Dosen Unmul Bela Mahasiswa Yang Kritik Wapres, Nilai Rektorat Batasi Kebebasan
KLIKSAMARINDA – Sejumlah dosen di Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), menyesalkan adanya peringatan dari pihak Rektorat Unmul terhadap aksi BEM Unmul ketika mengkritik Wakil Preiden Maruf Amin, Selasa 2 November 2021 lalu melalui unggahan di media sosial. Peringatan Rektorat Unmul itu terbit pada 4 November 2021 melalui Press Release.
Dalam peringatannya, pihak Rektorat Unmul menyatakan bahwa BEM Unmul telah melanggar etika ketika menyebut Wapres Maruf Amin sebagai “Patung Istana Merdeka Datang Ke Samarinda”.
Menurut juru bicara dosen Unmul, yang juga pengajar di FISIP Unmul, Sri Murlianti, ungkapan itu menuai pro dan kontra publik. Namun, Sri Murlianti menerangkan, pro kontra itu tidak berkaitan sama sekali dengan subtansi kritik BEM KM terhadap Wakil Presiden.
“Publik justru dominan terlibat dalam pro dan kontra terhadap pilihan diksi “patung istana merdeka” yang digunakan dalam unggahan BEM KM tersebut. Padahal membincangkan “isi”, tentu jauh lebih baik daripada meributkan “kulit”,” ujar Sri Murlianti melalui rilis bersama dosen Unmul, Sabtu, 6 November 2021.
Sri Murlianti menambahkan, kalimat metaforik bernada kritik dan sedikit sarkastik itu adalah gaya bahasa tingkat tinggi yang mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Tak banyak pihak yang mampu sampai pada tingkat kecerdasan demikian, bahkan pejabat negara atau ilmuwan bergelar tinggi sekalipun.
“Oleh karena itu, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas sang empunya metafor,” ujar Sri Murlianti.
Sri Murlianti juga menyatakan, tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah. Dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah. Terlebih terhadap pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat.
“Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya. Kalimat metaforik bernada sarkastik “patung istana merdeka” ini adalah kritik kepada Wakil Presiden yang dianggap gagal menjalankan fungsinya, bukan terhadap pribadinya,” ujar Sri Murlianti.
Lebih lanjut, dosen lainnya, Herdiansyah Hamzah mengaku heran dengan sikap Rektorat Unmul yang memberikan respon di luar dugaan. Menurut Herdiansyah Hamzah, kampus Universitas Mulawarman, tempat BEM KM bernaung, justru menginstruksikan BEM KM untuk menghapus unggahan, menginstruksikan BEM KM untuk meminta maaf kepada Wakil Presiden, masyarakat dan Unmul sendiri, serta segera melakukan tindakan internal untuk mengambil langkah tegas kepada BEM KM.
“Ini jelas merupakan bentuk pembatasan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik. UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai, “hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan melakukan penelitian termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan,” ujar Herdiansyah Hamzah.
Herdiansyah Hamzah menambahkan, sikap Unmul secara kelembagaan tersebut sangat jauh dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ataupun dari apa yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, ICCPR, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Bahkan dalam aturan spesifik sendiri melalui Undang-Undang 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, pihak birokrasi kampus semestinya bertanggung jawab memastikan kebebasan akademik tersebut diperoleh dengan baik oleh setiap civitas akademik, bukan sebaliknya.
“Kampus telah gagap dalam menghargai perbedaan pendapat, dengan seolah ingin menjadi penafsir tunggal terhadap satu peristiwa. Selain itu, pertanda kedangkalan pemahaman kampus tentang makna kebebasan akademik sebagai jantung perguruan tinggi. Tidak akan ada pendidikan, penelitian, dan pengabdian tanpa kebebasan akademik,” ujar Herdiansyah Hamzah.
Beberapa kritik dosen lainnya terhadap sikap Rektorat Unmul itu antara lain masih kuatnya kultur feodal di kampus yang membuat relasi antar civitas menjadi timpang. Mahasiswa cenderung menjadi sub-ordinat dari birokrasi.
Kampus juga dinilai telah terjebak dengan relasi kuasa dengan memberi pembelaan terhadap kekuasaan dan justru menghakimi mahasiswa. Padahal kampus seharusnya menjadi fungsi kontrol terhadap kekuasaan, bukan sebaliknya.
“Sebagai bagian dari keluarga besar Unmul, maka kritik ini harus kami sampaikan sebagai wujud kecintaan kami terhadap Unmul. Kampus harus menjadi contoh yang baik bagaimana cara kita mengelola perbedaan pendapat dengan baik, sekaligus sebagai tempat yang dapat memberikan jaminan terhadap ruang kebebasan akademik. Tidak hanya bagi civitas akademik, tetapi juga berjuang untuk memastikan kebebasan tersebut diperoleh setiap kepala warga negara, tanpa terkecuali,” ujar Eka Yusriansyah dosen FIB. (*)