Erau
Opini: Rizal Effendi (Wartawan Senior Kalimantan Timur)
Seusai jalan sehat Dies Natalis ke-60 Universitas Mulawarman, Minggu pagi kemarin, saya mendadak ke Tenggarong. Saya baru ingat ada acara pembukaan Erau Adat Pelas Benua 2022. Bubuhan etam pasti merindukan. Maklum sudah dua tahun tak digelar pesta adat Kutai itu gara-gara wabah Covid-19.
Saya nekat saja datang ke tempat acara yang dipusatkan di Museum Mulawarman, eks Istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Acara berlangsung meriah. Alhamdulillaah, langit lagi cerah. Sultan Kutai Kartanegara, Sultan Adji Muhammad Arifin menandainya dengan menyalakan api brong bersama Wakil Gubernur Hadi Mulyadi, Bupati Kukar Drs Edi Damansyah M.Si, Wakil Bupati H Rendi Solihin serta anggota Forkompida lainnya.
“Alhamdulillah, erau bisa kita laksanakan lagi,” kata Sultan bersama kerabat Keraton bersukacita. Hal yang sama juga dirasakan warga Tenggarong. “Etam semua bahagia, kota kita mandi sepi lagi,” kata Iskandar yang akrab dipanggil Kondoi dalam Bahasa Kutai.
Erau 2022 dengan tema “Erau Kutai Lawas, Balik Asal Kutai Lawas, Tunduk Sabda Sang Meruhum” dirangkaikan juga dengan perayaan HUT ke-240 Kota Tenggarong. “Erau sudah menjadi kalender utama tiap perayaan HUT Kota. Apalagi acara ini pernah menerima penghargaan kategori festival budaya terpopuler di Tanah Air serta ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia,” tutur Bupati.
Edi Damansyah juga mendorong warganya agar memanfaatkan kegiatan Erau untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui berbagai usaha, seperti kuliner, fasilitas akomodasi, sampai pembuatan cenderamata.
Tenggarong sendiri didirikan pada tanggal 28 September 1782 oleh Raja Kutai Kartanegara XV, Aji Muhammad Muslihuddin, yang dikenal pula dengan nama Aji Embut.
Semula kota ini bernama Tepian Pandan ketika Aji Embut memindahkan dari Pemarangan. Oleh Sultan Kutai nama ini diubah menjadi Tangga Arung, yang berarti rumah raja. Makanya sering juga disebut Kota Raja. Belakangan, Tangga Arung lebih populer dicarangkan dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini.
Saya pertama kali menonton Erau zaman Bupati Kutai Drs H Achmad Dahlan (1965-1970). Kebetulan salah satu putranya, Zairin Fauzi teman akrab saya sejak kami duduk di bangku Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) sampai SMEA. Saya diajak Zairin tidur di rumah dinas bupati kalau acara Erau digelar.
Acara Erau selain melaksanakan kegiatan adat, penampilan tari Kesultanan dan berbagai suku termasuk Dayak, juga dilaksanakan berbagai pertandingan olahraga. Tahun ini sejumlah kesultanan di Tanah Air termasuk yang di Kaltim juga diundang.
Erau dalam bahasa Kutai, eroh. Artinya ramai atau riuh. Dimaknai sebagai kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat, yang dilaksanakan dalam berbagai suasana, mulai pesta budaya, hiburan sampai yang bersifat sakral.
Dalam sejarahnya, Erau pertama kali digelar pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), Erau diadakan lagi. Sejak itu Erau selalu dilaksanakan setiap penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Kemudian berlanjut pada pemberian gelar kepada pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.
Menurut Sekretaris Kesultanan, Awang Yacoub Luthman, ketika Aji Raja Mahkota Mulia Alam menjadi Raja Kutai pada 1525-1600, upacara Erau semakin berwarna. Nilai-nilai Islami melekat pada setiap kegiatan.
Meski masa pemerintah Kesultanan sudah berakhir tahun 1960, tradisi Erau tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai sebagai peristiwa budaya, yang sangat menghibur dan bernilai tinggi sebagai objek pariwisata.
Karena itu, ketika menyampaikan sambutan kemarin, Wagub Hadi Mulyadi melihat Erau 2022 sebagai momentum kebangkitan pariwisata di Kutai Kartanegara termasuk di Provinsi Kalimantan Timur. “Erau harus kita jaga dan lestarikan. Dengan Erau kita sukseskan tahun kunjungan wisata di Benua Etam,” tandasnya.
Berlangsung 2 Minggu
Erau Adat Pelas Benua 2022 berlangsung dua minggu atau 14 hari dengan 14 kegiatan. Acaranya sendiri sudah berlangsung sejak tanggal 20 September lalu ditandai dengan haul jamak Raja dan Sultan, Sultan Menjamu Benua, Merangin I, II, dan III, Beluluh dan Bepelas Sultan serta Mendirikan Tiang Ayu.
Setelah pembukaan Minggu kemarin, masih ada lagi ritual beluluh dan bepelas, ziarah ke makam Raja dan Sultan, pembacaan Maulid Berjanji, sampai puncaknya tanggal 2 Oktober nanti ditandai dengan pengambilan air tuli di Desa Kutai Lama (Kerajaan Kutai pertama di Anggana), Ngulur Naga, Begorok, Sultan Turun ke Tangga Titi, sampai acara yang ditunggu-tunggu warga dan wisatawan yakni belimbur atau saling siram siraman air.
Belimbur memiliki makna sebagai cara menyucikan diri. “Dengan memercikkan air ke tubuh di pesta Erau, diharapkan masyarakat bisa berjalan di jalur yang suci dan bersih, serta dijauhkan dari berbagai penyakit dan marabahaya lainnya,” kata Awang Yacoub.
“Nanti Bapak datang lagi ya pada acara belimbur,” kata Alvionita dan Farah, mantan Duta Wisata Tenggarong yang menemani saya masuk ke Istana. Saya tak menyangka mereka tahu dan meminta diberikan buku saya “Bukan Pak Wali Lagi.” Mereka juga mengajak warga masyarakat dan wisatawan datang ke Tenggarong, setidaknya pada puncak acara, Minggu, 2 Oktober nanti.
Pulang dari Tenggarong, saya sempat singgah di warung pinggir jalan, di daerah Loa Kulu. Saya membeli tempe bungkus, gula merah, dan kue lidah sapi. Di tempat ini diakui kualitas tempe bungkusnya sangat baik. Begitu juga gula merah atau gula arennya. Apalagi si lidah sapinya. Rugi kalau tidak membeli dan mencobanya.
Saya salut warga di situ tetap semangat jualan produk UMKM. “Beneh, ada kegiatan Erau jualan kami tambah laku,” kata ibu penjualnya bersemangat.
Selamat melaksanakan Erau. Dirgahayu ke-240 Kota Tenggarong. Terus BERSERI. Bena Benua Etam.(*)