Opini

Harga BBM Naik

”Untuk mencapai sesuatu, harus diperjuangkan dulu. Seperti mengambil buah kelapa, dan tidak menunggu saja seperti jatuh durian yang telah masak.” – Mohammad Natsir

Opini: Elfrida Sentyana Siburian 
Belakangan ini Indonesia diramaikan dengan salah satu polemik yang cukup serius yakni kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) sejak awal September 2022 kemarin.

Dengan adanya problem tersebut tentunya akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara Indonesia yang boleh dikatakab baru saja melewati masa krisis ketika dilanda pandemi COVID-19.

Dalam buku sejarah, kenaikan harga BBM sendiri bukan hanya kali ini saja terjadi. Saat masa kepemimpinan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono atau kerap disapa SBY, lonjakan kenaikan sebanyak 3 kali masa itu.

Saat itu tercatat kenaikan BBM menjadi Rp1.820 per liter. Kemudian harga BBM naik lagi dengan nominal Rp 2.400.

Yang paling menghebohkan sehingga terjadinya demonstrasi besar-besaran harga BBM naik lagi pada tujuh bulan berikutnya menjadi Rp4.500 per liter.

Pada awalnya sinyal kenaikan BBM bersubsidi mulai ramai pasca terselenggaranya Rapat Terbatas (Ratas) pada tanggal 29 Agustus 2022 secara tertutup oleh presiden bersama sejumlah menterinya.

Usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan ini pun tersiar.

Ditambah dengan pernyataan bahwa anggaran subsidi dan kompensasi BBM dan listrik melonjak 3 kali lipat akibat kenaikan harga pangan dan eskalasi geopolitik.

Dimulai dengan ditiadakannya peredaran BBM jenis Premium sejak Maret lalu, harga Pertamax naik. Hingga kini, opsi satuan produk bahan bakar mulai menjadi mangsa yaitu Pertalite yang sudah menjadu konsumsi utama publik.

Hal ini tentu menjadi dilema bagi pemerintah dengan kondisi perekonomian yang sulit ditebak bahkan tidak tahu arahnya ke mana.

Di lain sisi, pemerintah juga mengambil langkah menaikkan harga bahan bakar jenis pertamax, tarif subsidi pada gas elpiji 3 kilogram, listrik, dan BBM.

Namun yang menjadi titik puncak masalahnya yaitu apabila sebagian masyarakat kelas menengah harus beralih ke pertalite tentu ini meningkatkan permintaan akan pertalite sehingga turut merambah terhadap pasokan dan ketersediaan pertalite sendiri.

Sebelumnya Joko Widodo juga menyatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan bansos senilau Rp24,17 triliun sebagai wujud pengalihan subsidi BBM.

Langkah itu dinilai itu mampu menjaga kondisi ekonomi masyarakat terutama yang miskin dan rentan.

Padahal tentu ini justru akan memperburuk perekenomian karena banyak penerima bantuan tunai lansung atau BLT akan bertahan lama tetapi di satu pihak pada lamanya pemulihan BBM itu sendiri.

Subsidi inipun tentunya sangat keliru dan tidak tepat sasaran. Misalnya saja dalam hal infrastruktur dan kurangnya pengawasan dari pemerintah pusat.

Jika dikaji, masih banyak data yang belum sinkron dan tumpang tindih.

Tentu kita tidak boleh menutup mata terhadap polemik ini karena menyangkut kesejahteraan masyarakat.

Harusnya pemerintah bisa melirik solusi lain. Jika pun itu salah satunya solusi pemerintah perlu mengetatkan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi kepada konsumen yang layak menerima sesuai standar yang berlaku.

Pun kebijakan yang akan diputuskan harus melihat kondisi masyarakat sesuai marwah yang tertulis dalam UUD 1945. (*)

Elfrida Sentyana Siburian saat ini tengah menempuh perkuliah di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Mahasiswi Semester 4 ini juga aktif di organisasi mahasiswa, diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMAKSI), Unit Kegiatan Mahasiswa Kajian dan Permberdayaan Masyarakat (UKM KPM) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fisip Samarinda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
DMCA.com Protection Status