Karena Banjir Bukan Takdir Samarinda (Bagian IV)
Samarinda, 2017, defisit. Pembangunan yang tengah berjalan sejak awal hingga pertengahan tahun 2017 terasa sulit. Namun, kesulitan itu bukan berarti menghentikan daya dukung anggaran untuk pembangunan. Pemkot Samarinda tetap mesti memiliki prioritas pembangunan, khususnya, pembangunan yang berkaitan dengan tata ruang dan pembenahan lingkungan.
Jika tidak begitu, satu musibah yang terus berulang akan kerap terjadi. Ya, banjir yang melanda Ibukota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dalam sepekan terakhir menyebabkan 10 ribu warga di 3 Kecamatan di Samarinda terdampak banjir. Dampak itu semakin meluas. Pelbagai kalangan pun mulai mempertanyakan kinerja pemerintah. Tetapi, ini kilah pemerintah: curah hujan tinggi, kerusakan lingkungan, hingga kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan adalah beberapa di antara pelbagai penyebab yang kerap diucap.
Helmi Abdulah, Wakil Ketua DPRD Samarinda dari Fraksi Gerindra, menerangkan jika pembangunan saat ini memang tengah terbelit defisit. Tetapi, dirinya meminta agar Pemkot Samarinda jangan melupakan kedua faktor itu, tata ruang dan pembenahan lingkungan. Pasalnya, menurut Helmi, tata ruang dan pembenahan lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat Kota Tepian. Misal, prioritas untuk menyelesaikan banjir dan infrastruktur jalan. “Kami minta pemerintah lebih fokus kepada penanganan banjir. Beberapa titik banjir, kan belum tertangani,” ujar Helmi, saat ditemui di Kantor DPC Partai Gerindra Samarinda, belum lama ini.
Sejumlah kawasan di Kota Tepian yang nyaris tenggelam dan berulang kali diterjang air banjir tak lantas membuat aktivitas masyarakat bungkam. Berulang kali, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyuarakan pembenahan tata ruang dan lingkungan hidup sehingga dapat berkelit dari banjir.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, Fathur Rozikin, banjir di Kota Tepian terjadi bukan karena takdir. Bagi Fathur, masyarakat awam sangat mengetahui jika banjir di kota mereka lantaran intervensi keserakahan oknum segelintir manusia. Fathur mengurai jika penataan tata kota, drainase, alih fungsi lahan, pengeluarkan izin pembangunan yang semparangan, dan lainnya, salah urus. “Kalau tidak ada itikad baik, susah menangani banjir,” ucapnya.
Jika menelusuri pangkal soal banjir, ada pandangan berbeda dari pengamat kebijakan publik dari Pokja 30, Carolus Tuah. Menurutnya, banjir berpangkal dari pelaksanaan kebijakan politik Pemerintah Kota Samarinda. Soalnya, menurut pengamat kebijakan publik Kaltim ini, banjir di Samarinda justru telah melahirkan banyak solusi. “Solusi sudah banyak. Tinggal Pemkot mau pilih yang mana,” katanya.
Menurut Tuah, banjir di Samarinda adalah buntut dari penegakan peraturan daerah yang mandul. Setiap peraturan merupakan rentetan produk politik yang membutuhkan aksi untuk menegakkannya. Nah, celakanya, penegakan aturan itu tak dibarengi konsistensi. “ Kalau selama ini kerap terdengar bahwa sampah itu penyebab banjir, apa tindakan politiknya?” tegas Tuah.
Upaya sosialisasi pemerintah juga tak berdampak banyak terhadap penegakan perda. Jika pangkal masalah banjir adalah sampah, Tuah mengatakan agar seluruh pihak menegakkan aturan soal sampah. Tetapi, yang terjadi justru inkonsistensi dalam pelaksanaan aturan. Padahal, kebijakan dan peran kepala daerah menjadi tampak vital dalam penegakan aturan ini. Terutama dalam menjaga konsistensi aparat pemerintah dalam menegakkan peraturan daerah. “Jadi, apa solusi konkret untuk banjir? Konsisten saja menegakkan perda, juga aturan yang lain. Kemudian, minta maaflah kepada warga,” tandas Tuah.
Legislator Karang Paci (sebutan DPRD Kaltim) Dapil Samarinda, Sapto Setyo Pramono, turut melihat banjir di Samarinda sebagai musibah publik yang harus segera dibenahi. Sapto menilai, drainase menjadi permasalahan baru jika pihak yang memegang proyek tanpa perencanaan matang. Ketidakjelasan drainase akan menjadi sorotan dan pertanyaan publik. “Banjir tidak akan mungkin terjadi apabila proses pengerjaan melalui perencanaan yang tertata rapi dan menyiapkan langkah juga solusi agar tidak menimbulkan permasalahan baru,” ucap politisi Golkar ini.
Lain lagi sorotan yang datang dari Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) Samarinda. Ketua Pospera Samarinda, Jumintar Napitupulu, terang-terangan mengutuk banjir di Kota Tepian. Menurutnya bencana banjir telah lama menghantui Samarinda. Pangkalnya adalah tata kota yang semrawut. Dengan posisi dataran Samarinda dengan topografi rendah ditambah debit air hujan deras, Samarinda memiliki ratusan titik banjir.
Pospera menunjuk kawasan Mugirejo sebagai contoh dampak dari semrawutnya penataan kota yang berdampak terhadap munculnya banjir. “Penyebab banjir ini salah satunya adalah karena tata kota yang semrawut. Nah, diperparah dengan tingkat perusakan lingkungan yang terus meningkat karena aktivitas pertambangan batubara yang mengelilingi kota samarinda,” ujar Juna, sapaannya.
Pospera sendiri menilai jika banjir yang terjadi di Samarinda bukan semata karena faktor alam. Pospera menilai banjir di Samarinda terjadi karena faktor kelalaian Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda untuk menormalisasi Bendungan Benanga sebagai pengendali aliran air.
Sorotan demi sorotan terus berdatangan setiap kali banjir terjadi di Samarinda. Namun, tak semua melihatnya untuk saling menyalahkan antara berbagai pihak. Solusi tetap diperlukan sehingga banjir tetap bermakna agar seluruh pihak bersatu untuk menjaga alam, sebagaimana ajakan Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Timur (KPMKT) Cabang Jakarta, melalui Ketua, Sulthan. “Dengan demikian, sinergi seluruh pihak terbangun dan banjir-banjir yang selama ini terjadi bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan,” ujar Sulthan. (*)