Dampak UU Cipta Kerja Bagi Perkebunan di Kaltim
KLIKSAMARINDA – Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2020 lalu, berpengaruh terhadap sektor perkebunan. Setidaknya terdapat 33 dari 118 Pasal dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang terkena dampak.
Analis Hukum Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Hadi Dafenta menyatakan, satu di antara dampak UUipta Kerja Omnibus Law di sektor perkebunan adalah perubahan izin usaha perkebunan.
Hadi Dafenta menambahkan, sebanyak 33 pasal UU Perkebunan yang dihapus, norma pengaturannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Adapun untuk penataan perizinan diatur oleh Pemerintah Pusat yang dalam praktek di lapangan kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat memutuskan untuk menghapus persyaratan investasi dan pengaturan terkait penanaman modal dalam UU Perkebunan dan cukup diatur dalam UU Penanaman Modal.
Kemudian juga mengubah batas waktu pengusahaan kebun, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, kewajiban membangun kebun untuk komoditas perkebunan tertentu, dan menghapus pengenaan sanksi pidana bagi kegiatan pelanggaran administratif.
“Salah satunya adalah mengubah konsepsi kegiatan usaha yang semula berbasis izin usaha (license approach) menjadi penerapan standar dan berbasis resiko (risk based approach/RBA,),” ujar Hadi Dafenta dalam pemaparannya di webinar bertajuk Bincang Komoditas Perkebunan Lestari Kalimantan Timur (Bingka Kaltim) seri ketiga pada Senin, 8 Maret 2021 yang membahas topik “Mencermati Undang-Undang Cipta Kerja Di Sektor Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan”.
Selain Hadi Dafenta, hadir pula narasumber dari Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law Adrianus Eryan, Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Pusat Eddy Martono, Analis Hukum Alex Karci Kurniawan, dan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, Ujang Rachmad.
Khusus peraturan terkait lingkungan hidup, Edy Martono mengatakan semuanya sudah dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“UU Cipta Kerja tidak menghilangkan kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),“ kata Eddy.
Apalagi perkebunan seperti sawit masuk dalam kategori perizinan berusaha risiko tinggi. Sektor usaha yang masuk kategori ini, wajib memiliki nomor induk berusaha dan izin, ditambah lagi persyaraatan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan dan sertifikat laik fungsi.
Alex Karci Kurniawan mengatakan bahwa sebelum lahirnya UU Cipta Kerja, sudah muncul pola umum konflik di sektor perkebunan. Di antaranya adalah tumpang tindih klaim lahan, skema plasma perkebunan, polusi dan dampak lingkungan, hak pekerja, sanksi untuk pekebun yang melanggar aturan hingga terganggunya akses masyarakat.
“Sejumlah pasal sudah ditampung dalam UU Cipta Kerja, tapi perlu dilihat lagi pelaksanaannya di lapangan,” kata Alex. Pengakuan atas hak adat, sanksi administratif hingga, penyelesaian tumpang tindih lahan sudah ada.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Ujang Rachmad, mengatakan bahwa semua pihak harus beradaptasi. Baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku usaha.
“Kita semua harus memahami bahwa ada aturan main yang berubah,” kata Ujang. Pemerintah, sebagai fasilitator harus mampu menjembatani perubahan di lapangan dan potensi konflik yang bisa terjadi antara masyarakat dan perusahaan.
“Pasti banyak hal-hal di lapangan yang dirasa tidak memberikan aspek keadilan,“ ujar dia.
Seperti misalnya satu perusahaan hanya boleh mengusai 100 ribu hektare di wilayah NKRI. Namun, kalau dalam bila ada satu grup memiliki 10 perusahaan, maka dia bisa menguasai 1 juta hektare. Menurut Ujang, kemungkinan tersebut bisa terjadi. UU Cipta Kerja, Ujang menambahkan bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah.
“Pasti ada jalur-jalur untuk perubahan nantinya.”
Hadi pun menegaskan bahwa tujuan UU Cipta Kerja adalah mempermudah investasi dan perizinan. Namun, untuk pengawasan, Ia menambahkan, akan diatur dan ditata.
“Sehingga kebermanfaatan bisa dirasakan bersama,” kata dia.
“Perubahan ini untuk tujuan yang lebih baik. Jangan alergi dengan aturan-aturan baru,” kata Ujang. Ia berpesan untuk melihat tujuan yang lebih besar dari aturan tersebut.
Sektor perkebunan merupakan sumber perekonomian penting untuk Kalimantan Timur. Ketua Forum Komunikasi Perkebunan Berkelanjutan Provinsi Kalimantan Timur, Muhammad Sa’bani mengatakan, di Kalimantan Timur pada tahun 2020, sumbangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pertanian dalam arti luas meningkat sebesar 0,86% yakni dari 7,91% pada tahun 2019 menjadi 8,77% (2020).
Sebanyak ± 56,33% diperoleh melalui sub sektor perkebunan dengan nilai absolut produk lapangan usaha perkebunan sebesar Rp17,2 triliyun. Secara faktual, dapat terlihat bahwa subsektor perkebunan memegang peran yang penting dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui usaha perkebunan rakyat dan perkebunan besar.
“Oleh karena itu pemerintah akan terus mendorong perkembangan dan pertumbuhan sub sector perkebunan diantaranya melalui perbaikan regulasi,” kata Sabani. (*)