Di Simpang Jalan Lubang Tambang Kalimantan Timur, Akmal Malik: Butuh Kolaborasi Yang Baik

KLIKSAMARINDA – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terus menghadapi tantangan besar dalam mengelola dampak industri tambang yang begitu masif. Sekitar 44% wilayahnya sudah berubah menjadi area konsesi tambang, menyisakan ribuan lubang bekas tambang yang tersebar luas.
Di tengah rencana besar pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke provinsi ini, permasalahan lingkungan dan sosial menjadi isu yang semakin mendesak untuk diselesaikan. Dengan sekitar 154.000 lubang bekas tambang, dan 29.000 di antaranya terletak di sekitar kawasan IKN, pertanyaan yang muncul adalah siapa yang akan menutup luka-luka ini?
Bagaimana tanggung jawab dari perusahaan tambang dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat?
Potret Dampak Tambang di Kalimantan Timur
Pejabat Gubernur Kalimantan Timur, Akmal Malik, dalam dialognya di program “Nation Hub” CNBC Indonesia, Kamis 14 November 2024, menyoroti berbagai sisi positif dan negatif dari industri tambang. “Bagi Kalimantan Timur, tambang adalah berkah. Potensi pendapatan daerah dan negara sangat besar,” ungkap Akmal. Namun, ia juga menekankan pentingnya pengelolaan yang ramah lingkungan untuk menjaga agar tambang tetap memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat.
Menurut Akmal Malik, tambang adalah sumber energi yang tidak terbarukan. Karena itu, pengelolaannya membutuhkan regulasi ketat dan pendekatan yang menyeluruh agar manfaatnya dapat dinikmati masyarakat, baik saat ini maupun di masa depan.
Dalam hal ini, pemerintah daerah berharap adanya Rencana Induk Pemberdayaan Masyarakat (RIPM) yang mengatur bagaimana tambang dapat memberikan kontribusi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat lokal. Sayangnya, hingga kini regulasi ini masih belum diimplementasikan secara penuh.
Kendala Regulasi dan Pengawasan
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) hanya memiliki wewenang terbatas dalam hal pengawasan tambang. Hal ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengalihkan kewenangan pengelolaan tambang ke pemerintah pusat.
Ia menyoroti efektivitas kerja inspektur tambang yang, menurutnya, tidak optimal karena keterbatasan jumlah dan sumber daya.
Dengan luas area tambang mencapai 5 juta hektare lebih yang harus diawasi, hanya terdapat 34 orang inspektur tambang yang ditugaskan untuk seluruh Kalimantan Timur.
Jumlah ini, menurut Akmal, sangat tidak memadai mengingat luasnya wilayah dan banyaknya aktivitas pertambangan di daerah tersebut.
“Saya katakan, apakah iya mengawasi 5,1 hektare cukup dengan 34 orang? Pertanyaan saya itu. Kemudian Apakah mereka dibekali enggak dengan instrumen-instrumen yang memada. Contoh, mengawasi pakai drone. Jangan-jangan, cuma pakai motor aja. Bayangkan, mengawasi 5 juta hektare hanya mengendarkan motor saja. Ya, enggak bisa,” kata Akmal.
Akmal mengaku sering turun ke lapangan dan langsung melihat area tambang batubara yang tidak direklamasi. Termasuk ketika terjadi kecelakaan tambang yang melibatkan anak-anak, Akmal mengaku kesal dan minta menutup lubang tambang itu.
Sampai saat ini, sudah ada 51 anak yang menjadi korban karena lubang tambang yang tidak ditutup dengan aman. Di masa dirinya menjabat sebagai Pj Gubernur Kaltim, telah terjadi 4 kali peristiwa anak meninggal di lubang bekas galian tambang.
“Saya turun saya, sudah jengkel karena dalam masa penjabat itu sudah kali yang keempat mengalami itu dan selalu yang jadi sasaran adalah pemerintah daerah. Sementara yang punya kewenangan? Saya mau tabbayun,” ujar Akmal.
Upaya dan Solusi Ke Depan
Mengatasi permasalahan tambang yang kompleks di Kalimantan Timur, pemerintah provinsi saat ini sedang menyusun Rencana Induk Program Pemberdayaan Masyarakat(RIPM). Rencana ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat setempat bisa merasakan manfaat nyata dari aktivitas tambang.
“Bagaimanapun tambang adalah merupakan berkah bagi negara ini berkah bagi pemerintah daerah tetapi juga harus menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat,” ungkap Akmal.
Contoh yang diharapkan antara lain adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui berbagai program, seperti pelatihan keterampilan dan dukungan usaha. Tujuannya agar masyarakat setempat bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari usaha yang berkelanjutan, sehingga mereka tidak tergantung pada tambang.
Akmal juga menyarankan pemerintah pusat untuk meningkatkan jumlah inspektur tambang di Kalimantan Timur, agar pengawasan bisa dilakukan secara menyeluruh. Sehingga membutuhkan SDM tambahan dan bila memungkinkan ada pendelegasian kewenangan pengawasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
“Kalau kewenangannya di pusat, ditambahlah SDM-nya atau didlegasikanlah sedikit kewenangannya kepada daerah. Minimal di bidang pengawasan. Sekarang, kan tidak. Bidang pengawasan juga jadi belong to central government,” ungkap Akmal.
Kontribusi Perusahaan Tambang
Sebagai pemegang izin usaha, perusahaan tambang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan. Akmal mencontohkan perusahaan tambang yang proaktif, seperti PT Multi Harapan Utama (MHU), selaku pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang telah melakukan revegetasi di lahan bekas tambangnya dengan menanam rumput odot yang bisa menghasilkan pendapatan bagi kelompok tani sekitar Rp50 juta.
Selain itu, di Kutai Timur, bekas lahan tambang digunakan untuk menanam pisang yang kemudian diolah menjadi produk ekspor. Akmal berhadap agar perusahaan tambang lainnya juga melakukan hal serupa. Tidak hanya mengambil kekayaan alam, tetapi juga memberikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk yang berkelanjutan.
“Eks tambang sangat potensial dikembangkan untuk menjadi lokasi untuk pakan ternak dan juga hortikultural. Contoh seperti juga ada di Kutai Timur ditanami pisang kemudian si pisangnya diolah fried dry dan kemudian diekspor ke Belgia. Saya bisa tunjukkan produknya. Bagaimana kelompok wanita tani yang ada di Kutai Timur mengelola pisang yang hanya 2.000 perak bisa dijual dengan Rp25.000 perak. Bagi saya bagaimana mendorong usaha-usaha yang memiliki nilai tambah yang tinggi ini. Itulah bentuk pemberdayaan bagi masyarakat sesungguhnya,” beber Akmal.
Namun, masih banyak perusahaan yang hanya bergantung pada program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai bentuk kontribusi mereka. Padahal, CSR saja dinilai tidak cukup karena sering kali bersifat temporer dan tidak menyentuh aspek pemberdayaan ekonomi yang mendalam. Akmal menegaskan Kaltim membutuhkan program yang lebih komprehensif, bukan hanya sekadar CSR.
“Mungkin selama ini teman-teman pemegang konsesi lebih banyak mengandalkan CSR-nya saja. CSR itu, kan cuma kecil. Ya artinya obat luka lah. Kita ingin agak tebal, lah. Artinya dalam bentuk program penguatan kapasitas masyarakat lokal. Mereka bisa punya koperasi, bisa punya lahan,” tegas Akmal.
Harapan Masyarakat Kalimantan Timur
Masyarakat Kalimantan Timur berharap industri tambang tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis jangka pendek, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi generasi mendatang. Mereka ingin melihat Kalimantan Timur berkembang menjadi wilayah yang maju dan sejahtera, tanpa kehilangan lingkungan alamnya. Oleh karena itu, dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan perusahaan tambang, sangat diperlukan untuk mewujudkan visi ini.
Saat ini, dengan adanya proyek besar pembangunan IKN, kebutuhan akan koordinasi yang baik antar-pihak terkait semakin mendesak. Akmal mengungkapkan, “Bagi saya, butuh kolaborasi yang baik.”
Menjaga Masa Depan Kalimantan Timur
Potensi tambang yang dimiliki Kalimantan Timur memang sangat besar, namun Akmal menekankan pentingnya orientasi jangka panjang. Beberapa negara yang dulu kaya akan tambang kini berakhir miskin karena eksploitasi yang tidak berkelanjutan. Karena itu, Kalimantan Timur perlu merancang strategi yang lebih cermat dalam menjaga sumber daya alamnya. “Kalau habis, nanti kan harus ada transformasi. Kita belajar banyak banyak negara negara-negara Yang, maaf ya, setelah tambangnya habis kemudian muncul miskin seperti Nauru,” kata Akmal.
Untuk ke depannya, Akmal berharap ada rencana aksi yang jelas dan terukur dari semua pihak. Sebuah cuan yang menjadi panduan semua pihak, seperti RIPM.
RIPM adalah salah satu solusi yang implementasinya harus dikawal dengan ketat dan tidak hanya menjadi wacana.
RIPM harus menjadi benchmark agar kita bisa mengukur keberhasilan setiap tahapan dan melihat dampak langsungnya bagi kesejahteraan masyarakat.”
Pemprov Kaltim juga berharap agar masyarakat lokal diberdayakan lebih maksimal, khususnya dalam penyediaan kebutuhan tambang. Mereka menginginkan masyarakat lokal lebih berperan aktif dalam rantai pasokan, mulai dari bahan pangan hingga infrastruktur pendukung. “Jika kita bisa membangun industri kecil yang mendukung tambang, maka ekonomi lokal akan berkembang dan masyarakat bisa mandiri,” ungkap Akmal.
Kalimantan Timur kini tengah ada di persimpangan jalan antara kesejahteraan ekonomi yang menjanjikan dari industri tambang dan ancaman kerusakan lingkungan yang tak terbantahkan. Pemerintah daerah dan masyarakat berharap agar keberadaan tambang tidak hanya mendatangkan keuntungan jangka pendek, tetapi juga bisa menjadi pondasi bagi masa depan yang lebih baik. Dengan adanya RIPM yang kuat dan berfungsi sebagai pedoman bagi semua pihak, diharapkan dampak negatif tambang dapat diminimalkan dan masyarakat setempat dapat merasakan kesejahteraan yang berkelanjutan. (dwi)