KLIKSAMARINDA – Dampak praktik pembangunan di Kalimantan Timur, dengan narasi besar sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, masih memerlukan tinjauan kritis. Fakta di lapangan, baik dari laporan dan riset peneliti dan para penggiat lingkungan, telah membuktikan bahwa dampak praktik pembangunan itu jika dilihat dari perspektif lingkungan telah menimbulkan kerusakan.
Dalam diskusi dan Bedah Laporan “Membunuh Sungai” kerjasama antara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Kaltim), Tani Muda Santan, dan Prodi Pembangunan Sosial FISIP Unmul yang berlangsung Jumat, 11 Juni 2021, Ketua Prodi Studi Pembangunan Sosial Fisip Unmul, Dr. Sukapti, menerangkan bahwa isu tentang lingkungan memiliki kaitan dengan aspek pembangunan sosial. Menurut Sukapti, aspek pembangunan sosial dapat berpartisipasi dalam isu lingkungan dengan beberapa alasan.
“Isu lingkungan bukan hal baru, tetapi isu ini tidak bisa menjadi usang, bahkan semakin hari semakin penting dan krusial untuk diangkat kembali. Karena fakta empiris di lapangan, kerusakan lingkungan begitu nyata. Tidak hanya bagi para peneliti atau penggiat lingkungan yang dapat melihat dan merasakan kerusakan lingkungan itu. Tetapi, warga awam pun menjadi saksi hidup dalam kerusakan lingkungan,” ujar Sukapti ketika membuka diskusi.
Sukapti menerangkan, dalam konteks Kalimantan Timur, kerusakan lingkungan itu hadir bersamaan dengan program pembanguan zaman orde baru. Kaltim didudukkan sebagai wilayah untuk memutar uang bersamaan dengan program pembangunan di masa orde baru hingga saat ini untuk memutar modal besar demi mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal meskipun melalui konsep pembangunan.
Menurut Sukapti, narasi yang dibangun sejak zaman pembangunan orde baru, bahwa Kalimantan Timur itu kaya sumber daya alam. Di sisi lain, Kalimantan juga berpenduduk sedikit sehingga banyak sumber daya alam belum diolah dan dimaksimalkan untuk kemakmuran.
Dengan narasi itu, eksploitasi sumber daya alam menjadi absah dan legal dan muncul pembenaran untuk mengelola alam semakin kuat demi mewujudkan kemakmuran. Tetapi dampaknya adalah kerusakan lingkungan hingga saat ini.
“Tetapi faktor lingkungan itu tidak dianggap sebagai biaya atau kerugian. Kini, kita perlu meninjau kembali isu lingkungan dan pembangunan itu dengan lebih kritis. Siapa yang mendapatkan keuntungan besar, siapa yang mendapatkan keuntungan kecil. Melihat pembangunan bukan sekadar melihat pertumbuhan ekonomi tetapi juga melihat dampak terhadap lingkungan. Isu ini relevan dengan konsep pembangunan sosial. Ini persoalan kompleks,” ujar Sukapti.
Dalam laporan Jatam Kaltim, pertambangan batubara yang terjadi dengan massif dan berkepanjangan di Kalimantan Timur telah meninggalkan warisan maut bagi generasi yang akan datang. Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menerangkan, tak hanya dampak pertambangan di sekitar konsesi PT IMM, Jatam Kaltim juga melihat dampak lain dari pertambangan batubara di Kaltim, yang terhitung sebanyak 43 persen daratan di Kaltim telah dicaplok oeh konsesi pertambangan.
“1,3 juta hektare luas bukaan tambang yang tersebar di wilayah kabupaten kota di Kaltim. Ini angka yang kolosal. Kita bertanya bagaimana kita bisa memulihkan kondisi kerusakan itu oleh negara dalam menghadapi krisis akibat pertambangan batubara itu,” ujar Pradarma Rupang.
Dalam sorotan Jatam Kaltim, praktik pertambangan batubara di wilayah Santan, Kutai Kartanegara yang dioperasikan PT Indominco Mandiri telah memberikan daya rusak terhadap lingkungan.
Baca juga Menghadapi Warisan Maut PT IMM Pasca Tambang di Kaltim
Dengan tilikan lebih rinci, Jatam Kaltim telah menemukan fakta-fakta di lapangan yang dapat menerangkan adanya kerusakan lingkungan dan dampak langsung praktik pertambangan terhadap kehidupan warga di sekitar area pertambangan. Dari hulu Sungai Santan dan kondisi Sungai Santan dampak pertambangan itu dirasakan oleh warga.
“Pertambangan yang dilakukan PT Indominco Mandiri telah meninggalkan warisan maut dan meracuni air Sungai Palakan dan Sungai Santan di wilayah Marangkayu, Kukar, Kalimantan Timur. Limbahnya dibuang ke Sungai Palakan dan Sungai Santan. Bukan lagi menurunkan fungsi ekologisnya, tetapi langsung membunuh eksistensi sungai itu sendiri,” ujar Pradarma Rupang mengawali laporannya dalam diskusi yang dipandu Khadijah dari Tani Muda Santan ini.
Dari temuan-temuannya, Jatam Kaltim menganalisis telah terjadi penurunan daya dukung lingkungan. Bukan lagi mengalami degradasi, namun lebih jauh dari itu, lingkungan di sekitar kedua sungai itu telah mengalami kemerosotan. Menurut Pradarma Rupang, Sungai Santan telah berubah identitasnya dari penopang kehidupan warga menjadi pendukung satu narasi besar yang dibangun oleh sebuah korporasi asing pengeruk batubara dari Thailand.
“Batubara ini, dari penelurusan Jatam Kaltim, mendukung ketersediaan energi bagi negara-negara yang masih mengandalkan sumber energi murah meriah dari batubara. Padahal jelas energi ini tidak berkelanjutan dan memiliki dampak kerusakan yang tidak tergantikan,” ujar Pradarma Rupang.
Jatam Kaltim juga mengkritisi rencana pemanfaatan air baku dari lubang bekas tambang PT IMM bagi kepentingan kebutuhan air warga Bontang. Menurut Pradarma Rupang, rencana itu tak memandang dampak turunan penggunaan air baku dari bekas lubang tambang dan akan menjadi warisan maut pasca tambang PT IMM yang akan berakhir pada 2028.
“Ini juga semacam upaya perusahaan lepas tangan dari tanggung jawab pemulihan lingkungan pascatambang,” ujar Pradarma Rupang.
Perwakilan Tani Muda Santan, Taufik Iskandar, mengungkapkan sejumlah bukti empirik dan upaya warga Santan, Kukar, dalam menghadapi aktivitas dan dampak pertambangan batubara PT Indominco Mandiri.
Pada Juli 2015, perlawanan warga Santan terjadi ketika perusahaan berniat memindahkan dan melakukan penambangan batubara tiga sungai, yaitu Sungai Santan, Sungai Kare, dan Sungai Palakan untuk membuat aliran baru dalam menunjang operasional peningkatan produksi batubara.
“Rencana tersebut gagal karena warga dan elemen masyarakat lainnya menolak rencana tersebut. Dari proses penyusunan Amdal saja, perusahaan sudah membohongi kami. Mereka tidak menyebutkan akan menggali Sungai Santan setelah Amdal mau difinalkan,“ ujar Taufik Iskandar. (dui)