Membuka Jalan Strategi Kolektif Publik dan Swasta Perangi Korupsi di Indonesia
KLIKSAMARINDA – Indonesia Global Compact Network (IGCN) menggelar Dialog Kebijakan Publik-Swasta Tingkat Tinggi Dalam Mempromosikan Transparansi dan Akuntabilitas, Selasa 27 September 2022.
IGCN dalam diskusi dengan para ahli Side Event B20 mendiskusikan mengenai korupsi sebagai faktor penghambat pembangunan berkelanjutan sehingga perlu untuk dimitigasi.
Namun, upaya mitigasi ini memerlukan bantuan dari banyak pihak baik internal, eksternal hingga aksi kolektif Anti korupsi.
Melalui dialog tersebut, IGCN sebagai local network UN Global Compact di Indonesia dan juga anggota dari B20 Integrity & Compliance Task Force, mengajak publik dan pihak swasta khususnya korporasi atau bisnis untuk bersama-sama berkolaborasi dalam aksi kolektif untuk berkomitmen memberantas korupsi.
Menjadi narasumber dalam dialog secara virtual ini antara lain Executive Director IGCN, Josephine Satyono, Chief, Intergovernmental Relations, UN Global Compact, Olajobi Makinwa,
Ketua B20 Satuan Tugas Integritas Indonesia dan Kepatuhan, Haryanto T. Budiman, Ketua B20 Indonesia & Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Shinta Kamdani, Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, dan Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan.
Kegiatan ini didukung oleh mitra strategis IGCN yaitu Koalisi Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Transparency International Indonesia (TII), Universitas Paramadina, dan International Chamber of Commerce (ICC) Indonesia.
Berdasarkan penilaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021, yang dicetuskan oleh Transparency International, Indonesia memiliki skor 38 dari 100 poin dan berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang dinilai.
Data ini bukan data yang membanggakan. Pasalnya, semakin kecil IPK, maka semakin minim kepercayaan publik terhadap negara tersebut.
Dilihat dari sebaran kasus korupsi berdasarkan lembaga, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2004 hingga 2022 banyak didominasi oleh lembaga pemerintah pusat yakni sebanyak 409 kasus.
Jika dilihat berdasarkan profesi atau jabatan, pelaku korupsi, berasal dari sektor swasta dengan menduduki peringkat tertinggi, dengan jumlah total 310 kasus sejak tahun 2004 hingga Januari 2022.
Lebih lanjut lagi, studi dari Bank Dunia mengungkapkan terdapat kerugian sebesar USD 1,26 triliun per tahun di negara-negara berkembang akibat korupsi, penyuapan, pencurian, maupun penggelapan pajak.
Hal ini sangat merugikan negara maupun organisasi karena akan tersangkut dalam isu hukum, turunnya kredibilitas, kerugian finansial, dan moral.
Dalam pidato pembukaannya, Chief, Intergovernmental Relations, UN Global Compact Olajobi Makinwa, menyatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas adalah dua sisi mata uang yang sama pentingnya.
Menurut Olajobi Makinwa, transparansi diperlukan agar kita dapat meminta pertanggungjawaban lembaga, manajer, atau pemimpin dalam menjalankan tugas yang diamanatkan. Namun, transparansi tanpa akuntabilitas tidak ada artinya.
“Korupsi akan menjadi kanker di seluruh dunia, transparansi dan akuntabilitas penting untuk didukung oleh aksi kolektif bersama sektor swasta,” ujar Olajobi Makinwa.
Sebagai salah satu aksi nyata untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi, IGCN dan B20 Integrity & Compliance Task Force terus mempromosikan Aksi Kolektif Anti Korupsi.
Menurut Direktur Eksekutif IGCN, Josephine Satyono, tujuan dialog Aksi Kolektif Anti Korupsi ini untuk memfasilitasi dan mempercepat inisiatif anti korupsi, mengidentifikasi tantangan dalam memberantas korupsi di sektor publik dan sektor swasta, mempromosikan transparansi dan good governance.
“Serta untuk mengadvokasi pentingnya aksi kolektif inklusif yang melibatkan para pembuat keputusan di sektor publik dan swasta,” ujar Josephine Satyono.
Josephine Satyono juga menyebutkan bahwa telah terjadi dua diskusi kelompok pada Juli dan Agustus 2022 yang berhasil mengidentifikasi indikator korupsi terutama di sektor agribisnis.
“Temuan utama dari diskusi tersebut adalah kurangnya integritas dan konflik kepentingan, sistem pelaporan yang tidak efektif dan kurangnya upaya tindak lanjut, lemahnya data dan kebijakan yang tidak konsisten serta tumpang tindih,” tutur Josephine.
“Untuk itu, diskusi tersebut juga menyepakati perlunya aksi kolektif dari berbagai pihak; mengingat korupsi adalah permasalahan sistemik yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Visi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang lebih bersih perlu terus didorong bersama antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil,” ujar Josephine Satyono.
Pentingnya aksi kolektif ditegaskan kembali oleh Ketua B20 Indonesia Integrity & Compliance Task Force, Haryanto T. Budiman.
Haryanto T. Budiman menyatakan, aksi kolektif berarti ikut melibatkan pihak multilateral dan multi pihak karena tidak ada satupun negara, korporasi atau industri bisa mencapai target anti korupsinya dengan upaya sendiri.
“Setiap pihak memiliki tanggung jawab untuk memberantas korupsi, serta sekaligus ikut menjadi bagian dari solusi anti korupsi,” ujar Haryanto T. Budiman.
Haryanto juga mengemukakan bahwa B20 telah merekomendasikan empat rekomendasi kebijakan yang dituangkan ke dalam 40 kebijakan sub-aksi untuk memastikan ada tindakan yang lebih konkrit untuk diimplementasikan.
Dukungan bisnis untuk memberantas korupsi disampaikan oleh Ketua B20 Indonesia, Shinta Kamdani.
Shinta Kamdani mengaku bangga untuk menyatakan bahwa Aksi Kolektif Anti Korupsi IGCN sejalan dengan B20 Integrity & Compliance Task Force yang fokus pada pendekatan anti korupsi, kepatuhan, integritas, dan transparansi.
“Hal ini sekaligus menekankan pentingnya kerjasama publik-swasta ke tingkat yang lebih tinggi. B20 bisa menjadi jembatan bagi sektor swasta dan pemerintah untuk mendorong aksi kolektif ini,” ujar Shinta Kamdani.
Menanggapi perjuangan anti korupsi ini, Valerie Julliand, UN Resident Coordinator in Indonesia menuturkan, target SDGs 16 sebenarnya ambisius dan sulit dicapai. Namun perlu untuk menciptakan masyarakat yang damai, inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan.
“Di tingkat PBB, kami mempromosikan nilai fundamental termasuk integritas yang menjadi dasar demokrasi dan hak asasi manusia. Semua lapisan masyarakat perlu merefleksikan prinsip-prinsip PBB dan memastikan bahwa akuntabilitas berjalan dengan baik,” Valerie Julliand.
Terkait kebijakan anti korupsi, Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan Indonesia sudah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) yang mencantumkan arah dan strategi, implementasi, tujuan, sasaran, dan indikator evaluasi, serta koordinasi untuk angka pendek dan menengah.
“Pemantauan dan evaluasi implementasi Stranas-PK, tidak hanya dilakukan oleh Setnas-PK. Akan tetapi juga dilakukan oleh NGO/LSM sebagai organisasi masyarakat sipil. Partisipasi masyarakat paling signifikan terdapat pada penegakan hukum dan reformasi birokrasi, meski demikian akses dan pelibatan masyarakat masih belum optimal dan terakhir dampak yang dirasakan masyarakat, baru pada fokus penegakan hukum dan reformasi birokrasi, sedangkan dampak pada fokus lainnya belum dirasakan,” ujar Edward Omar Sharif Hiariej.
Menanggapi diskusi panel mengenai sejauh mana implementasi kebijakan anti-korupsi di Indonesia, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, memberikan pandangan integratif.
Menurut Pahala Nainggoln, saat ini sudah terjadi perbaikan pada sistem digitalisasi dan transparansi pada sistem pelacakan di Pelabuhan.
“Namun, tantangan masih terjadi pada sistem tata niaga impor pangan, sistem procurement pemerintah, dan sektor perizinan yang masih perlu terus disempurnakan,” ujar Pahala Nainggolan.
Pahala juga menekankan pentingnya law enforcement dan komitmen dari pemerintah untuk konsisten dalam mengimplementasikan Stranas-PK.
Dari keseluruhan dialog tersebut, ada benang merah yang menyimpulkan bahwa Aksi Kolektif Anti Korupsi perlu didukung oleh berbagai pihak.
Ke depannya, Aksi Kolektif Anti Korupsi berencana untuk mengumpulkan lebih banyak organisasi di Indonesia, terutama di sektor agribisnis untuk berkomitmen dalam melakukan reformasi anti korupsi yang dimulai dari internal, eksternal hingga aksi kolektif. (*)