Menilik Isu Lingkungan Kaltim Yang Tak Pernah Usang (Bag. 2-Habis)
KLIKSAMARINDA – Dalam diskusi dan Bedah Laporan “Membunuh Sungai” kerjasama antara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Kaltim), Tani Muda Santan, dan Prodi Pembangunan Sosial FISIP Unmul yang berlangsung Jumat, 11 Juni 2021, dosen dan ahli Pembangunan Sosial Fisip Unmul, Dr. Sri Murlianti, mendedahkan serangkaian operasi kekuasaan dan penciptaan narasi dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap optimisme pembangunan.
Termasuk di dalamnya praktik pertambangan batubara yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Timur. Sri Murlianti menelisik aspek sosial dari persoalan relasi kekuasaan dan penciptaan narasi dan pengetahuan tentang dunia pertambangan yang cenderung dikuasai, selain oleh institusi resmi dengan segala instrumen yang dimilikinya, juga oleh para penguasa modal yang memutar uang dalam industri pertambangan batubara demi keuntungan sejumlah pihak.
Mengawali paparannya, Sri Murlianti menilai bahwa laporan Jatam Kaltim didukung hasil investigasi Tani Muda Santan merupakan wacana tanding terhadap wacana dominan yang beredar di masyarakat saat ini. Hal itu berkaitan dengan adanya indikasi dampak kerusakan ekosistem sungai dan pencemaran di sekitar area tambang milik PT Indominco Mandiri di wilayah Santan. Sri Murlianti menyebutnya, ”gambaran ketika pengetahuan itu diproduksi oleh orang-orang yang tidak dijajah oleh kepentingan korporasi.”
Dengan menempatkan laporan Jatam Kaltim sebagai pengetahuan dan wacana tanding tentang tambang atas pengetahuan yang diproduksi oleh institusi resmi dan korporasi, Sri Murlianti membacanya dengan cara pandang berdasarkan teori Kekuasaan Michel Foucault, bahwa ada hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan secara eksplisit.
”Temuan ini tidak bisa dibantah karena menggunakan metodologi yang baku, yang sama. Karena ilmu pengetahuan itu siapa saja yang mau mempelajari, dia akan menguasainya. Akhirnya, kita bisa berbicara dari sisi yang lain, dari masyarakat pemangkunya. Pengetahuan adalah pengetahuan. Tetapi bagaimana pengetahuan itu diwacanakan kepada masyarakat, bergantung siapa yang mewacanakan dan kepentingan apa yang dibawa. Tidak ada pengetahuan yang netral,” ujar Sri Murlianti.
Menurut Sri Murlianti, contohnya adalah wacana dominan soal pemanfaatan air lubang bekas tambang. Dari sumber pengetahuan yang berkepentingan untuk melanggengkan korporasi tambang, pengetahuan yang membombardir masyarakat adalah air tambang tercemar. Tapi, kemudian wacana itu berubah dengan datangnya pengetahuan tentang kualitas air yang membaik kalau sudah 5 tahun mengendap, air bekas lubang tambang itu aman dan bisa dikonsumsi.
”Terus kita diajak mengamini untuk sepakat agar bisa memanfaatkan air tambang. Pengetahuan itu kemudian menjadi wacana dominan yang ada di masyarakat dan diharapkan agar masyarakat percaya dan seolah-olah itu yang benar,” ujar Sri Murlianti.
Karena itu, menurut Sri Murlianti mengutip Michel Foucault dalam buku The Archaeology of Knowledge (1961), kekuasaan akan menjadi hal yang paling mengerikan. Selain kekuasan politik, adalah juga kekuasaan terhadap pengetahuan.
”Menurut Foucault, barang siapa yang menguasai pengetahuan dia menguasai kebenaran,” demikian Sri Murlianti menegaskan.
Sri Murlianti juga menyinggung rencana Pemkot Bontang untuk memanfaatkan air dari lubang bekas tambang PT Indominco Mandiri. Tetapi, menurut Sri Murlianti, pengetahuan tentang pemanfaatan air bekas lubang tambang itu belum komprehensif diterima masyarakat sehingga menimbulkan tanda tanya.
Sri Murlianti sendiri belum menemukan sebuah hasil riset (research-mencari ulang) yang menyebutkan bahwa air bekas lubang tambang adalah aman untuk dikonsumsi. Fakta-fakta empiris dari penelitian tak semuanya terungkapkan ke publik.
”Kita bisa melihat gambaran hasil wacana dominan dan diajak untuk menyetujuinya. Mestinya Pemkot Bontang menggugat perusahaan untuk mengembalikan jalur hijau resapan air yang menjadi area cadangan air Bontang. Sebelum itu terwujud, perusahaan harus menanggung penyediaan sarana alternatif untuk menunjang kebutuhan air warga Bontang,” ujar Sri Murlianti.
Dengan temuan Jatam Kaltim itu, Sri Murlianti menegakan para pihak yang berkepentingan seharusnya tidak memiliki alasan dan menghindar dari tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi akibat pertambangan.
Klik juga Menilik Isu Lingkungan Kaltim Yang Tak Pernah Usang
”Pemerintah sendiri abai. Masyarakat yang menanggung kerugian. Selain ruang hidup yang rusak, nyawa hilang, juga keberlangsungan hidup terganggu. Negara hanya hadir ketika masyarakat sudah teriak. Pengetahuan hanya sebagai pengetahuan itu absurd. Apa gunanya tahu kalau kemudian tidak ngapa-ngapain,” ujar Sri Murlianti.
Sebagai perspektif tambahan, di masa kekinian, pakar sejarawan Yuval Noah Harari pernah menyampaikan, sumber daya paling vital saat ini adalah atensi atau perhatian. Dan untuk menarik perhatian, menurut Yuval Noah Harari, memerlukan cerita yang kemudian dapat disepakati bersama. Demikian pula dalam memahami persoalan lingkungan.
”Jika Anda ingin membuat catatan, Anda harus menerima kekacauan kenyataan, dan menjadikannya sebagai sebuah cerita. Kalau tidak, orang tidak akan mengerti. Anda tahu diskusi tentang perubahan iklim adalah bagaimana membuat orang umum mengerti tentang apa yang terjadi, seberapa besar krisis yang sedang dihadapi. Apa bukti yang mendukungnya dan apa yang harus dilakukan. Masalahnya adalah para ilmuwan berpikir dalam fakta, dalam angka, dalam statistik, dalam persamaan, dalam grafik, semua hal yang membuat orang suka tertidur,” ujar Yuval Noah Harari saat bercakap dengan Natalie Portman, 2018 lalu. (dui)
Sila Klik Sumber Berikut Ini
1. Diskusi Bedah Laporan “Membunuh Sungai”
2. Natalie Portman and Yuval Noah Harari in Conversation