Karena Banjir Bukan Takdir Samarinda (Bagian I)
Wahana Lingkungan Hidup Kaltim (Walhi) Kaltim pernah bicara begini suatu ketika, tentang banjir yang susul menyusul di dua kota besar di Kalimantan Timur (Kaltim), di Kota Tepian dan Kota Minyak: “Ini bencana ekologis karena keserakahan manusia. Salah urus dan salah kelola perkotaan,” begitulah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, Fathur Rozikin berujar. Banjir, di mata Fathur, bukan semata takdir.
Tak Cuma Walhi yang menyindir banjir. Pengamat kebijakan publik dari Pokja 30, Carolus Tuah, juga menyorotinya. Carolus Tuah justru melihat jika banjir di Samarinda telah melahirkan banyak solusi. Cuma, tinggal Pemkot mau pilih yang mana. Tuah menyasar persoalan banjir dari perspektif berbeda. Persoalan banjir saat ini, menurut Tuah, takmemiliki tindakan politik dari pemerintah. “Bagaimana penegakan hukumnya?” tanya Tuah, dengan menegaskan jika Perda adalah produk politik.
Jika selama ini banjir merupakan turunan dari persoalan alam dan masyarakat, menurut Tuah, banjir Samarinda adalah buntut dari penegakan peraturan daerah yang belum konsisten berjalan. Misal, Peraturan Daerah (Perda) Samarinda Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah. Pun, Peraturan Walikota Nonor 16 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah.
Banjir juga menjadi semacam copy paste berkelanjutan dengan dampak yang varian bagi masyarakat Bumi Etam dalam setahun ini. Takcukup hanya terjadi di dua kota besar itu saja, Samarinda dan Balikpapan, banjir melanda. Seperti arisan, pelosok wilayah lain di Kaltim pun kena giliran. Sebut saja Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), mengalami banjir pada April 2017. Di Kutai Barat (Kubar), Long Iram dan Kampung Hana mengalami banjir pada Mei 2017.
Pemerintah tampaknya tak kurang upaya untuk mengusir banjir dari lahan kekuasaannya. Langkah Gubernur Awang Faroek Ishak bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) misalnya, berencana menutup sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk mengurangi banjir. Setidaknya di Ibukota Provinsi, Samarinda. Indikasinya, pertambangan batubara yang nakal menjadi cikal bakal bencana banjir yang datang bertubi.
Tim khusus dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim juga turun meninjau persoalan banjir di Samarinda. Bekerja sama dengan Pemkot Samarinda, Pemprov pun memastikan akan membantu penyelesaian banjir.
Dari Pemkot Samarinda sendiri sudah panjang menmpuh langkah. Program pun bertaburan dengan anggaran ratusan miliar. Pembelian alat keruk amfibi multifungsi dari Finlandia seharga Rp 14 M dilakukan di tahun 2014. Tetapi alat tersebut sempat “nongkrong” di pinggiran Sungai Karang Mumus tanpa fungsi yang jelas. Padahal, alat tersebut seharusnya berfungsi sesuai dengan alamat pemerintah saat pembelian, yaitu untuk mengeruk sedimentasi lumpur Sungai Karang Mumus dan mengurangi banjir.
Di tahun 2011, Pemprov bersama DPRD Kaltim menyepakati program penanganan banjir Samarinda, dengan anggaran Rp602 M, yang meluncur di atas kontrak tahun jamak (multiyears), terbagi atas sistem SKM Rp 322 M, sistem Karang Asam Besar dan Loa Bakung Rp44 M, sistem Karang Asam Kecil Rp55 M, dan sistem Loa Janan dan Rapak Dalam Rp181 M. Pada tahun 2012, Pemprov Kaltim menyuntikkan dana Rp30 M kepada Pemkot guna memuluskan tugas pembebasan lahan. Jumlah itu belum ditambah duit jaminan reklamasi (dana jamrek) sebesar Rp61 miliar yang juga masih “duduk manis”.
“Anggaran besar ini hanya menjadi sebatas proyek pembebasan lahan, relokasi warga bantaran Sungai Karang Mumus dan pengerukan sungai, tetapi tidak menyelesaikan masalah pada hulunya. Banjir tetap saja melanda Ibukota Kaltim. Biaya pemulihan akibat pertambangan di hulu SKM tidak dihitung dan dilakukan. Padahal, ada Rp61 M dana jaminan reklamasi yang belum digunakan,” demikian Forum 1 Bumi menyampaikan pendapatnya saat memperingati Hari Air Sedunia, tahun 2016 lalu. (*)