News

Kisah Sukses Mantan Karyawan PT PHSS: Mengubah Limbah Jadi Pundi Rupiah

Tali bekas kapal yang tidak terpakai diubah menjadi nilai ekonomis. Idenya datang dari mantan karyawan yang mendapat pelatihan dari perusahaan tempatnya dulu bekerja.

RATUSAN kilogram tali bekas kapal itu awalnya diurai menggunakan bor. Setelah dibersihkan dan dipisah, setiap helainya kemudian disatukan kembali dengan jenis yang berbeda satu persatu. Diantaranya tali sutera, semi sutera, dan nilon. Setiap gulungannya memiliki panjang 20 meter dengan diameter 20 inci. Hasilnya, limbah itu menjadi tali baru yang siap dijual dan laik digunakan.

Proses kreatif ini dilakukan Sahabuddin 3 tahun lalu. Dia adalah mantan karyawan kontrak PT Pertamina Hulu Sanga Sanga atau PT PHSS di Kecamatan Muara Badak –Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Saban hari, Sahabuddin melihat banyak tali bekas kapal berserakan lantaran tidak laik digunakan. Sebagian besar bahkan dibuang ke laut sekitar dermaga khusus PT PHSS.

Sahabuddin awalnya tidak tergerak memanfaatkan limbah itu. Terlebih memikirkan dampak lingkungan di sana. Namun saat pandemi virus Corona terjadi pada 2020, dia harus menerima takdir; kontrak kerjanya berakhir dan tidak diperpanjang sebagai kontraktor PT PHSS Bidang Sumber Daya Manusia.

Bukan meratapi nasib, Sahabuddin justru mencoba bangkit. Berbekal tabungan selama bekerja di PT PHSS, Sahabuddin awalnya berniat membuka toko sembako untuk menyambung hidup. Sayang, niat itu gagal terwujud lantaran kekurangan modal. Dia kemudian beralih membuka usaha lain, yakni daur ulang tali bekas kapal.

Dia melihat, ada peluang ekonomis dari tali-tali itu jika didaur ulang dengan baik. Apalagi di Kecamatan Muara Badak, banyak pengepul tali bekas kapal. Di lain sisi, Sahabuddin juga mulai memikirkan ancaman serius bagi kelestarian lingkungan di Kecamatan Muara Badak. Jika dibiarkan, maka lambat laun akan berdampak kepada masyarakat sekitar PT PHSS, termasuk kepada Sahabuddin.

Bak gayung bersambut. Di waktu yang sama, program pengembangan masyarakat berjalan di PT PHSS. Kabarnya, program ini juga merupakan bagian dari upaya PT PHSS merespon dampak pandemi di masyarakat. Pelatihan demi pelatihan kemudian diikuti Sahabuddin agar bisa mengembangkan rencana usahanya. “Awalnya mau buka toko. Tapi karena ada kendala biaya, saya beralih menjadi pembuat tali. Saya melihat peluang. Limbah tali ada banyak di Kalimantan Timur. Tapi di sini dibuang begitu saja dan merusak laut,” katanya. “Saya dengar waktu itu juga PT PHSS ada program pembinaan masyarakat. Saya pikir usaha saya pasti sejalan,” timpal Sahabuddin.

Seorang pekerja di kelompok usaha Balanipa melakukan proses pemintalan tali bekas kapal. Dalam sehari, mereka mampu menghasilkan 20 hingga 25 gulungan tali siap jual. (FOTO: Suriyatman)

Dia mengaku, sebenarnya tidak memiliki keterampilan mendaur ulang tali bekas kapal. Namun, dia mengingat, pernah melihat proses pemintalan tali bekas di kampung halamannya di Kecamatan Balanipa –Kabupaten Polmas, Provinsi Sulawesi Barat.

Dari situ, Sahabuddin berkeinginan melakukan hal serupa. Dia kemudian membawa beberapa pekerja dari kampung halamannya untuk mengajarkan proses penguraian dan pemintalan tali bekas kapal kepada masyarakat sekitar rumahnya. Setelah mereka bisa memintal, Sahabuddin kemudian membentuk kelompok usaha bernama Balanipa bersama istri dan kerabat dekat. Nama itu dipilih sesuai dengan tempat kelahiran Sahabuddin.

Saat pertama kali memulai, Sahabuddin mengaku hanya memiliki 4 pekerja. Namun, mereka mampu menghasilkan 3 sampai 5 gulungan tali dalam sehari. Jika dihitung, dalam sebulan kelompok usaha Balanipa menghasilkan 90 sampai 150 gulungan. Prosesnya dilakukan di rumah Sahabuddin di Jalan Petrolog, Desa Gas Alam –Kecamatan Muara badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

Setelah mengikuti pelatihan dan mendapatkan bantuan modal dari PT PHSS, tali-tali bekas kapal dibeli Sahabuddin dari pengepul dengan jumlah besar. Satu kilogramnya Rp 8 ribu hingga Rp 10 ribu –tergantung dari tingkat kerusakan. Satu tali bekas dapat mencapai ratusan kilogram. Tali-tali ini kemudian dipotong Sahabuddin sepanjang 20 meter. Langkah selanjutnya adalah mengurai dan memintalnya kembali menjadi tali yang baru.

Di tahun kedua, usaha yang dilakukanya terus berkembang dan menemukan hasil. Jumlah permintaan kian bertambah. Bahkan setelah mendapatkan bantuan melalui program pengembangan masyarakat dari PT PHSS, Sahabuddin juga menerima bantuan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Dari yang sebelumnya hanya menggunakan bor, proses daur ulang yang dilakukan Sahabuddin kini menggunakan mesin. Pun dengan lahan untuk mendaur ulang tali bekas kapal yang kian besar.

Menurut Sahabuddin, PT PHSS memberikan pelbagai bantuan kepada kelompok usaha Balanipa sejak 2020. Diantaranya modal pembelian bahan baku tali bekas, pembangunan lokasi daur ulang, dan lainnya. Sahabuddin mengatakan, PT PHSS mendampinginya membangun alat khusus pemintal tali dari kayu dan mesin dinamo yang telah rampung. “Alat ini rencananya akan dipatenkan dan prosesnya dibantu PT PHSS,” tuturnya.

Sahabuddin kini mempekerjakan 12 orang. Umumnya adalah ibu rumah tangga di sekitar rumahnya. Setiap pekerja diupah sebesar Rp 80 ribu per hari atau Rp 2,4 juta per bulan. Pekerja dibagi dalam dua shift. Yakni dari pukul 08.00 hingga pukul 13.00, lalu dari pukul 13.00 hingga pukul 17.00.

Tali bekas yang diolah Sahabuddin dijual Rp 290 ribu per 20 meter dengan berat 21 kilogram. Dalam sehari usahanya menghasilkan 20 hingga 25 gulungan tali yang laik digunakan. Bila semua laku terjual, Sahabuddin meraup Rp 174 juta hingga Rp 217 juta laba kotor.

Menariknya, pasar tali kapal dari daur ulang ini tidak hanya beredar di Kecamatan Muara Badak. Tetapi juga di Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kota Bontang, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur, hingga sekitar laut lepas antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Ya, usaha daur ulang tali bekas kapal yang dirintis Sahabuddin 3 tahun lalu ternyata bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan para nelayan di sana. “Khusus di Kota Bontang, tali-tali ini rutin dibeli untuk mengikat rumpon (tempat tinggal atau tempat berkumpul ikan, Red.) di lautan lepas,” tutup Sahabuddin.

Dibalik itu, usaha Sahabuddin di kelompok usaha Balanipa yang mendapat pembinaan dari PT PHSS nyatanya membantu masyarakat sekitar. Satu diantaranya adalah Sutinun. Ibu 4 anak ini awalnya tak memiliki pemasukan, apalagi keahlian. Saat sang suami yang bekerja sebagai buruh bangunan menderita diabetes, praktis tak ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Makanya, keberadaan kelompok usaha Balanipa membuka harapannya untuk menyambung hidup. “Saya sekarang jadi tulang punggung keluarga. Dua anak saya masih kecil. Dua lainnya kelas 1 dan kelas 6 SD,” akunya.

Meskipun harus menempuh jarak 200 meter setiap hari ke lokasi daur ulang tali bekas kapal, Sutinun mengaku upah yang diterimanya cukup membantu membiayai pendidikan kedua anaknya. Di lokasi kerja, Sutinun mahir mengurai tali bekas. Dengan menggunakan mesin, satu persatu tali bekas itu disusun sedemikian rupa. Dalam sehari, ia mampu memilah 70 hingga 80 tali bekas dengan bantuan 4 pekerja lain. “Kalau sehari, tali bekas yang jadi ada 24 gulungan,” tukas Sutinun.

HAK PATEN MESIN PEMINTAL
Secara umum, PT PHSS memiliki pelbagai program untuk pengembangan masyarakat di Kecamatan Muara Badak. Ini dilakukan sejak pertama kali berdiri 2017 lalu. Program itu diwujudkan dalam empat pilar; ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan.

Daur ulang tali bekas kapal yang bernama Program Balanipa, masuk dalam pilar ekonomi dan lingkungan. Hal ini dikatakan Community Development Officer PT PHSS, Rahmat Dana Pratama.

Dia menerangkan, program daur ulang tali bekas kapal di PT PHSS cukup sukses dijalankan. Tapi sebelum melaksanakan program itu, tali bekas kapal yang berserakan memang dipandang tidak memiliki nilai ekonomis oleh masyarakat. Apalagi, terang Rahmat, sebagian besar tali bekas kapal yang tidak digunakan banyak dibuang ke laut oleh pemilik kapal di dermaga khusus PT PHSS.

“Tali-tali bekas itu ada juga yang dari luar PT PHSS. Kalau dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir, Red.), pemilik kapal harus membayarnya,” bebernya.

Dari situ, PT PHSS lalu merancang strategi untuk menanggulangi masalah tersebut. Diantaranya melakukan pelatihan kepada masyarakat secara intens. Dimana, salah satu pesertanya adalah Sahabuddin. Tak sampai setahun, program itu berhasil diimplementasikan. Kuncinya terletak pada masifnya proses pendampingan yang dilakukan PT PHSS.

“Pengelolaan limbah apapun dapat berkontribusi terhadap lingkungan, termasuk kegiatan pengelolaan tali bekas kapal di Balanipa ini. Kegiatan ini dapat mengurangi limbah yang terbuang ke laut dan berpotensi merusak lingkungan,” tutur Rahmat.

Dari penelusuran Kliksamarinda.com, ada pelbagai bantuan yang diberikan PT PHSS kepada kelompok usaha Balanipa. Hal ini sesuai dengan keterangan Sahabuddin. Diantaranya bantuan modal untuk pembelian bahan baku awal, pembangunan workshop atau rumah kerja kelompok usaha, pelatihan manajemen kelompok, hingga pembuatan hak paten mesin pemintal tali kapal yang diberi nama Barotech –Balanipa Rope Technology.

Rahmat mengaku melihat langsung proses daur ulang yang dilakukan Sahabuddin. Tali-tali bekas yang berukuran besar, sebut Rahmat, dipisah menjadi bagian kecil. “Sebagian menjadi bahan dasar pembuatan rumpon,” sebutnya.

Bagi Rahmat, program pengembangan masyarakat merupakan upaya responsif PT PHSS dalam melihat masalah dan menggali potensi di lingkungan PT PHSS. Pada akhirnya, keinginan untuk hidup sejahtera berjalan beriringan dengan misi perusahaan untuk mengembangkan masyarakat setempat. (sur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status