Penghancur Kanker
Opini Rizal Effendi
RUMAH Sakit dr. Kanujoso Djatibowo (RSKD) Balikpapan memiliki dua mesin penghancur kanker bernilai Rp60 miliar. Mesin mahal yang akrab disebut pesawat terapi Linac (Linear particle accelerator) buatan Amerika Serikat itu adalah mesin radioterapi yang digunakan sebagai alat terapi radiasi eksternal yang paling umum untuk pasien yang terkena kanker. Linac menggunakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi tinggi untuk mempercepat partikel bermuatan elektron dengan energi tinggi.
Kehadiran mesin yang sangat penting dalam pelayanan pasien kanker itu, menandai peresmian Unit Pelayanan Kanker Terpadu (UPKT) RSKD oleh Gubernur Kaltim Dr. H. Isran Noor, MSi di penghujung Maret (31/3), Kamis kemarin. “Alhamdulillah setelah di RS A Wahab Syahranie Samarinda, sekarang Balikpapan juga punya fasilitas yang sama,” kata Gubernur dengan wajah terharu menyaksikan anak-anak penderita kanker menampilkan tarian gembira menyambut peresmian Linac.
Saya tidak tahu mengapa Direktur RSKD dr Edy Iskandar secara khusus mengundang saya untuk menyaksikan peresmian itu, padahal saya sudah purnatugas. “Saya berterima kasih karena Bapak ikut mendorong dilengkapinya pelayanan di RSKD,” kata Edy penuh semangat.
Perjuangan Edy membangun UPKT memang tidak mudah, terutama yang berkaitan dengan urusan anggaran. Dia harus mengajukan kepada gubernur, lalu dibahas dan disetujui oleh DPRD Kaltim. “Memang tidak mudah karena fulus-nya memang terbatas,” aku Gubernur. Tapi disadari fasilitas ini sangat perlu untuk membantu para penderita kanker agar mendapat pelayanan yang cepat dan dekat. “Fasilitas kesehatan seperti ini diperlukan sepanjang zaman dan sepanjang masa, apalagi kita menyambut IKN,” tambahnya.
Edy merasakan betapa beratnya perjuangan pasien kanker dari Balikpapan dan sekitarnya, yang harus antre di RSAW Samarinda. Apalagi kalau harus keluar daerah seperti ke Dharmais Jakarta. Karena itu dia bertekad membangun fasilitas itu di RSKD. Kebetulan RSKD mendapat dukungan dari guru besar Universitas Indonesia, yang melihat perlunya layanan onkologi radiasi di Balikpapan mengingat banyaknya pasien-pasien kanker dari Kaltim dikirim ke Jakarta. Juga ada Prof Dr Suhartati dari tim Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang memberikan pendampingan.
Prof Suhartati adalah ketua Perhimpunan Onkologi Radiasi (PORI).
Menurut Edy, RSKD akhirnya bisa membeli dua mesin Linac seharga Rp60 miliar itu. Lalu membangun gedung UPKT berlantai tiga yang diberi nama Gedung Lavender dengan biaya sekitar Rp40 miliar. Itu semua dananya bersumber dari APBD Kaltim. “Karena itu kami sangat berterima kasih kepada Bapak Gubernur Isran,” ujarnya.
Edy menggambarkan pembangunan ruang radioterapi Linac memerlukan ketelitian dan persyaratan tinggi. Karena mesin itu memancarkan radiasi tenaga nuklir, maka ruangannya yang disebut bunker itu harus mempunyai ketebalan dinding sampai 3 meter sehingga tidak terjadi kebocoran. Makanya Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) ikut mengawasi dan memberikan persetujuan. “Luar biasa, mengurus izinnya saja memerlukan perjuangan berat sekitar satu tahun,” kata Edy.
Walaupun semacam bunker, tapi ruangan mesin Linac tidak angker bahkan sebaliknya sangat menyenangkan. Gambar di dindingnya dipasang panorama yang indah. Saya sempat masuk dan berfoto di sana. “Tidak lama terapi di sini hanya beberapa menit dan begitu keluar ruangan pasien bersih dari radiasi,” kata dr. Ben, spesialis onkologi radiasi yang ikut menyaksikan peresmian. Dr Ben, wakil ketua PORI, utusan Prof Suhartati dari Jakarta.
Gedung UPKT RSKD dilengkapi berbagai fasilitas seperti CT Simulator untuk mendeteksi letak sel kanker, ruang bedah dan kemoterapi, ruang poli dokter dan ruang konsultasi. Di lantai 2 untuk ruang rawat inap pasien dewasa dan lantai 3 untuk pasien anak-anak.
Total kapasitas inapnya sebanyak 45 tempat tidur terdiri dari beberapa kelas termasuk VIP. Khusus kamar inap anak-anak dibuat senyaman dan semenarik mungkin. Ada spot buat foto dan tiap kamar ditempel stiker kartun berpakaian adat Indonesia. “Silakan anak-anak mau di ruang yang mana?” kata Edy.
UPKT RSKD didukung sekitar 50 tenaga kesehatan untuk operasional radioterapi. Di antaranya dokter, fisikawan medis untuk tenaga ahli, radiografer, dan perawat serta teknik elektromedik. “Alhamdulillah kami sudah dapat dokter spesialis radioterapi dari UI. Sedang perawatnya sudah mendapat pelatihan di RS Kanker Dharmais dan RS Sardjito Yogyakarta,” tuturnya.
Di depan Gubernur Isran, Edy memohon dukungan agar BPJS segera mengcover pembiayaan pasien. “ kami tinggal menunggu survei dari tim BPJS pusat,” katanya. Sebab, jika biaya swadaya pasien cukup berat. Satu paket radioterapi sekitar Rp35 juta-Rp50 juta untuk 5-6 penyinaran.
LAGI CEDERA
Saya sempat terkecoh ketika berlangsung peresmian UPKT RSKD Kamis kemarin. Ada seseorang yang berada di kursi roda dengan jarum infus di tangan. Saya pikir salah seorang pasien kanker. Ternyata dia salah seorang dokter andalan spesialis onkologi UPKT RSKD, dr. David Andi Wijaya, Sp Onk Rad, yang beberapa hari sebelumnya mengalami insiden. Selain dr. David, di sana ada dr. Ketut Rama Wijaya (spesialis obgyn), dr. Elvis Deddy Kurniawan Sp., B (K) Onk (spesialis bedah onkologi) bersama dr. Sentot, SpB Onk, dr. Chandra Sari, Sp PD (spesialis penyakit dalam) dan dr. Elsa, spesialis anak, konsultan hemato onkologi anak satu-satu di Kaltim. Juga dr. Milda, putra daerah yang lagi mengambil spesialis onkologi terapi kerjasama dengan FKUI RSCM dan dr. Maurits, yang sedang mengambil sekolah konsultan onkologi paru.
“Kehadiran fasilitas radioterapi ini melengkapi pelayanan bidang onkologi yang membutuhkan tiga pilar penting, yaitu setelah bedah dan kemoterapi,” kata dr. David dalam penjelasannya kepada media beberapa waktu lalu.
Pendekatan apa yang dilakukan seorang dokter kepada pasien kanker? Menurut David tergantung dengan stadium dan kondisi pasien. Untuk kanker leher rahim stadium dini misalnya, hanya akan dilakukan pengangkatan dengan metode bedah saja. Tapi untuk kasus seperti kanker payudara stadium lokal perlu dilakukan pembedahan, kemoterapi, dan diikuti dengan radiasi.
Dalam pendekatan paling konservatif, sebanyak 50 persen kasus kanker membutuhkan radioterapi dan bahkan bisa lebih. Jika saat ini RSKD menangani sekitar 500 kasus pasien baru, maka dengan pendekatan konservatif ada sekitar 250 orang yang membutuhkan pengobatan radioterapi.
Melihat data yang ada, kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di dunia setelah kardiovaskuler. Sayangnya di Indonesia, masih kurang upaya deteksi dan pencegahan dini, sehingga kerap kali pasien datang berobat ketika sudah memasuki stadium lanjut.
Dari data WHO, ada 400 ribu kasus baru di Indonesia dan 230 ribu di antaranya berakhir dengan kematian. Kasus terbanyak adalah kanker payudara, menyusul kanker serviks (leher rahim), kanker paru-paru, kanker hati, kanker nasofaring (area sebelah atas bagian belakang tenggorokan) dan jenis kanker lainnya.
Menurut Yayasan Kanker Indonesia (YKI) salah satu penyebab tingginya kasus kanker di Indonesia adalah kondisi lingkungan yang terus menghasilkan bahan karsinogen, seperti rokok, daging olahan dsb. Penyebab lain yang memengaruhi seperti kebiasaan begadang, kurang olahraga, dan makan terlalu banyak.
Sebenarnya Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan berbagai pihak telah melakukan upaya pencegahan dan pengendalian khususnya untuk kanker payudara dan kanker serviks. Di antaranya melalui metode pemeriksaan payudara klinis (Sadanis) dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA).
Sebelum saya meninggalkan Gedung Lavender kemarin, seorang anak penderita menyerahkan segelas cenderamata kepada saya sambil mengajak foto bersama. Wajahnya berseri dan penuh semangat. Saya jadi terharu dan teringat kakak kandung saya, Suriati, perawat dan bidan di RSU AWS yang meninggal karena mengidap kanker lambung.
Masyarakat dunia baru saja memperingati Hari Kanker Sedunia, 4 Februari lalu. Temanya sangat menarik “Close the Care Gap,” atau di-Indonesia-kan ”Tutup Kesenjangan Perawatan.” Saya kira kehadiran UPKT RSKD menjawab tema tersebut.
Saya pernah ketemu petinju legendaris dunia, Muhammad Ali di Los Angeles beberapa puluh tahun silam. Dia punya kata bijak untuk kita dan keluarga yang mengidap kanker. “Jangan hitung hari, buat hari jadi berarti.” (*)