Kaltim Menuju Ibu Kota Negara, Bagaimana Rencana Pemerintah dan Keinginan Warga?
Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Ibu Kota Republik Indonesia (RI) pengganti DKI Jakarta berlokasi di Kalimantan Timur (Kaltim). Untuk itu, Gubernur Kaltim Isran Noor dalam waktu dekat akan melakukan koordinasi kepada para bupati dan wali kota yang terdampak langsung dari pemindahan pusat pemerintahan.
“Nanti kami akan melakukan koordinasi ke Bupati Penajam Paser Utara (PPU), serta Bupati Kukar juga Wali Kota Samarinda dan Wali Kota Balikpapan. Karena keempat kabupaten/kota ini terkena langsung wilayahnya dan akan mendapatkan dampak positif dan negatif,” kata Isran, saat ditemui awak media di Bandara APT Pranoto, Selasa, 27 Agustus 2019.
Isran menjelaskan, dalam koordinasi nanti akan menyelesaikan draft lineasi dan menetapkan secara jelas titik koordinat yang bakal menjadi wilayah ibukota negara yang baru tersebut di dalam koordinat yang ditetapkan supaya tidak salah. Dalam penyusunan draft tersebut, ia mengungkapkan tidak dapat tergesa-gesa dalam penyelesaiannya.
“Yang penting kan harus dilaksanakan. Kalau nanti salah, repot juga. Itu merupakan sebuah dokumen hukum yang sangat penting,” imbuhnya.
Secara umum, kebutuhan kawasan untuk ibukota negara baru sekitar 180 – 200 ribu hektare lahan yang akan dipergunakan untuk pembangunan pusat pemerintahan negara nantinya. Pemerintah pusat menetapkan 180 hektar kawasan yang akan digunakan untuk pembangunan Ibu Kota Negara. Isran menyebutkan setidaknya lokasi tersebut berada diantara 3 kecamatan, yakni Kecamatan Samboja dan Kecamatan Muara Jawa yang masuk wilayah Kabupaten Kukar dan Kecamatan Sepaku yang masuk wilayah Kabupaten PPU. Pada 2020 mendatang, desain dan payung hukum undang-undang ibu kota negara akan diselesaikan. Di 2021, akan dimulai pembangunan infrastruktur mendasar seperti istana negara, kantor parlemen dan kantor kementerian di atas tanah seluas sekira 2 ribu hektar.
“Saya mendengar dari Bappenas kemarin, pembangunan mendasar seperti istana negara dan lainnya akan mulai dibangun pada 2021 hingga 2023. Sehingga, 2024 pemindahan Ibu Kota negara sudah bisa dilakukan,” terang Isran.
Penetapan lokasi ibukota Negara yang baru membuat Gubernur Kaltim, Isran Noor, bersyukur. Selanjutnya, ia akan segera berkoordinasi dengan kepala daerah yang wilayahnya terkena langsung menjadi lokasi baru tersebut untuk menentukan titik koordinatnya. “Pertama kita bersyukur wilayah Kalimantan Timur ditetapkan Presiden sebagai calon Ibukota Negara. Selanjutnya saya secepatnya akan melakukan koordinasi dengan para bupati dan walikota,” katanya.
Ia menyebutkan tidak terburu-buru dalam mempersiapkan koordinat mana yang nantinya ditetapkan. Pasalanya, itu akan menjadi pegangan hukum sebagai wilayah ibukota negara. Ia mengungkapkan tahapan awal, desain dan payung hukum akan rampung di tahun 2020.
“Desain dan payung hukumnya, perundang-undangannya ibukota negara,” sebutnya.
Lalu, di tahun 2021, akan dimulai dibangun kontruksi dan infrastrukturnya dasar di atas kawasan 2-3 ribu hektare untuk kantor pusat, seperti istana presiden, kantor parlemen dan kantor-kantor kementerian yang ada. Dalam frame waktunya, menurut Gubernur, kira-kira 2024 sudah bisa dimulai pemindahan.
Mengenai isu lingkungan yang menjadi ketakutan sebagian masyarakat ketika Pusat pemerintahan negara di pindah ke Kaltim, Isran menanggapi santai. Dia menyebut, tidak ada masalah. Sebab, dalam pembangunan sebuah kawasan, masalah ligkungan menjadi salah satu referensi.
“Oh, itu tidak ada masalah. Mengenai lingkungan itu sudah menjadi referensi kami. Seperti kita mau membangun rumah, pasti kalian mempertimbangkan lingkungannya, kan,” ujar Isran.
Nah, itu baru sebagian dari rencana pemerintah. Namun, bagaimana dengan tanggapan dan keinginan warga dengan adanya rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kaltim. Secara khusus, warga di salah satu lokasi yang telah disebutkan Presiden sebagai lokasi Ibu Kota Baru, yaitu di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara mengaku antusias menyambut rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kaltim, khususnya ke Kecamatan Samboja. Warga mengaku senang dan berharap hal itu segera terealisasi. Bahkan, warga menyatakan siap jika harus menyerahkan lahan pertanian garapan mereka. Di tempat ini, ada lahan pertanian seperti tomat, cabai, pala, dan lahan perkebunan kelapa sawit milik warga.
”Saya sangat bersyukur banget. Kalau bisa berpindah ke Kalimantan Timur. Karena dilihat potensinya untuk kemajuan wilayah di sini juga. Saya kira pasti Pak Presiden akan tahu yang mana akan bisa jadi lahan pertanian masyarakat. Beliau juga sangat suka bertani,” ujar Gerson Rembang, warga RT 15, Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja.
Antusiasme warga seperti Gerson Rembang memiliki latar belakang panjang yang berkaitan dengan kepemilikan dan hak guna lahan di Samboja. Warga Samboja telah memakai lahan di wilayah Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Suharto sejak awal tahun 1990-an. Warga mengaku saat pertama kali datang, lahan yang mereka gunakan saat ini tidak termasuk dalam lokasi Tahura Bukit Suharto. Namun, saat revisi perluasan Tahura di tahun 2011, lahan yang mereka tempati saat ini masuk dalam wilayah Tahura. Akibatnya, mereka saat ini tidak bisa memiliki bukti kepemilikan lahan dan hanya mendapatkan surat hak guna lahan yang dikeluarkan kelurahan setempat.
Tahura Bukit Suharto memiliki luas areal 67.766 hektare. Selain digunakan masyarakat untuk bertani, kawasan ini digunakan jalan poros Samarinda-Balikpapan sejak 1980. Ketua RT 25, Kilo 41, Samboja, Sampelapi mengaku apa yang terjadi saat ini akibat perluasan lahan Tahura hingga 5 kilometer dari titik awal Tahura. Namun, Sampelapi juga optimis seperti Gerson Rembang terkait rencana pemindahan Ibukota Negara ke wilayahnya. Sampelapi berharap ada perbaikan ekonomi warga dengan adanya rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Samboja. Meskipun Sampelapi juga berpikir jika lahan pertaniannya terimbas rencana pemindahan Ibu Kota Negara, dia akan rela melepasnya kepada Negara.
Sisi positifnya nanti kita pasti berkembang karena memang selama ini Samboja ketinggalan betul. Daerah tertinggal ini. Hasil buminya Kutai Kartanegara itu banyak, tapi masyarakatnya di bawah rata-rata kehidupannya. Tidak diganti kalau lahan, cuma ya kita dengan informasi, kan cuma tanaman saja sama rumah yang diganti. Lahan, kan hutan Tahura. Kita tidak bisa berkeras. Mau tidak mau. Namanya negara minta, ya kita sebagai warga negara yang baik harus relakan,” ujar Sampelapi.
Warga juga berharap pemindahan ibukota negara ke daerah baru tidak menjadi masalah baru di daerah yang dituju sehingga keinginan menyelesaikan masalah ibu kota di Jakarta tidak menimbulkan masalah baru dan lebih besar di daerah baru. Terutama bagi entitas warga dan komunitas seperti warga petani dan di antaranya adalah Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (BOS) memiliki misi merehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Yayasan BOS, Samboja Lestari, Kutai Kartanegara (Kukar). (Jie, NR)