Akademisi Peduli Wadas Pertanyakan Legalitas dan Hak Warga kepada Negara
KLIKSAMARINDA – Konflik antara Negara dan Rakyat muncul dalam kasus penambangan andesit di Wadas. Akademisi Peduli Wadas mencermati potensi pelanggaran hak-hak warga dan perampasan tanah, sementara warga melawan upaya eksklusi.
Akademisi Peduli Wadas kemudian melakukan perbantuan untuk memperjuangkan hak-hak warga Wadas Jawa Tengah yang terancam oleh rencana penambangan batu andesit.
Para akademisi ini kemudian menguji dokumen AMDAL dan menghadapipersoalan baru dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan hak-hak warga.
Konflik antara pemerintah dan warga Wadas terkait penambangan andesit mencerminkan perjuangan atas tanah dan hak-hak warga. Akademisi peduli lingkungan mengevaluasi legalitas dan dampak sosial proyek ini dan membahasnya dalam diskusi dalam jaringan, Selasa 5 September 2023.
Kelompok akademisi yang berasal dari Yogyakarta, Bogor, Malang, dan Samarinda ini membahas keberlanjutan lingkungan dan hak-hak warga Wadas yang terancam, mengambil langkah untuk mengawasi dan menguji keputusan terkait penambangan batuan andesit di wilayah tersebut.
Dalam diskusi yang bisa diakses melalui kanal Youtube Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik itu, Akademisi Peduli Wadas telah melaksanakan eksaminasi dan menguji dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) terkait Bendungan Bener, yang juga berhubungan dengan rencana penambangan batuan andesit di Wadas. Kedua kegiatan ini berlangsung pada 9 Maret 2023 di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dalam perkembangan terbaru, para pejuang lingkungan yang merupakan bagian dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menghadapi tekanan baru dalam bentuk undangan dari kantor pertanahan setempat. Undangan ini berkaitan dengan musyawarah untuk persetujuan pelepasan hak tanah demi kepentingan penambangan andesit.
Undangan ini dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo melalui surat Nomor 2175 1/UND-33.06.AT.02.02/VIII/2023 tertanggal 29 Agustus 2023, dan acara musyawarah dijadwalkan pada Kamis, 31 Agustus 2023.
Isi undangan menyatakan bahwa warga yang tidak hadir akan dianggap menerima bentuk dan besaran ganti kerugian. Di hari pertemuan, seakan tidak ada pilihan, warga Desa Wadas pejuang lingkungan bergerak menuju Balai Desa Wadas untuk memenuhi undangan.
Selama pertemuan, dilaporkan bahwa puluhan anggota kepolisian dan tentara hadir mengelilingi Balai Desa Wadas.
Sebelum pertemuan dimulai, perwakilan dari Kantor Pertanahan menuntut warga untuk menandatangani daftar kehadiran. Warga menolak tuntutan ini karena sebelumnya tanda tangan kehadiran digunakan sebagai bukti persetujuan atas rencana penambangan. Namun, tuntutan ini tetap dilakukan.
Kehadiran warga tampaknya sudah bukan lagi musyawarah, melainkan menjadi kewajiban, termasuk dalam hal menolak bentuk dan besaran ganti kerugian. Bila warga tidak hadir, mereka dianggap setuju perihal pemberian ganti rugi berdasarkan Peraturan Menteri ATR Nomor 19 Tahun 2021.
Pernyataan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Tengah menyebutkan bahwa “warga Desa Wadas telah secara mufakat setuju dengan penambangan batu andesit untuk material kebutuhan proyek Bendungan Bener.”
Namun, warga Wadas menyatakan bahwa mereka dipaksa menerima pemberian ganti rugi pada saat musyawarah berlangsung. Mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki opsi untuk menolak.
Klaim pemerintah ini bertentangan dengan kenyataan bahwa warga Wadas yang menentang penambangan batu andesit telah konsisten menolak rencana ini.
Selanjutnya, Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 yang berkaitan dengan lokasi pengadaan tanah untuk Bendungan Bener telah kedaluwarsa pada tanggal 7 Juni 2023.
Berdasarkan sejumlah fakta tersebut, Akademisi Peduli Wadas mempertanyakan legitimasi hukum dari surat undangan dan tekanan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo.
Mereka menekankan bahwa dalam kasus ini terdapat potensi pelanggaran hak-hak warga negara dan perampasan tanah dan ruang hidup warga secara tidak sah.
Menurut Dr. Rina Mardiana dari Pusat Studi Agraria IPB sekaligus juga pejabat di Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB, Wadas merupakan situs yang mempertunjukkan kelindan relasi kekuasaan dan paradigma pembangunan (pertumbuhan ekonomi) hingga terjadinya krisis sosio agraria-lingkungan di tingkat tapak.
Rina Mardiana menegaskan, melalui Wadas, bisa dilihat sejumlah persoalan. Pertama, mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan Negara dan melalui pengerahan aparatus Negara.
Kedua, sejauh mana dampak krisis sosio agraria-lingkungan terhadap konflik sosial vertikal dan horizontal di masyarakat.
Proses pengadaan tanah atas nama pembangunan yang berlangsung di Wadas, menurut Rina Mardiana, telah memicu kontestasi antara Negara versus Rakyat.
Rina Mardiana menganggap bahwa Negara menggunakan kuasa eksklusi melalui modal kekuasaan kultural, kapital, dan simbolik. Sementara warga Wadas berjuang melawan Negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif warga/komunitas.
Karena itu, kasus di Wadas mencerminkan konflik antara Negara dan Rakyat dalam konteks pengadaan tanah untuk pembangunan.
Negara menggunakan kuasa eksklusi melalui berbagai cara, sementara warga Wadas melawan dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif. Akibatnya, konflik ini telah menyebabkan peralihan lahan dari tangan rakyat ke negara.
“Penundukan warga melalui kekuasaan Negara telah sukses mendulang peralihan lahan dari tangan Rakyat ke Negara. Warga yang takluk itu selanjutnya disebut sebagai pihak pro. Sementara warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah-air mereka, disemati stigma kontra. Padahal, sejak isu pertambangan batu andesit ditetapkan sepihak oleh Negara, serentak warga wadas yang bekerja di sektor pertanian, baik yang memiliki lahan pertanian ataupun tidak (buruh tani), seluruhnya tegas menyatakan penolakan atas tambang. Kepiawaian jaringan pemrakarsa,” ujar Rina Mardiana.
Dr. Herdiansyah Hamzah, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL, mengkritik metode ancaman konsinyasi yang digunakan oleh pemerintah sebagai upaya merampas tanah dan ruang hidup warga Wadas.
Menurut dosen Fakultas Hukum Unmul ini, metode tersebuttidak sesuai dengan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
“Ancaman konsinyasi jelas adalah cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah warga wadas, tapi juga ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka. bahkan secara prinsip, metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” ujar Dr. Herdiansyah Hamzah.
Akademisi Peduli Wadas menegaskan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan ekologis dalam menjalankan proyek-proyek strategis nasional seperti penambangan andesit.
Mereka juga meminta pembatalan rencana penambangan yang dianggap merugikan masyarakat dan lingkungan serta melanggar hak-hak yang dijamin dalam konstitusi.
Akademisi Peduli Wadas yang mewakili pernyataan ini adalah Dr. Rikardo Simarmata (Ketua Pusat Kajian Djojodigoeno FH UGM), Dr. Herdiansyah Hamzah (Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL), Dr. Rina Mardiana (Dewan Penasehat Pusat Studi Agraria IPB dan Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB), Dr. Dhia Al Uyun (Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dosen FH UB), dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM). (*)
Diskusi Akademisi Peduli Wadas dapat disimak pada video berikut ini: