Peran Utama Ekosistem Gambut Tropis dalam Mitigasi Perubahan Iklim
KLIKSAMARINDA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menggelar webinar dengan tema From Science to Policy: Tropical Peatlands as a Key Role in Mitigating Climate Change yang digelar selama 15-17 Mei 2023.
Webinar ini digelar untuk menyambut Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia 2023 yang jatuh tiap tanggal 22 Mei, sekaligus menjadi bagian dari proses diseminasi hasil kajian yang telah dilakukan oleh BRIN dan YKAN, serta mitra, mengenai potensi gambut tropis dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Lahan gambut merupakan ekosistem penting bagi keanekaragaman hayati sekaligus menjadi solusi alam yang efektif dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Indonesia, dengan total luas gambut 13,4 juta hektare (Anda et al., 2021)—atau setara dengan 80 persen dari total lahan gambut di Asia Tenggara, menyimpan 14 persen karbon gambut global.
Perlindungan dan restorasi gambut tidak hanya berperan untuk target iklim nasional, tetapi juga untuk mitigasi perubahan iklim secara global.
Selama tiga hari, 10 pakar dari dalam negeri maupun mancanegara menyajikan hasil kajian terkini dari ekosistem lahan gambut tropis di ranah global, Indonesia, dan khususnya di Kalimantan.
Di samping itu juga ada paparan hasil pembelajaran dari penanganan kebakaran maupun restorasi gambut tropis serta rekomendasi penggunaan hasil kajian sebagai landasan kebijakan mitigasi perubahan iklim, baik di Indonesia maupun di negara tropis lainnya.
Kepala Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN, Dr. Sasa Sofyan Munawar, S.Hut., M.P. yang mewakili Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN dalam pembukaannya menyatakan, “Kita (BRIN) bisa merekomendasikan hasil riset untuk sebuah kebijakan dalam membantu melindungi lahan gambut di Indonesia, yang memiliki kontribusi signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang tinggi,” ucapnya.
Senada, Prof. Dr. Haruni Krisnawati, Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) BRIN menjelaskan bahwa lahan gambut adalah ekosistem yang unik dan langka.
Meskipun hanya mencakup sekitar 3-4% dari permukaan tanah planet ini, namun mengandung hingga sepertiga (30-40%) karbon tanah dunia, yaitu dua kali jumlah karbon yang ditemukan di hutan dunia.
Melestarikan ekosistem lahan gambut ini sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global.
Kendati demikian, Prof Haruni memaparkan, sekitar 12% lahan gambut saat ini telah dikeringkan dan terdegradasi, berkontribusi terhadap 5% emisi gas rumah kaca global yang disebabkan oleh manusia.
Prof Haruni juga memaparkan hasil-hasil riset yang digunakan untuk mendukung peningkatan akurasi penghitungan emisi gas rumah kaca pada lahan gambut.
Perlindungan dan restorasi gambut
Pemerintah Indonesia dalam lima tahun terakhir terus berupaya dan berkomitmen menekan degradasi dan deforestasi lahan gambut. Lahan gambut yang terdegradasi diakibatkan oleh kebakaran berulang dan drainase di kawasan lahan gambut yang dilindungi.
Sebagai bentuk komitmen bersama menekan degradasi dan deforestasi lahan gambut, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menerapkan strategi 3R (rewetting, revegetation, dan revitalization).
Rewetting adalah pembasahan kembali area gambut dengan pembangunan sekat kanal, pembangunan sumur bor dan upaya lain yang mendorong basahnya lahan gambut.
Sementara revegetation adalah penanaman kembali melalui persemaian, penanaman dan regenerasi alami. Sedangkan revitalization adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian, perikanan dan ekowisata.
“Strategi 3R tersebut diharapkan dapat mengurangi angka kebakaran hutan dan lahan di daerah Indonesia yang memiliki lahan gambut,” tegas Agus Yasin, S.Hut,. M.Si, Kepala Pokja Teknik Restorasi
Dr. Nisa Novita, Manager Senior Karbon Hutan dan Iklim YKAN, juga menekankan bahwa pembasahan kembali area gambut dapat menghemat biaya dalam mencapai target penurunan emisi karbon nasional.
“Upaya pembasahan kembali lahan gambut melalui pembuatan sekat kanal di perkebunan kelapa sawit pada lokasi penelitian di Kalimantan Barat dapat mengurangi sepertiga dari emisi CO2 dan tidak berpengaruh pada emisi metana. Pada skala nasional, pembasahan gambut berpotensi menyumbang 34% terhadap target pengurangan emisi nasional dari sektor forest and other land uses (FOLU),” katanya.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Penanggulangan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL) Dr. Israr Albar yang menjadi pembicara di hari kedua membahas tentang rentannya lahan gambut mengalami kebakaran. Mengurangi titik api, serta pengelolaan kebakaran lahan dan gambut adalah kunci untuk mengurangi emisi dari kebakaran gambut.
“Upaya terbaik mengatasi karhutla ialah dengan meningkatkan kegiatan pencegahan. Selain efektif mencegah karhutla, biaya untuk upaya pencegahan juga lebih terjangkau dibandingkan dengan penanganan atau pemadaman,” tekan Israr.
Hadir pula sebagai pemateri dalam kesempatan ini, peneliti dari dalam negeri yakni Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) BRIN, Dr. Anang Setiawan Achmadi; Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura Prof. Gusti Anshari; dan Peneliti di PREE BRIN Bondan Winarno.
Di samping itu juga ada para peneliti dari mancanegara, yakni Assistant Research Professor dari Oregon State University Andres Schmidt; Assistant Professor dari Stanfor University Alison Hoyt; dan dari Center for Environmental Sensing and Modeling, Singapore-MIT Alliance for Research and Technology, Dr. Alex Cobb.
Seluruh pembicara bersama menekankan pentingnya kolaborasi antar pihak untuk terus melindungi lahan gambut Indonesia. (*)