News

Kaltim Percepat Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan

KLIKSAMARINDA – Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO) sudah digulirkan sejak 2011 melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19. Namun hingga sembilan tahun berlalu, Komisi ISPO baru menerbitkan 621 sertifikat.

Luas area perkebunan sawit yang mencakup sertifikat tersebut adalah sebanyak 5.450.329 hektare atau 38,03% dari total luas kebun sawit 14,33 juta hektare. Data tersebut adalah data Januari 2020. Masih minimnya jumlah perusahaan yang mendapat sertifikat ISPO tersebut, menjadi salah satu pertimbangan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

”Peraturan ini jelas mewajibkan untuk perusahaan erkebunan dan pekebun untuk melakukan sertifikasi dalam batas 5 tahun,” ujar Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaidi dalam pemaparannya di webinar Bingka Kaltim: Bincang Komoditas Perkebunan Lestari Kalimantan Timur seri kedua dengan topik Penyelenggaraan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Perkelanjutan di Kalimantan Timur (Kaltim) pada Kamis, 28 Januari 2021.

Webinar yang digelar atas kerja sama Forum Komunikasi Perkebunan Berkelanjutan Provinsi, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, Forum Komunikasi Perkebunan Kabupaten Berau dan YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara) menghadirkan juga Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim Ujang Rachmad, Regional Controller PT Tepian Nadenggan Sinarmas Group Waloya, Ketua Asosiasi Petani Swadaya Amanah Kabupaten Pelalawan, Riau Narno.

Dedi menjelaskan bahwa tujuan penting sertifikasi ISPO adalah meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional; meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca. Sertifikasi ISPO ini adalah upaya memposisikan daya saing dan menghadapi kampanye hitam kelapa sawit Indonesia di pasaran global.
Kementerian Pertanian, sebenarnya menargetkan sertifikasi ISPO rampung 100 persen pada 2020. Namun, ternyata implementasi di lapangan masih ditemukan sejumlah kendala, termasuk di Kalimantan Timur.

Ketua Forum Komunikasi Perkebunan Berkelanjutan Provinsi Kalimantan Timur, M. Sabani mengatakan saat ini terdapat 340 perusahaan besar perkebunan yang telah memperoleh izin dengan areal seluas 2,5 juta hektare.

Dari jumlah tersebut yang bersertifikasi ISPO sebanyak 72 perusahaan dengan lahan seluas 520 ribu hektare. Demikian pula di perkebunan rakyat, saat ini baru 2 kebun rakyat yang telah memperoleh sertifikat ISPO.

“Dari data di atas menunjukan bahwa pelaksanaan sertifikasi ISPO di Kalimantan Timur perkembangannya masih berjalan lambat,” ujar Sabani yang juga merupakan Sekretaris Provinsi Kaltim ini.

Pelaksanaan di lapangan terkendala antara lain kurangnya pemahaman tentang konsep keberlanjutan, terbatasnya pengetahuan dan kesiapan petani tentang ISPO, belum optimalnya peran Pemerintah Daerah terkait koordinasi dan sosialisasi pelaksanaan sertifikasi berkelanjutan.

Sabani menambahkan bahwa perkebunan sawit di Kaltim terus berkembang. Luas areal dan produksi kelapa sawit di Kalimantan Timur dalam 5 tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,04 % yaitu dari 1.090.106 Ha (2015) menjadi 1.228.138 Ha pada tahun 2019.

Demikian pula produksi tumbuh rata sebesar 14,89 % yaitu dari 10.812.893 ton (2015) menjadi 18,343.852 ton pada tahun 2019.

“Target sertifikasi ISPO, jelas berpengaruh terhadap perekonomian Kaltim,” ujar Sabani.

Menurut Sabani, jika pertumbuhan perkebunan sawit tidak dikelola dengan baik yang akan memberikan dampak negatif dari sisi lingkungan dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu dalam pembangunan perkebunan di Kalimantan Timur telah mempraktikkan prinsip pembangunan kelapa sawit berkelanjutan. Apalagi Kaltim sudah berkomitmen pembangunan hijau sejak 2010 melalui “Kaltim Green”.

Komitmen tersebut diperkuat dengan deklarasi “Green Growth Compact Kalimantan Timur” pada 2016. Tujuan pembangunan hijau, kemudian diturunkan dalam kebijakan sektoral termasuk kebijakan di sektor pertanian dan perkebunan yang terangkum di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Kalimantan Timur (RPJMD Kaltim) tahun 2018-2023.

Pada dokumen tersebut dinyatakan bahwa tujuan pembangunan hijau di sektor pertanian dan perkebunan akan dicapai dengan membangun ketahanan pangan berbasis komoditas lokal, pengurangan deforestasi dan degradasi hutan serta kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Agar target sertifikasi ISPO tercapai di Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi, khususnya Dinas Perkebunan sudah memasukkan dalam Strategi Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan.

“Kami jadikan Sertifikasi ISPO ini kami masukan dalam adopsi Indikator Pertumbuhan hijau pada Strategi Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Ujang Rachmad dalam kesempatan yang sama.

Mengurus sertifikasi ISPO, sebenarnya mudah. Hal itu dialami Ketua Asosiasi Petani Swadaya Amanah Kabupaten Pelalawan, Riau Narno. Kelompok tani Amanah mendapatkan banyak informasi terkait pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan dalam proses sertifkasi ISPO.

“Kami juga mendapatkan pelatihan terkait peduli lingkungan dan satwa yang dilindungi,” ujarnya.

Selain itu teknik pertanian seperti pemupukan sesuai hasil analisa laboratorium, hingga penjualan Tandan Buah Segar yang terkontrol. Dampaknya, kini pekebun sawit di kelompoknya bisa meminimalisasi biaya pengelolaan kebun, hasil produksi cenderung meningkat, mendapatkan penambahan hasil dari kredit (premium) untuk jangka waktu tertentu,memiliki rencana replanting, hubungan kemitraan semakin kuat, menjadi inspirasi bagi petani di daerah lain.

“Hal-hal yang sebelumnya kami tidak bayangkan dan kami belum ketahui,” ujar Narno

Adapun soal biaya pengurusan, Dedi mengatakan bahwa pemerintah siap membantu pekebun rakyat dalam proses sertifikasi ISPO. Biaya sertifikasi dapat bersumber dari: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan dapat digunan untuk: pelatihan; pendampingan pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO; dan/atau sertifikat ISPO awal.

“Biaya penilikan dan sertifikasi ulang ISPO dibebankan kepada pekebun,” kata Dedi. Namun untuk perusahaan besar, semua biaya ditanggung perusahaan itu sendiri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
DMCA.com Protection Status