Lubang Galian Tambang Batubara di Samboja Kaltim Jadi Tempat Hendrik Kristiawan Meninggal Dunia
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim), 27 Agustus 2019, merilis informasi tentang korban meninggal dunia di lubang galian tambang batubara. Korban bernama Hendrik Kristiawan (25 tahun) warga Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) meninggal dunia di tengah perdebatan lokasi baru yang menjadi calon Ibu kota Negara. Hendrik tenggelam pada Kamis, 22 Agustus 2019, tenggelam di lubang tambang PT. Singlurus Pratama. Letaknya tidak jauh dari pemukiman warga.
Berbahayanya lokasi ini disikapi oleh orang tua almarhum, “Kami berharap lubang tambang itu ditutup. Jangan lagi ada warga lain yang jadi korban,” ungkap Suhendar, ayah korban. Selain ayahnya, Hendrik selama ini menjadi tulang punggung keluarga.
Tak jarang juga di waktu senggangnya jika tidak sedang masuk kerja, ia membantu menyelesaikan doran dan kasut bikinan ayahnya. Kini adiknya yang kedua harus menggantikan peran Hendrik membantu Suhendar dan Triseni juga kedua adiknya.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menyatakan, bertambahnya korban meninggal di lubang tambang setiap tahunnya sejak 2011 yang sebagian besar adalah anak-anak dan pemuda, menjadi penanda penting suramnya masa depan calon Ibu kota Negara. Hendrik Kristiawan pemuda korban ke-36 yang meninggal di lubang galian tambang pemilik PT Singlurus Pratama.
Tim Jatam Kaltim menemukan beberapa fakta hasil pemantauan dan analisa lapangan. Antara lain:
Pertama, Hendrik Kristiawan pemuda korban ke-36 berdasarkan keterangan warga tewas setelah sebelumnya tenggelam sekitar pukul 19.00 WITA dan baru ditemukan sekitar pukul 22.00 WITA. Malam itu juga, warga mengevakuasi dan membawanya ke RSUD ABADI Kecamatan Samboja.
Kedua, lokasi tempat ditemukannya Hendrik Kristiawan adalah sebuah lembah bukit yang berubah menjadi telaga yang terbentuk akibat sisi luar lembah ditutupi ribuan metrik ton Overburden (Lapisan Tanah pucuk). Berdasarkan titik koordinat ( S 00° 57’04.8″, E 117° 05’01.6″ ), lokasi masuk dalam konsesi PT. Singlurus Pratama. Berdasarkan penelusuran dokumen Perizinan, Konsesi PT. Singlurus Pratama mendapatkan konsesi seluas 24. 760 hektar dari Kementerian ESDM.
Ketiga, jarak antara rumah terdekat dengan Telaga ini berjarak 770 Meter Keduanya berada dalam konsesi Pertambangan pemilik PT. Singlurus Pratama.
Keempat, di lokasi tak ditemukan papan peringatan, pagar pembatas serta pos dan petugas pengamanan guna mencegah akses warga ke telaga tersebut. Hal ini diduga menyalahi Keputusan Menteri ESDM Nomor 55/k/26/mpe/1995 yang berbunyi tidak memasang plang atau peringatan dan tidak ada pengawasan yang menyebabkan orang lain masuk ke kawasan tambang.
”Berdasarkan temuan tersebut, Jatam Kaltim menilai perusahaan tambang batubara PT. Singlurus Pratama, bertanggung jawab secara hukum atas kematian Hendrik Kristiawan (25 Tahun) karena kelalaian pihak perusahaan dalam Melakukan Pengawasan dalam kegiatannya sesuai Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perbuatan Melawan Hukum oleh penanggung jawab usaha dan juga Pejabat Pemerintah karena Telah Lalai yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dan menyebabkan kematian dapat dikenakan pidana, Maka PT. Singlurus Pratama dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diduga kuat telah cukup untuk dikenakan pasal ini,” ungkap Rupang.
Jatam Kaltim juga berpendapat Kementerian ESDM dan Dinas ESDM Kaltim dapat diterapkan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UUPPLH, sebab unsur “barang siapa”, “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” yang tercantum dalam Pasal 359
KUHP maupun Pasal 112 UUPPLH “Setiap pejabat berwenang”, “tidak melakukan pengawasan”, “terhadap ketaatan penanggung jawab usaha” atau “kegiatan terhadap peraturan perundang- undangan dan izin lingkungan”, “mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan”, “ mengakibatkan hilangnya nyawa manusia” telah terpenuhi.
”Jatam Kaltim mendesak PPNS Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi dan PPNS ESDM Provinsi Kaltim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan Tindak Pidana Pertambangan dan Tindak Pidana Lingkungan Hidup pada kasus tewasnya Hendrik Kristiawan maka selama proses penyelidikan tersebut aktivitas operasi PT.S inglurus Pratama harus dihentikan,” tambah Rupang.
PT. Singlurus Pratama pada tahun 2016 sudah pernah dilaporkan kepada pemerintah karena merampas lahan warga dan menambangnya tanpa mendapatkan persetujuan dari pemilik lahan. Warga juga telah melaporkan kasus ini kepada pihak DPRD Kabupaten serta Dinas Lingkungan Hidup, namun hasilnya nihil. Pemerintah memilih acuh dan menganggap persoalan warga ini hanya bukan hal penting.
Selain itu, Jatam Kaltim juga menyesalkan Gubernur Kaltim yang tak pernah belajar dari kesalahan dan pura-pura tutup mata atas terus terjadinya kejahatan tambang di Kaltim.
”Bukannya berbenah dan segera melakukan pencegahan serta menghukum para pelaku kejahatan, justru sebaliknya bertambahnya jumlah korban adalah karena sikap masa bodohnya Gubernur Kaltim. Tidak hanya Isran Noor. Pembiaran ini juga dilakukan oleh Gubernur di periode sebelumnya, yaitu Awang Faroek Ishak, serta 3 Bupati (Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, dan Kutai Barat) serta walikota Samarinda,” tandas Rupang.
Suramnya upaya penegakan hukum kasus lubang tambang juga diperparah dengan langkah Pemerintahan Jokowi yang memutuskan Kaltim menjadi lokasi pemindahan Ibu Kota Negara. Beban puluhan tahun yang harus Kaltim tanggung dari kebijakan eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan sejumlah krisis ekologis dan sosial yang berdampak luas di seluruh kota dan kabupaten. Tingginya tingkat kemiskinan warga serta menurunnya layanan fungsi alam hingga kini belum mampu diatasi oleh pemerintah. Pun, 73% luas daratan Kaltim telah habis dikapling menjadi konsesi ekstraktif (tambang minerba, sawit, HPH, HTI dan migas), 5,2 juta Ha (43%) diantaranya adalah Konsesi Tambang Batubara.
”Seharusnya agenda mendesak yang diusung oleh pemerintahan Jokowi pasca kebijakan obral izin SDA yakni Kaltim harus lepas dari jeratan kebijakan ekstraksi sumber daya alam. Berikan waktu untuk Kaltim memulihkan dirinya dan sediakan ruang yang luas bagi warga Kaltim untuk menentukan hak pengelolaan sumber daya alamnya sendiri,” pungka s Rupang. (*)