Buruh Sawit NTT Yang Terlunta di Kutai Timur
Pada 2013 lalu, Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim telah melakukan penilaian terhadap kinerja perusahaan perkebunan yang berada di wilayah Kaltim dan Kaltara. Penilaian ini meliputi tahap pembangunan seperti legalitas, sistem manajemen, sistem penyesuaian hak atas tanah, sistem realisasi pembangunan kebun dan atau unit pengolahan, sistem kepemilikan Sarpras dan sistem Gah dan Dal kebakaran, sistem penerapan AMDAL atau UKL dan UPL, sistem penumbuhan dan pemberdayaan masyarakat/koperasi setempat dan sistem pelaporan. Nah, PT Wahana Tritunggal Cemerlang, salah satu perusahaan yang pada Agustus-September 2019 tengah bermasalah dengan karyawannya, mendapatkan nilai C (sedang).
Baca: Disbun Nilai Kinerja Perusahaan Perkebunan
Perusahaan yang beroperasi di perkebunan kelapa sawit di Desa Bay, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur ini terlilit persoalan dugaan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan diduga merugikan karyawannya sendiri. Tak hanya PT Wahana Tritunggal Cemerlang, pun ada perusahaan lain yang diduga bertindak serupa terhadap karyawannya, yaitu Multi Pacific International-Ba’ay Estate (MPI).
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) geram dengan sikap dua Perusahaan Kelapa Sawit itu. Koordinator TPDI Petrus Selestinus menilai kedua perusahan tersebut telah mengabaikan hak-hak dasar para karyawannya sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1. Pasalnya kata Petrus, kedua perusahan itu tidak sepenuhnya membayar hak para karyawannya.
“Perusahaan-perusahaan tersebut telah mengabaikan hak-hak dasar para karyawan,” ujar Petrus kepada wartawan di Jakarta, Jumat 16 Agustus 2019 lalu dikutip dari JPNN.
Advokat senior asal NTT ini mengaku prihatin atas kasus yang dialami oleh ratusan karyawan, terutama para ibu-ibu yang tidak mendapatkan hak cuti melahirkan dan jaminan kesehatan selama bertahun-tahun bekerja di perusahan kelapa sawit tersebut.
“Perusahaan-perusahaan tersebut telah mengabaikan hak-hak dasar para karyawan. Karena itu, saya mendesak pemerintah dalam hal ini instansi teknis terkait untuk segera bertindak melindungi hak-hak pekerja sekaligus memberi sanksi tegas kepada Perusahaan yang telah merugikan para karyawan tersebut,” kata Petrus Selestinus dalam keterangan kepada awak media.
Selain itu, para ibu-ibu yang memasuki masa hamil pun tidak pernah mendapatkan hak cuti melahirkan dan selama proses melahirkanpun upahnya tidak dibayar. Dalam hal ini PT. Multi Pacific International-Ba’ay Estate telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1.
“Ketika saya mendengar keluhan mereka terkait hak-hak dasar sebagai karyawan yang tidak mendapatkan perlindungan secara memadai, karena pada saat masuk kerja, Perusahaan tidak pernah memberikan jaminan kepastian hukum berupa PKB sebagai dasar dalam mengatur hak dan kewajiban sebagaimana layaknya perusahaan yang sudah profesional. Padahal, setidak-tidaknya pada saat Karyawan masuk kerja sudah ada Perjanjian Kerja yang jelas antara pihak Pekerja dan Pemberi Kerja yakni Perusahaan itu sendiri. Namun anehnya lagi, saya mendengar ada isu bahwa sudah ada mediasi antara pihak-pihak terkait, dalam hal ini Perusahaan dan Disnaker setempat, namun hasilnya belum nampak.” ungkapnya.
Para karyawan mengaku, setelah diterima dan masuk kerja sebagai karyawan di PT. Multi pacific International-Ba’ay Estate, mereka tidak pernah menandatangani dan menerima perjanjian kerja, Perjanjian Kerja Bersama, dan Peraturan Perusahaan sebagai landasan dan acuan dalam mengatur hubungan hukum antara Karyawan/Pekerja dengan Perusahaan tersebut. Tercatat sebanyak 13 ibu yang melahirkan terpaksa harus membayar sendiri dari hasil kerja mereka, dan bukan ditanggung oleh Perusahaan sebagaiamana diatur dalam undang-undang itu. Dalam kondisi demikian mereka harus mengeluarkan uang sendiri, yang seharusnya menjadi tanggungan Perusahaan, sementara anggota keluarganya sangat membutuhkan biaya hidup sehari-hari.
“Tidak hanya itu , terdapat 7 hingga 8 orang ibu hamil yang tidak diberikan ijin cuti atau istirahat dan biaya melahirkanpun tidak dibayar oleh Perusahaan,” tutup Petrus Selestinus yang saat ini menjabat sebagai Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Advokat di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Petrus menegaskan, dalam hal ini perusahaan telah mengabaikan bahkan melanggar ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 114.
“Selama bekerja banyak karyawan tidak diikutsertakan dalam program jamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Dalam hal ini perusahaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 pasal 55 tentang BPJS.”
Buntut persoalan itu terus memanjang hingga ribuan pekerja perkebunan Kelapa Sawit PT Wahana Tritunggal Cemerlang (WTC), Kecamatan Karangan, di Kabupaten Kutai Timur, melakukan aksi mogok memprotes ketidakadilan perusahaan, Agustus 2019. Mereka menuding pihak perusahaan memotong secara sepihak upah karyawan dengan dalih untuk PPH, koperasi, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
“Kami lakukan aksi mogok. Kami memprotes kebijakan pihak perusahaan yang menurut kami sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Mereka memotong uang gaji kami tanpa alasan. Ada yang THR dipotong, ada yang gajinya dipotong untuk koperasi tapi sampai keluar tidak mendapatkan haknya, ada juga yang dipotong dengan alasan untuk pajak dan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, tapi anehnya selama ini kami sakit kami bayar sendiri. Bahkan pihak perusahaan meminta lagi surat dari rumah sakit biaya pengobatan tapi uang kami tidak diganti atau dibayar,” tutur Aventinus (50), salah satu karyawan perkebunan sawit 15 Agustus 2019.
September 2019 ini, para buruh asal NTT itu diusir paksa. Nasib buruk itu menimpa ratusan buruh asal NTT setelah melakukan aksi mogok beberapa waktu lalu lantaran pesangon dan hak-hak mereka diduga dipangkas pihak perusahaan sawit PT WTC. Dampaknya, para buruh yang tinggal di camp diusir paksa oleh para preman. Mirisnya, mereka dipaksa keluar dari camp membawa anak-anak bayi dan istri yang hamil bersama seluruh barang-barang milik mereka. Mereka terpaksa mengungsi sementara di teras Kantor Camat Karangan, Kabupaten Kutai Timur.
“Para buruh diusir dengan menggunakan preman. Ini sudah sangat sadis pak. Sedihnya lagi ada ibu-ibu hamil dan anak-anak bayi. Ini sudah tidak manusiawi. Kami tidak tahu harus ke mana karena camat setempat tidak bisa berbuat apa-apa pak,” kata Koordinator buruh, Aventinus, Selasa 17 September 2019 dari Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim dikutip dari indonesiasatu.co. (Baca: Buntut Mogok Kerja, Ratusan Buruh Asal NTT Diusir Paksa oleh Perusahaan Sawit WTC).
Menurut buruh asal Kabupaten Manggarai, Flores, NTT ini, kejadian pertama bermula pada hari Senin 9 September pukul 13.00 WITA. Sebanyak 40 karyawan diundang datang ke kantor oleh pihak perusahaan. Setibanya di kantor, lanjut dia, mereka langsung diusir dan dikejar dengan senjata tajam (parang-red) oleh preman yang diduga dipanggil oleh perusahaan.
“Meskipun ada aparat polisi, para preman tetap mengejar, dan para buruh pun menghindari aksi kekerasan. Itulah awal mulanya pak,” terang Aventinus geram dan sedih.
Setelah itu, terjadi mediasi di Kantor Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur. Tetapi tidak ada penyelesaian. Pihak perusahaan dan para preman tetap bersikeras pada pendiriannya bahwa para buruh harus diusir. Para buruh lalu mengambil jalan terbaik untuk menghindari gesekan dan mengungsi di aula kantor kecamatan untuk sementara waktu.
“Pihak kecamatan hanya mengizinkan hingga hari Minggu saja. Kami ini seperti warga asing saja. Di mana letak keadilan di bumi Pertiwi NKRI ini,” tegas Aventinus sedih, dilansir SuaraFlores.net.
Situasi dan kondisi para buruh yang diusir paksa tinggal sementara di kantor camat setempat hanya mampu tidur dan duduk di lantai bercampur dengan barang-barang mereka. Sebelumnya, antara pihak perusahaan dan para buruh telah beberapa kali melakukan negosiasi yang difasilitasi Dinas Nakertrans Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kaltim. Namun, dari beberapa kali negosiasi tersebut, pihak perusahaan tetap menolak keras untuk membayar hak-hak buruh yang dituntut para buruh. Pihak peruhaan bersih keras meminta semua buruh tersebut berhenti karena hal tersebut adalah keputusan kantor pusat.
Bupati Kutim, Ismunandar pun memfasilitasi mediasi antara karyawan dengan top manajemen PT Wahana Tritunggal Cemerlang (WTC) dan PT Multi Pasific International (MPI) di Desa Baay Kecamatan Karangan. Pada Rabu malam, 18 September 2019, bertemu dengan manajemen perusahaan bersama para pihak terkait di Sangkulirang, keesokan harinya Kamis 19 September 2019, Bupati bertemu dengan Ikatan Keluarga Besar (IKB) NTT. Tujuannya sama, yakni mendengarkan kronologi aksi mogok kerja karyawan dua perusahaan.
Bupati Ismunandar menjelaskan sudah mendengar kronologi kejadian secara terperinci baik dari perusahaan saat kunjungan kerja ke Sangkulirang. Kemudian mendengarkan informasi dari kuasa hukum karyawan pada Kamis 19 September 2019. “Setelah mendengar penjelasan dari kedua pihak, kami akan undang top manajemen yang bisa mengambil keputusan atas persoalan yang terjadi ini. Bukan pihak yang tidak bisa mengambil keputusan, sehingga persoalan ini segera selesai. DPRD, Disnakertrans, IKB-NTT dan beberapa paguyuban juga akan diundang,” jelas Bupati Ismunandar saat tatap muka dengan IKB-NTT dan kuasa hukum karyawan di ruang kerja, Kamis 19 September 2019, dikutip dari Humas Pemkab Kutim.
Ismunandar meminta semua pihak menahan diri dan tak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang tidak benar. Terutama yang sengaja dihembuskan oleh pihak tak bertanggung jawab. Dengan cara dialog yang konstruktif dan menyelesaikan persoalan dengan musyawarah mufakat. Jika ada tindakan yang tidak sesuai dengan norma hukum, Ismu mempersilahkan diproses lebih lanjut.
“Tapi usahakan terlebih dahulu melalui jalur mediasi,” saran Ismu.
Bupati Ismunandar mendengarkan penjelasan IKB-NTT dan kuasa hukum karyawan terkait kisruh yang terjadi antara perusahaan dengan karyawan PT. WTC dan MPI. Dalam pertemuan dengan Bupati Kutai Timur, Ismunandar para pekerja menyampaikan lima butir tuntutan, Kelima butir tuntutan tersebut, antara lain:
Pertama, meminta perlindungan keamanan, perlindungan hukum dan HAM dari Bupati berkaitan dengan karyawan PT WTC yang kini sedang mengungsi, baik yang berada di aula Kecamatan Karangan maupun yang berada di rumah-rumah penduduk.
Kedua, meminta kepada Bupati Kutai Timur dan pihak perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para pekerja yang mengungsi hingga persoalan antara karyawan dan perusahaan selesai.
Ketiga, meminta kepada perusahaan agar segala hak para pekerja harus dipenuhi selama proses penyelesaian berjalan.
Keempat, meminta kepada Bapak Bupati Kutai Timur untuk memanggil top management PT WTC dan PT MPI untuk melakukan pertemuan tripartit paling lama Selasa, 24 September 2019.
Kelima, pelanggaran pihak perusahaan PT WTC terhadap karyawan, baik pelanggaran perdata maupun pidana khusus maupun pidana umum akan diselesaikan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Perwakilan IKB Flobamora Kaltim dan para pekerja yang didampingi kuasa hukumnya, Silvester Nong Manis, SH juga mendatangi DPRD Kutai Timur untuk mengadukan nasibnya. Mereka meminta agar DPRD Kutai Timur mengawal dan mengawasi proses penyelesaian hak-hak para pekerja yang diabaikan oleh PT WTC selama ini.
Respon pun muncul dari perwakilan rakyat di Tanah NTT. DPRD NTT mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah penanganan terhadap masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan tenaga kerja asal daerah itu di Kaltim.
Ketua DPRD NTT Sementara, Yunus Takandewa menyatakan, “Pemerintah harus segera melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab, dan dengan pemerintah daerah setempat, untuk memastikan tenaga kerja asal NTT bebas dari tindakan yang melanggar kamanusiaan,” kata Yunus Takandewa di Kupang, Kamis 19 September 2019, dikutip dari Gesuri.id.
“DPRD mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah penanganan, agar persoalan yang dihadapi para tenaga kerja ini tidak sampai berdampak pada pelanggaran terhadap masalah kemanusiaan,” katanya.
Hingga berita ini terbit, belum ada konfirmasi dari pihak perusahaan terkait persoalan tersebut. (berbagai sumber)