News

Mengatasi Krisis Pangan di Indonesia di Tengah Ancaman El Nino

KLIKSAMARINDA – Peringatan hari pangan sedunia, DDA dan ID COMM yang berkolaborasi dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Sentra Kreatif Lestari Siak (SKELAS), dan Kans.id menggelar diskusi media dengan tema “Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino” pada Kamis, 12 Oktober 2023.

Dalam diskusi ini, para pihak mengungkapkan pelbagai upaya untuk mengatasi krisis pangan di Indonesia dari hulu hingga hilir. Urusan ketahanan pangan diungkap bukan hanya dari persoalan produksi dan distribusi semata, namun juga menyangkut klasifikasi kelas sosial dan kebudayaan masyarakat penopangnya.

Mewakili Badan Ketahanan Pangan Nasional, Budi Wirianto, menyoroti pentingnya keberagaman pangan dalam menghadapi krisis pangan. Sentralisasi pangan sebenarnya tidak pernah ada, dan Bapanas justru menganjurkan perlunya keberagaman pangan.

Untuk mengatasi krisis pangan nasional, pemerintah telah melakukan upaya dari hulu ke hilir. Ini termasuk normalisasi harga dan pembangunan infrastruktur yang mendukung hasil produksi.

Misalnya, pemerintah telah melakukan impor beras untuk menstabilkan harga selama periode kekeringan. Selain itu, pembangunan waduk juga dilakukan sebagai sumber air untuk pertanian.
Meskipun upaya ini cukup berhasil, perlu menyadari bahwa tantangan geopolitik global seperti perang Rusia dan Ukraina saat ini juga memengaruhi ketersediaan pangan di Indonesia.

“Kita menyiasati dengan impor, untuk menormalkan harga beras saat kekeringan. Atau, juga membangun waduk sebagai sumber air untuk pertanian. Namun, memang harus dipahami bahwa saat ini, meski masih cukup akan tetapi global juga mengalami krisis,” ujar Budi.

Sementara itu, Angga Dwiartama dari ITB menyoroti masalah tanaman biji-bijian dan serealian. Saat kekeringan dan suhu yang tinggi, tanaman seperti beras dan biji-bijian lainnya sulit bertahan karena memerlukan kelembaban tertentu. Kondisi ini, menurut Angga, telah menyebabkan krisis pangan menjadi semakin kompleks.

Persoalan yang kerap muncul, menurut Angga, juga berkaitan dengan sektor lain, seperti akses petani terhadap ketersediaan lahan hingga alih fungsi lahan.

Di sisi lain, menurut Emil Kleden dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), krisis pangan tidak hanya disebabkan oleh harga jual yang tinggi dan kekeringan.

Emil Kleden menerangkan bahwa intervensi terhadap pangan lokal, termasuk pengaruh industrialisasi pangan dari luar wilayah seperti beras, juga merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan, khususnya di wilayah Papua.

Menurutnya, sebelum El Nino melanda, wilayah Papua sudah mengalami kelaparan dan gizi buruk selama 40 tahun. Varietas tanaman seperti sagu dan ubi pegunungan yang menjadi pangan utama Orang Asli Papua mengalami pengurangan drastis.

“Salah satu penyebab utama kelaparan, gizi buruk, dan kurang gizi itu adalah hilangnya hutan sagu di dalam wilayah adat lantaran dikonversi jadi lahan perkebunan,” ujar Emil.

Hal serupa terjadi di Nusa Tenggara, di mana sorgum menjadi pangan lokal. Wilayah yang menghasilkan sorgum juga mengalami pengurangan wilayah.

Menurut Emil, pangan lokal bukan hanya tentang makanan tetapi juga sangat berkaitan dengan citra diri seseorang. Masyarakat di daerah Papua di masa awal-awal beras dikenalkan, berpikir bahwa mengkonsumsi beras lebih baik dan menunjukkan status yang lebih tinggi dibandingkan dengan mengonsumsi pangan lokal seperti ubi-ubian.

Krisis pangan juga terjadi di Jawa Timur, yang dijuluki sebagai lumbung pangan. Menurut Nugroho Hasan dari Kans.id, ketiadaan air, ketiadaan pupuk, dan kekeringan membuat potensi gagal panen semakin besar.

Harga beras dan gabah basah melonjak, merugikan petani dan pengolah padi lokal. Solusi yang tepat adalah kembali ke praktik pertanian tradisional, di mana daun-daun di sekitar digunakan sebagai pupuk organik.

“Kembali ke pertanian 50 tahun lalu. Para petani menjadikan daun-daun di sekitar atau bisa dibilang memanfaatkan sekitar untuk dijadikan pupuk organik,” ujar Nugroho.

Di tengah berbagai tantangan ini, inovasi yang ditawarkan oleh Sentra Kreatif Lestari Siak, Riau, menjadi tawaran solusi. Pangan lokal dijadikan citra diri di kalangan masyarakat.
Cindi Shandoval dari Sentra Kreatif Lestari Siak menjelaskan pentingnya mempertahankan pangan keluarga dengan memperhatikan lingkungan sekitar.

Mereka menciptakan makanan lokal yang tidak hanya lezat tetapi juga berdasarkan budaya dan sejarah setempat. Ini memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang asal-usul pangan yang mereka konsumsi dan dampaknya terhadap lingkungan, terutama di daerah yang didominasi oleh lahan gambut yang rentan terbakar.

Cindi Shandoval yang berlatar pendidikan arkelologi ini merasa penting untuk kembali menangkap peluang dan potensi pangan lokal agar mampu mewujudkan kemandirian pangan dari tingkat komunitas terkecil, yaitu keluarga.

“Saya menanam tanaman sendiri di pekarangan dan mencoba memahami alasan-alasan mengapa masyarakat setempat menciptakan makaanan berbahan tanaman itu,” ujar Cindi.

Diskusi ini menekankan dampak El Nino bisa memberikan pengaruh terhadap pangan nasional, namun ketangguhan masyarakat lokal dalam memanfaatkan pangan lokal cukup baik.

Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kembali pentingnya perlindungan dan pelestarian pangan lokal sebagai solusi terbaik untuk mengatasi krisis kekeringan dan kekurangan pangan.

Usulan yang diajukan termasuk peningkatan produksi dan penyimpanan pangan lokal OAP, serta pengembangan teknik peningkatan produksi dan penyimpanan hasil panen sagu, ubi jalar, dan umbi keladi.

Semua pihak, termasuk pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan akademisi, perlu bersatu untuk mengatasi krisis pangan dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. (dui)

Back to top button
DMCA.com Protection Status