Hati-Hati Resesi
Sepulang dari seminar ISEI di Bali, saya makan siang bersama sahabat saya, Bung Hafni, Selasa kemarin. Dia barusan ditegur sang istri. Gara-gara beli lombok 3 kg di Pasar Pandansari, tahu-tahunya ketinggalan. Padahal sekilonya Rp75 ribu. Dia cek kembali, sang penjual mengaku tidak melihat. Ya jadinya gigit jari. “Sudah harganya mahal, hilang lagi. Istri saya bilang lagi mikirin apa sih,” kata Bung Hafni kena sindir agak pedas.
Kami makan siang di warung Banjar dekat Masjid Namirah, Balikpapan Baru. Pemiliknya ibu muda bernama Aina, mantan karyawati perbankan. “Saya juga bingung bikin sambal untuk ikan dan ayam bakar saya. Soalnya harga-harga di pasar naik semua terutama bawang dan lombok,” katanya.
Hal yang sama juga dialami Bu Endang, pemilik Warung Jogya di persimpangan Balikpapan Baru. “Iya bingung, Pak. Mau naikkan harga jualan nggak tega, sementara harga demua bahan baku naik,” katanya kepada saya.
Kenaikan harga barang ini semakin merisaukan masyarakat. Sebab, bersamaan itu juga terjadi kenaikan harga BBM termasuk LPG, yang dibutuhkan untuk memasak. Apalagi mereka sudah cukup lama tergelincir karena licinnya suplai minyak goreng. Berikut harganya yang juga belum juga normal.
“Saya jadi waswas juga kalau mendengar pesan Presiden Jokowi,” kata seorang emak. Sebab, dalam berbagai kesempatan Presiden selalu bilang “hati-hati.” Karena itu seorang anggota DPR RI dari Komisi I, Sukamta sempat menanggapi. “Presiden seharusnya membuat langkah strategis menghadapi kenaikan harga bahan pangan. Tak cukup hanya dengan mengingatkan dan mewanti-wanti rakyat,” katanya.
Di depan peserta Rapim TNI-Pori di Cilangkap, Jakarta Timur awal Maret lalu, Presiden mengungkapkan ada beberapa penyebab naiknya harga-harga barang saat ini. Mulai soal kelangkaan peti kontainer di seluruh dunia, yang menyebabkan ongkos angkut atau freight cost naik, kelangkaan pangan, kenaikan angka inflasi, sampai kelangkaan energi.
Presiden menggambarkan kelangkaan pangan terjadi di berbagai belahan dunia, sehingga harga pangan jadi naik. Malah ada yang naiknya sampai 90 persen.
Tentu saja juga berimplikasi terhadap kenaikan inflasi. Kalau angka inflasi naik artinya harga-harga semua naik. “Beban masyarakat untuk membeli barang juga semakin naik tinggi,” tambahnya.
Itu juga yang terjadi dengan kelangkaan energi. Kondisi ini menurutnya diperburuk dengan adanya perang antara Rusia dan Ukraina. Akibatnya, harga BBM hingga LPG juga naik. “Karena kelangkaan, ditambah perang, yang naik semua. Di semua negara harga BBM termasuk LPG naik. Hati-hati dengan ini semua,” kata Jokowi.
Pada peringatan Hari Keluarga Nasional di Medan, Kamis 7 Juli 2022 lalu, Presiden mengingatkan kembali kepada masyarakat untuk hati-hati. Ia menyinggung harga pangan terutama gandum. Sebab Indonesia mengimpor 11 juta ton gandum per tahun untuk kebutuhan dalam negeri dari negara yang sedang konflik. “Ini hati-hati, yang suka makan roti dan mie karena harganya bisa naik,” kata Jokowi lagi.
Kelangkaan pangan dan harganya yang meroket menyebabkan negara adidaya seperti Amerika sudah mulai tidak berdaya. Antrean ribuan warga yang membutuhkan bantuan pangan dari bank pangan AS terjadi di mana-mana. “Harga makanan sangat tinggi dan terus naik setiap hari. Kami tak mungkin hidup tanpa bantuan,” kata Diane Martinez, warga di negara bagian Phoenix kepada Associated Press.
Inflasi yang meroket tajam menjadi penyebab antrean makanan yang terjadi di AS. Pada Juni 2022, inflasi di AS tembus 9,1 persen, tertinggi sejak 41 tahun terakhir. Harga-harga mengalami kenaikan, baik pangan maupun nonpangan. Harga bensin bahkan sudah mencapai 5 dolar AS per galon.
Pemicu Resesi
Kelangkaan barang, kenaikan harga, inflasi, dan kenaikan suku bunga, sebagian dari tanda-tanda resesi. Dalam bahasa sederhananya, resesi itu kebangkrutan ekonomi. Negara lumpuh, rakyat tidak berdaya. Biasanya terjadi kerusuhan di mana-mana. Maklum banyak yang menganggur dan kelaparan. Sementara negara terlilit utang dan tidak mampu membayar.
Presiden Bank Dunia David Malpass menyebut resesi ekonomi global sudah di depan mata. Dia pesimis negara-negara di dunia bisa menghindari ancaman tersebut.
“Perang di Ukraina, lockdown di China, gangguan rantai pasokan dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan dan sulit dihindari,” jelasnya.
Kondisi ini sudah dialami Srilanka, yang ambruk dan bahkan presidennya, Gotabaya Rajapaksa terpaksa kabur. Pakistan juga kelabakan. Apakah ini akan dialami negara lain termasuk Indonesia?
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan geram kepada pihak yang mengatakan kondisi perekonomian Indonesia bisa bernasib sama dengan Srilanka. “Kalau ada yang ngomong begitu, bilang dari saya, sakit jiwa itu. Lihat data-data yang baik,” katanya kepada Tribunnews.com.
Menurut ekonom garang, yang juga mantan menko ekuin, Rizal Ramli, kondisi Indonesia hampir mirip Srilanka. Sebagai tolak ukurnya dia menggunakan indikator debt to service ratio (DSR). Rasio utang terhadap pendapatan. “DSR untuk mengukur kemampuan negara bayar utangnya,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, DSR Sri Lanka 39,3 persen. Sedang Indonesia 41,4 persen. “Tapi data Bank Dunia menyebut 36,7 persen,” tambahnya. Sementara batas aman DSR itu adalah 25 persen.
Indikator lain yang disinggung Rizal Ramli adalah interest coverage ratio to income cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan porsi beban utang terhadap penerimaan dalam negeri atau income kerentanannya meningkat. Tax ratio juga jauh lebih rendah.
“Jadi kita ini gali lubang tutup jurang. Cicilan pokok utang Rp400 triliun ditambah cicilan bunga Rp405 triliun. Buat bayar bunga saja mesti ngutang lagi,” kata Rizal.
Ekonom lainnya, Didik J Rachbini, menilai Indonesia jelas berbeda dengan Srilanka dan Pakistan. Tetapi potensi krisis dan resesi di Indonesia tetap ada. Dengan catatan, jika stabilitas politik lebih berat, harga-harga terus naik, dan krisis global terus terjadi.
“Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis termasuk kebijakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN),” kata Didik pada diskusi Forum Guru Besar INSAN CITA dengan tema “Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis,” di Jakarta, 17 Juli lalu.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Miranda S. Goeltom mengungkapkan, di tengah krisis dunia akibat pandemi, peperangan dan faktor lainnya, dunia mengakui keberhasilan Indonesia dalam menjaga kondisi perekonomiannya tetap stabil.
“Kita tidak perlu ragu. Dunia mengakui kemampuan Indonesia dalam menghadapi krisis. Tapi kita tetap harus hati-hati,” katanya ketika menjadi moderator di Lemhannas, Jakarta, Senin 18 Juli 2022 lalu.
Ia menggambarkan sepanjang sejarah perekonomian, belum pernah angka inflasi Indonesia lebih rendah dari Amerika. Tapi sekarang inflasi Indonesia hanya 4 sampai 5 persen, sementara Amerika Serikat mencetak inflasi mencapai 9 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui lonjakan inflasi menjadi masalah yang kompleks bagi bank sentral di seluruh dunia. Tapi katanya, ketika Bank Sentral AS (The Fed) telah menaikkan bunga acuan beberapa kali sepanjang semester I tahun 2022, BI justru masih menahan bunga acuan di level 3,5 persen. Itu pertanda perekonomian Indonesia masih bisa terjaga.
Lembaga kajian ekonomi, Visual Capitalist, pekan lalu merilis 25 negara di dunia yang terancam mengalami kebangkrutan. Mulai El Savador, Pakistan, Mesir, Ukraina, Afrika Selatan, Nigeria sampai Meksiko. Tidak termasuk Indonesia.
Perusahaan keuangan AS, Bloomberg merilis 15 negara yang berpotensi mengalami resesi. Bloomberg memasukkan Indonesia di urutan ke-14, selain Jepang, Hongkong, Australia, Taiwan, Malaysia, Thailand, Filipina, dan India. Tapi risiko yang dihadapi Indonesia terbilang rendah, hanya 3 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikenal sebagai srikandinya ekonomi Indonesia mengungkapkan sejumlah indikator ekonomi menunjukkan perekonomian Indonesia masih sangat bagus. Namun, Indonesia harus tetap waspada dan terus memonitor potensi resesi.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) dan BI, indikator ekonomi Indonesia seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, transaksi berjalan, neraca pembayaran Indonesia (NPI), hingga ekspor impor masih sangat baik. Namun nilai tukar terus melemah dan menunjukkan kinerja yang buruk.
Saya kaget kemarin. Sepulang sekolah, cucu saya Defa yang duduk di kelas 3 SD, tanya apa itu resesi. Bingung juga saya menjelaskan. Akhirnya saya bilang itu semacam hantu, yang membuat kamu tidak bisa makan banyak karena orang tuamu tidak punya duit.
Saya pernah baca, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan secara pribadi atau keluarga dalam menghadapi guncangan resesi yang bisa melanda kita semua, sekarang atau besok. Kita memang harus berjaga-jaga.
Di antaranya, jangan hidup boros, atur ulang pos-pos pengeluaran, kalau bisa mengurangi atau melunasi utang, mulai siapkan dana darurat, siapkan juga asuransi, cari pendapatan lain untuk menambah income, upayakan bisa investasi atau menabung. Jangan lupa terus berdoa. (*)