Karena Banjir Bukan Takdir Samarinda (Bagian II)
Di tahun 2011, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) bersama DPRD Kaltim telah menyepakati program penanganan banjir Samarinda, dengan anggaran Rp602 miliar, yang meluncur di atas kontrak tahun jamak (Multi Years Contract). Kontrak ini terbagi atas sistem SKM Rp322 miliar, sistem Karang Asam Besar dan Loa Bakung Rp44 miliar, sistem Karang Asam Kecil Rp55 miliar, dan sistem Loa Janan dan Rapak Dalam Rp181 miliar.
Pada tahun 2012, Pemprov Kaltim menyuntikkan dana Rp30 miliar kepada Pemkot guna memuluskan tugas pembebasan lahan. Jumlah itu belum ditambah duit jaminan reklamasi (dana jamrek) sebesar Rp61 miliar yang juga masih “duduk manis”. Data tersebut berasal dari Forum 1 Bumi yang masih getol menyuarakan perbaikan lingkungan di Kalimantan Timur (Kaltim).
Ikhtiar pemerintah pun, untuk mengusir banjir, bukanlah dalam waktu sebentar. Sebagai Walikota yang memimpin penduduk terbesar di Kaltim itu, Syaharie Jaang mengatakan, program penanggulangan banjir sejak 2008 lalu hingga hingga sembilan tahun kemudian (2017) dinyatakan tidak sia-sia. Padahal, normalisasi SKM terhambat lantaran ketersediaan anggaran yang terbatas untuk pembebasan lahan warga yang mencapai ribuan rumah. Tetapi Jaang tetaplah Jaang. Program penanggulangan banjir sejak 2008, seperti penertiban wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Karang Mumus (SKM), Samarinda. Normalisasi SKM, terbilang maju-mundur lantaran ketersediaan anggaran yang terbatas untuk pembebasan lahan warga yang mencapai ribuan rumah.
Jaang menyebutkan jika normalisasi SKM di kawasan Jembatan I dan II adalah contohnya, serta Jembatan S Parman yang baru 10 persen menjadi upaya Pemkot Samarinda menanggulangi banjir. Itu baru separuh. Namun, air Sungai Karang Mumus merayap ke permukiman warga. “Hujan, ditambah pasang air Sungai Mahakam membuat air turun bergerak lambat,” ujar Jaang, Jumat 7 April 2017.
Lain lagi bagi Nusyirwan Ismail. Pendamping Jaang ini menjelaskan jika pemerintah melakukan upaya normalisasi SKM dan pemindahan pemukiman warga ke rumah susun juga menjadi salah satu program menata wajah Kota Tepian dan bagian dari rencana penanggulangan banjir. Pemkot Samarinda pun bagi-bagi jatah dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) untuk menanggulangi banjir di Samarinda.
Dua titik banjir menjadi fokus pekerjaan melalui proyek Multy Years Contract (MYC) pekerjaan pengendalian banjir Samarinda. Pemkot Samarinda memandang jika proyek tahun jamak hanya dijalankan di Simpang Sempaja. Sementara MYC di Jalan DI Panjaitan, Samarinda diambil alih oleh Pemprov Kaltim. Pemkot sendiri terus membahas detail pengerjaannya.
Prediksi pendanaan telah dikalkulasi. Jika pendanaannya tidak menutup sampai Rp225 miliar untuk MYC, Pemkot lebih mendukung pengerjaan single year (tahun tunggal). Saat ini, kawasan Jalan Wahid Hasyim masih dalam proses review kelayakan proyek MYC. Anggaran Pemprov untuk tahun 2018 fiscal space hanya Rp250 miliar untuk 10 Kabupaten/Kota. Nusyirwan berdalih, “Kita tidak hanya melihat soal teknis, tapi juga melihat kemampuan finansial,” jelas kata Wakil Walikota Samarinda, Nusyirwan Ismail, Senin, 10 April 2017.
Faktanya, banjir terus mampir di Ibukota Kaltim. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim pun seolah gerah terhadap upaya Pemkot yang tak kunjung membuahkan hasil. Di sejumlah titik banjir, ketinggian air masih berada di kisaran 50-70 cm. Malah, semakin tinggi. Apalagi, saat hujan turun di sejumlah jalan protokol langsung terendam air. Dampaknya, terjadi kemacetan lalu lintas di jalan raya, pemukiman terendam, dan membuat area pengungsian warga di tengah kota.
Pemprov Kaltim memang tak diam. Jauh sebelum banjir di bulan ini, 23 Februari 2017, Pemkot Samarinda bersama Pemprov Kaltim urun rembug di Balaikota. Mereka membahas solusi untuk mengatasi banjir di Ibukota Kaltim. Kedua belah pihak saling berbagi peran untuk mencari solusi penanganan banjir Samarinda. Kedua pihak saling menelisik penyebab banjir.
Jaang, misalnya, mengakui pesatnya pembangunan berdampak pada lingkungan di Kota Samarinda. Pihaknya tengah menjalankan konsep penanganan banjir jangka pendek. Misal, dengan mereduksi banjir terutama pada lokasi-lokasi vital. Kegiatan normalisasi dan penguatan tebing sungai oleh BWS di Sungai Karang Mumus (Jembatan Ruhui Rahayu–Unmul) terutama pada sisi rumah Walikota Samarinda, sudah dilaksanakan. Pun, demikian dengan penertiban pemukiman dan aktivitas di Sungai Karang Mumus di belakang Pasar Segiri.
Bagaimana dengan persepsi Pemprov Kaltim tentang banjir di Samarinda? Melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dalam rapat tersebut diungkapkan jika Pemerintah Provinsi Kaltim bersama BWS telah melakukan survei lapangan pada sub sistem Jalan Antasari dan Jalan DI Panjaitan. Mereka berencana menangani banjir jangka pendek di kedua titik tersebut.
Namun, rupaya ada ganjalan. Terkait lahan, terdapat 11 hektare lahan belum bebas untuk menangani banjir di wilayah Waduk Benanga. Bendali di Jalan Ardans pun belum berfungsi secara optimal. “Dibutuhkan surat dari Pemerintah Kota Samarinda yang menyatakan bahwa lahan sudah bebas/clear siap digunakan untuk kegiatan pengendalian banjir. Baik untuk lahan disposal maupun lahan yang akan digunakan untuk pekerjaan konstruksi,” ujar Kepala Bappeda Kaltim, Zairin Zain, dalam rapat itu.
Tetapi, Konsentrasi arah pembangunan yang dilakukan Pemkot Samarinda untuk Tahun Jamak 2017-2020 mencakup penyelesaian penanggulangan banjir di beberapa kawasan. Pemkot Samarinda menyodorkan draft rencana konsentrasi penyelesaian banjir di Jalan Wahid Hasyim, Jalan DI Panjaitan, dan DAS Sempaja.
Pemkot Samarinda juga menghitung manfaat luas dari Bendungan Pengendali (Bendali) di Jalan HM Ardans. Pemkot menilai jika kondisi bendali HM Ardans belum optimal. Dari luasan bendali seluas 20 hektare, hanya 9 hektare yang telah efektif dilakukan pembebasan lahan. Sementara usulan Pemprov Kaltim berharap dari sisa luasan 11 hektare itu bisa diproses oleh Pemkot Samarinda untuk pembebasan lahannya. “Sudah mulai dikoordinasikan dengan bagian perkotaan yang 11 hektare lagi ini,” jelas Wakil Walikota Samarinda, Nusyirwan Ismail. Namun, Nusyirwan belum memperhitungkan kawasan yang lebih prioritas yang disesuaikan pula dengan kondisi keuangan Pemkot Samarinda saat ini.
Langkah pihak Pemprov Kaltim tak hanya di tataran wacana dan rencana. Telaah dan tinjauan langsung dilakukan Bappeda Kaltim. Kepala Bappeda Kaltim, Zairin Zain, memang pernah secara khusus langsung melakukan aksi turun ke lapangan guna melihat penyebab terjadinya banjir di ibukota Provinsi Kaltim tersebut. Ia disertai jajaran Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bidang Sumber Daya Alam, jajaran Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan II dan konsultan BWS yang menangani masalah banjir. Sejumlah titik yang menjadi perhatian adalah kawasan Jalan P. Suryanata, Jalan P. Antarasi dan Jalan DI Panjaitan.
Dari pantauan itu, Zain menyimpulkan, terjadi bottleneck (penyempitan) dan penyumbat aliran air yang akan masuk ke Sungai Mahakam. Akibatnya, pasca hujan deras, daerah Antasari dan Suryanata maupun Jalan DI Panjaitan mengalami banjir. “Semua itu karena saluran air tidak lancar,” kata Zain.
Rencananya, Bappeda Kaltim akan mengusulkan pembersihan alur Sungai Karang Mumus kecil, jamban-jamban yang sifatnya menggunakan batang di tengah sungai akan dihilangkan, dan membantu membangunkan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) di darat agar aliran sungai lancar. Pun, membongkar tiang-tiang rumah warga yang masuk ke sungai. Karenanya, upaya menjaga lingkungan sejatinya tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pun, warganya. “Kita tidak mau bicara di dalam rapat saja tetapi tidak ada realisasinya,” tegas Zain.
Satu persoalan lagi, yang menurut Zain harus mendapatkan bantuan dar Pemkot Samarinda, adalah memompa debit air di Polder Gang Indra. Upaya ini untuk mengatur keluar masuk debit air agar bendali mampu menampung air hujan dan limpasan. Tetapi saat ini, pompa itu tidak berfungsi sehingga air yang ada di dalam folder tersebut tidak akan pernah berubah karena tidak ada pembuangan walaupun ada pintu airnya. “Hal ini yang akan kita minta kepada Walikota Samarinda untuk dapat mengoperasikan pompa air Polder Gang Indra, sehingga dengan begitu dapat mengurangi terjadinya banjir,” katanya. “Walaupun kita tidak bisa menyelesaikan secara tuntas, tatapi upaya akan terus kami lakukan untuk mengurangi banjir di Samarinda,” ujar Zairin.
Itu dari Bappeda. Yang lantas dilakukan orang nomor 1 di Kaltim, Awang Faroek Ishak, adalah melampaui teknis. Ia turun ke lapangan meninjau dan melihat banjir. Dari situ, ia banyak menerima kritik, terutama soal penyebab banjir yang datang dari kerusakan lingkungan akibat maraknya pertambangan batubara di tengah kota. Ia lantas menegaskan akan menutup 18 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Samarinda, sebagai salah satu yang disebut-sebut sebagai penyebab banjir. Seluruhnya perusahaan tambang yang beroperasi di sepanjang Sungai Karang Mumus (SKM) dari 61 perusahaan yang ada di tempat itu.
Dalam pertemuan dengan sejumlah media dan organisasi lingkungan, Gubernur Awang berjanji akan segera mencabut 18 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Samarinda. Gubernur mengakui bahwa 71% kawasan Kota Samarinda saat ini dikepung oleh IUP yang membahayakan warganya. Bahkan Ibukota Provinsi Kaltim ini pun sudah hampir tidak memiliki hutan kota. Resapan air lenyap. Pun, lahan-lahan pangan terus berkurang. Sementara sumber-sumber air menghilang atau tercemar. Salah satu alasan evaluasi dan pencabutan izin karena Ibukota Kaltim ini menjadi langganan banjir tiap hujan turun.
Belum lagi karena lubang bekas tambang batubara yang tak ramah lingkungan. Dalam kurun waktu empat tahun telah mengakibatkan puluhan nyawa melayang akibat tenggelam di lubang tambang. “Apalagi yang di Samarinda. Banyak tambang yang sudah menimbulkan korban jiwa. Anak-anak, itu semua akan kita tertibkan. Saya mengatakan kita tidak pernah ragu. Semuanya apabila bermasalah, apabila tumpang tindih peruntukan dengan kepentingan masyarakat, akan kita tutup. Kita cabut saja izinnya,” ujar Gubernur, Senin 10 April 2017.
Saat ini, jumlah IUP di Kaltim sebanyak 1.404 izin. IUP ini terdiri dari IUP Eksplorasi 665 izin, IUP Operasi Produksi 560 izin, Kuasa Pertambangan 168 izin, dan IUP dengan Penanaman Modal Asing (PMA) 11 izin. Berdasarkan hasil evaluasi, IUP di Samarinda yang akan dicabut berjumlah 18 izin (28%) dari 63 IUP yang ada dengan jumlah luas iup 3.628,94 hektare.
Aksi Gubernur masih perlu waktu. Tetapi banjir yang terjadi di Samarinda tidak lepas dari peran Bendungan Pengendali (Bendali) Benanga, Lempake. Bendali ini dipercaya sebagai penampung air sebelum menuju Kota Tepian. Rusaknya resapan air, ditambah terjadi pendangkalan di sekitar Bendali Benanga, membuat waduk ini tidak mampu lagi menampung air. Jika begitu, kuncinya ada di normalisasi sungai dan bendungan sehingga tak lantas membawa dampak buruk bagi sedimentasi dan aliran air yang meluap di Kota Tepian. (*)