Amnesty Internasional Soroti Kekerasan Aparat Saat Demo Omnibus Law
KLIKSAMARINDA – Amnesty Internasional Indonesia menyoroti praktik kekerasan dalam pengamanan aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Undang Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Indonesia beberapa waktu lalu. Amnesty Internasional bahkan merilis bukti-bukti kekerasan polisi selama aksi menolak Omnibus Law.
Padahal, Indonesia adalah negara yang mendukung Konvensi PBB yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT) dan larangan penyiksaan diatur dalam Konstitusi negara ini. Ada juga larangan mutlak atas penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat menurut hukum kebiasaan internasional.
Aksi massif ini dipicu setelah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengesahkan Undang Undang Cipta Lapangan Kerja pada 5 Oktober 2020. Sejak awal diusulkan ke DPR, aksi besar-besaran menolak draft ini berlangsung di berbagai kota. Amnesty International Indonesia telah mengkritik banyak pasal dalam UU ini karena berdampak negatif pada hak asasi manusia.
Dalam rilis 2 Desember 2020, Amnesty Internasional Indonesia memverifikasi 51 video kekerasan oleh polisi selama aksi protes 6-15 Oktober 2020. Bekerja sama dengan Crisis Evidence Lab dan Digital Verification Corps Amnesty International, Amnesty Internasional Indonesia telah memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan terpisah oleh polisi Indonesia selama aksi yang terjadi antara 6 Oktober hingga 10 November 2020.
“Hasil pemeriksaan kami atas insiden ini menunjukkan bahwa polisi di berbagai Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM yang mengkhawatirkan,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Pemantauan yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut. Amnesty juga mencatat sebanyak 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi.
Berdasarkan laporan dari tim advokasi gabungan, sebanyak 301 dari mereka ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, termasuk 18 jurnalis, yang kini telah dibebaskan.
Data pemantauan Amnesty International Indonesia juga menunjukkan protes daring Omnibus Cipta Kerja juga ditanggapi dengan intimidasi. Sepanjang 7-20 Oktober 2020, tercatat 18 orang di tujuh provinsi dijadikan tersangka karena dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Belum ada satu pun dari mereka yang divonis.
“Ada banyak sekali video dan kesaksian tentang kekerasan polisi yang beredar sejak hari pertama aksi. Insiden ini mengingatkan kita pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia 22 tahun lalu, di akhir masa rezim Soeharto. Pihak berwenang harus belajar dari masa lalu bahwa rakyat tidak pernah takut untuk menyuarakan hak mereka,” ujar Usman Hamid.
Usman Hamid menegaskan agar pihak berwenang di Indonesia segera menyelidiki kasus penggunaan kekerasan yang tidak sah oleh polisi, yang terjadi saat aksi menolak Omnibus Law Cipta Kerja, secara mandiri, netral dan efektif.
“Ketika para pengunjuk rasa berdemo menuntut pembatalan undang-undang baru ini di banyak kota, sebagian dari mereka direspon dengan kekerasan yang luar biasa, termasuk pemukulan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya, yang menunjukkan pelecehan hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi,“ ujar Usman Hamid.
Berikut peta interaktif di bawah ini menunjukkan insiden-insiden yang telah diverifikasi oleh Amnesty International Indonesia:
Dari 51 video yang diverifikasi Amnesty International Indonesia, setidaknya setengahnya berisi bukti penggunaan tongkat polisi, potongan bambu dan kayu, dan bentuk pemukulan lainnya yang melanggar hukum. Dalam video berikut dari Bekasi, Jawa Barat, tertanggal 7 Oktober, satu orang – yang diidentifikasi sebagai mahasiswa Universitas Pelita Bangsa – diseret dari kerumunan dan secara terus-menerus dipukuli oleh sejumlah anggota polisi. Suara tembakan gas air mata juga terdengar sebagai latar dalam aksi ini.
Lokasi: Bekasi, Jawa Barat. Tanggal: 7 Oktober 2020. Latitude: -6.290622. Longitude: 107.1417691.
Suhendar adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pelita Bangsa. Ia berperan sebagai koordinator aksi pada hari itu dan menyaksikan kekerasan terhadap, setidaknya, enam kawannya. Kepada Amnesty, ia menceritakan bahwa teman-temannya mengalami luka ringan hingga parah akibat pemukulan tersebut.
“Saya melihat enam, delapan [memperkirakan secara lisan]… atau sepuluh teman dipukuli oleh banyak polisi. Di video yang viral, kita bisa lihat dengan jelas bagaimana kejadiannya. Waktu itu, kami harus bawa mereka ke rumah sakit karena sebagian kena luka yang cukup serius butuh perawatan intensif,” jelas Suhendar.
Dalam dua video berikut, anggota polisi di Pontianak, Kalimantan Barat, terlihat berusaha menangkap pengunjuk rasa di dalam pusat perbelanjaan. Selanjutnya, anggota polisi di Yogyakarta memukul pengunjuk rasa dengan tongkat di tengah jalan.
Lokasi: Pontianak, Kalimantan Barat. Tanggal: 7 Oktober 2020. Latitude: -0.0651105. Longitude: 109.3568772
Lokasi: Yogyakarta. Tanggal: 8 Oktober 2020. Latitude: -7.7901632. Longitude: 110.3661679.
*Melki, seorang fotografer dari sebuah media nasional di Surabaya, Jawa Timur, mencoba merekam polisi yang menyerang beberapa pengunjuk rasa ketika ia tiba-tiba didekati oleh setidaknya lima petugas polisi.
“Lima atau enam orang mencoba merebut ponsel saya. Saya melawan, dan mereka mengancam saya. Mereka mencoba merebut lagi, hampir jatuh, tapi untungnya, saya bisa tangkap. Lalu saya bilang saja, ‘Saya ini wartawan, saya bisa laporkan kamu ke dewan pers dan kelompok advokasi’. Komandan mereka melihat kejadian ini, terus mereka diperintahkan untuk mundur. “
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang bertugas selama demo menolak Omnibus antara tanggal 7 dan 21 Oktober 2020. Kasus terbanyak terjadi di Malang, Jawa Timur, di mana ada 15 laporan penyerangan terhadap jurnalis oleh aparat keamanan.
Lokasi: Universitas Islam Bandung, Jawa Barat. Tanggal: 8 Oktober 2020. Latitude: -6.9035083. Longitude: 107.6084454.
Dalam rekaman CCTV – milik Universitas Islam Bandung (Unisba), Jawa Barat – terlihat sejumlah polisi memukul petugas keamanan kampus.
Laporan media menyebut bahwa sehari setelah kejadian tersebut, pihak universitas melayangkan pengaduan resmi ke kepolisian. Menanggapi pengaduan tersebut, Kapolsek Kota Bandung, Ulung Sampurna Jaya, mengatakan bahwa anggotanya berusaha membubarkan massa dan mengejar sampai dalam area kampus. Ia menuding bahwa pengunjuk rasa adalah orang-orang yang memicu kekerasan dan perusakan.
Di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, polisi terlihat menggunakan tongkat mereka untuk memukuli mahasiswa yang berdiri secara damai di depan sebuah gedung.
Lokasi Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Tanggal: Latitude: 1.3773298. Longitude: 99.2714489
“Insiden ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan oleh polisi gagal menjaga keselamatan masyarakat dan melanggar standar internasional. Pihak berwenang harus segera menyelidiki bukti ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak,” kata Usman.
Amnesty percaya bahwa kekerasan tidak boleh digunakan untuk menghukum mereka yang (dituduh atau diduga) tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah atau hanya mengekspresikan kebebasan berkumpul. Jika penggunaan tongkat dan peralatan sejenis tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus secara jelas diperintahkan untuk menghindari terjadinya cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital.
Penggunaan gas air mata dan water cannon yang tidak tepat
Komite HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan sangat jelas dalam Komentar Umum Nomor 37 bahwa:
“Sebuah kegiatan berkumpul hanya boleh dibubarkan dalam kasus-kasus tertentu. Pembubaran boleh dilakukan saat sebuah kegiatan tersebut sudah tidak lagi damai, atau jika ada bukti jelas adanya ancaman nyata terjadinya kekerasan yang tidak bisa ditanggapi dengan tindakan yang lebih proporsional seperti penangkapan terarah, tapi dalam semua kasus, aparat penegak hukum harus mengikuti aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan.”
Keputusan untuk membubarkan aksi harus diambil sejalan dengan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas dan hanya jika tidak ada cara lain untuk melindungi ketertiban umum dari risiko kekerasan.
Ketika keputusan yang sah telah diambil untuk membubarkan suatu aksi, perintah tersebut harus dikomunikasikan dengan jelas agar, sebisa mungkin, demonstran mengerti dan patuh. Selain itu, waktu yang cukup juga harus diberikan agar massa bisa membubarkan diri.
Namun, dalam video terverifikasi berikut, polisi terlihat menggunakan tembakan gas air mata dan water cannon yang sepenuhnya melanggar standar internasional yang disebut di atas.
Lokasi: Bandar Lampung, Lampung. Tanggal: 7 Oktober 2020. Latitude: -5.4404785. Longitude: 105.2584878.
Lokasi: Purwokerto, Jawa Tengah. Tanggal: 15 Oktober 2020. Latitude: -7.4238754. Longitude: 109.2301197
Jenis peralatan yang digunakan untuk membubarkan aksi harus dipertimbangkan dengan cermat dan hanya digunakan jika diperlukan, secara proporsional, dan sesuai hukum. Peralatan kepolisian dan keamanan – seperti peluru karet dan gas air mata, yang sering disebut sebagai senjata yang “tidak mematikan” – dapat mengakibatkan cedera serius dan bahkan kematian.
Penahanan ‘Incommunicado’
Di Bandung, *Afif, seorang mahasiswa, sedang berjalan menuju sepeda motornya yang diparkir di samping gedung DPRD Jawa Barat ketika polisi yang tidak menggunakan seragam mendekatinya. Ia diinterogasi dan ponselnya diperiksa. Polisi membawanya ke dalam gedung DPRD, di mana ratusan pengunjuk rasa lainnya juga ditahan.
“Saya enggak ngomong apa-apa, tapi mereka tiba-tiba menangkap saya. Mereka menampar dan menendang saya. Saya juga melihat sekitar dua puluh orang mengalami kekerasan yang sama. Beberapa dari mereka menangis. Saya bingung apa yang sedang terjadi karena saya dilarang menghubungi siapa pun pada saat itu.”
*Tyo, seorang pengunjuk rasa dari Bandung, Jawa Barat, mengatakan kepada Amnesty, setelah dirinya bebas, bahwa ia tengah melarikan diri dari tembakan gas air mata ketika polisi menangkapnya. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi tanpa adanya pemberitahuan kepada siapapun tentang keberadaannya. Duduk bersama ratusan pengunjuk rasa, ia merasa tak berdaya.
“Saya menginap di kantor polisi, Tidak ada yang mengunjungi saya. Saya tidak dapat menghubungi siapa pun waktu itu.” Ia dibebaskan sehari setelah penangkapan.
Penahanan tanpa akses ke dunia luar atau penahanan ‘incommunicado’ mengandung unsur penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya dan penghilangan paksa. Bergantung keadaannya, penahanan ‘incommunicado’ bisa dianggap sebagai bentuk penyiksaan atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
Penangkapan dan penahanan harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum dan tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk mencegah partisipasi damai dalam aksi atau sebagai hukuman untuk hak atas kebebasan berkumpul.
Penyiksaan dan perlakuan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat
Amnesty Indonesia telah memverifikasi video yang menunjukkan penyiksaan dan perlakuan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat terhadap para demonstran.
Lokasi: Samarinda, Kalimantan Timur. Tanggal: 8 Oktober 2020. Lattitude: -0.5017691. Longitude: 117.1116327
Di Samarinda, Kalimantan Timur, seorang pengunjuk rasa diseret secara tidak wajar oleh polisi berpakaian preman di depan gedung DPRD.
Lokasi: Cirebon, Jawa Barat. Tanggal: 9 Oktober 2020. Latitude: -6.757755. Longitude: 108.474838
Di Cirebon, Jawa Barat, puluhan pengunjuk rasa, yang ditahan, ditelanjangi dan dipaksa berbaring di bawah terik matahari.
Dalam beberapa video yang diverifikasi Amnesty, demonstran dipermalukan dengan cara dipaksa berjalan jongkok. Dalam beberapa video lainnya, demonstran dipukuli, terkadang hingga tidak sadarkan diri. (*)