulakan program perdagangan emisi nasional yang telah lama ditunggu-tunggu. Program ini kabarnya melibatkan 2.225 perusahaan di sektor listrik dan dirancang untuk membantu negara itu mencapai tujuannya mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Ini akan menjadi perdagangan pasar karbon terbesar di dunia.
Head of Carbon Market ICDX Zulfal Faradis berpandangan, Indonesia memiliki potensi sangat besar dalam perdagangan karbon, khususnya dari sektor Nature Based Solution (NBS), yang merupakan solusi pengelolaan dan penggunaan alam berkelanjutan.
Mengutip data dari Boston Consulting Group (BCG), potensi NBS Indonesia disebutkan sebesar 1,4 GtCO2-e per tahun, sehingga diperkirakan pasar kredit karbon sukarela Indonesia dapat mencapai nilai 60 sampai 85 triliun rupiah pada tahun 2030.
Bahkan Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Pandu Sjahrir, memperkirakan pasar karbon di Indonesia bisa mencapai 300 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.290 triliun. “Bagi pengusaha, ini merupakan opportunity luar biasa,” katanya dalam diskusi Indonesia Energy Outlook 2022, awal tahun lalu seperti diberitakan CNBC Indonesia.
Nilai perdagangan karbon yang besar itu berasal dari sejumlah faktor, antara lain kegiatan penanaman kembali hutan yang gundul, penggunaan energi baru terbarukan (EBT), peralatan rumah tangga, sampai pembuangan limbah.
Presiden Jokowi sebelum berangkat ke Glasgow menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 yang mengatur pasar karbon di Indonesia sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Nationality Determined Contributions (NDC).
NDC sendiri berisi komitmen Indonesia terhadap agenda pengurangan emisi karbon, baik dengan upaya sendiri yang bisa mencapai 29 persen atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Semoga terwujud. (*)