Tak Masuk Prolegnas 2020, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Menuai Sorotan
KLIKSAMARINDA – Badan Legislasi (Baleg) DPR, Menteri Hukum dan HAM Yasonna F. Laoly, dan Panitia Perancang Undang-Undang (UU) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sepakat mengurangi 16 RUU dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas ) Prioritas Tahun 2020, termasuk RUU PKS, yang sebelumnya dibahas di Komisi VIII.
“RUU PKS ditarik (dari Prolegnas Prioritas 2020.red) karena pembahasannya agak sulit. Kami menarik dan sekaligus mengusulkan yang baru yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia,” kata Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang kepada wartawan di DPR beberapa waktu lalu.
Sehari setelah keputusan itu Komnas Perempuan mengeluarkan pernyataan keras yang menyesalkan penundaan pembahasan RUU PKS.
“Penundaan berulang ini dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual,” kata Komnas Perempuan dalam pernyataannya tersebut.
Diwawancarai VOA melalui telepon, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan pihaknya tidak dapat memahami alasan penundaan karena pandemi virus corona membuat pembahasan tidak berlangsung efektif dan “pembahasannya sulit.”
Alasan terakhir ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang.
“Kuat dugaan bahwa memang ada sebagian anggota dewan yang tidak serius atau tidak paham dengan gentingnya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia,” ujar Andy.
Komnas Perempuan dalam pernyataan persnya mengingatkan bahwa pandemi virus corona tidak menyurutkan kasus kekerasan seksual.
Menurut Komnas HAM, selama Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau relasi personal, di mana 24 persen adalah kasus kekerasan seksual. Sementara pada ranah komunitas, kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus di mana 89 peren atau 203 kasus adalah kekerasan seksual.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan melonjak 792 persen atau delapan kali lipat. Angka-angka ini merupakan fenomena gunung es, karena kondisi sebenarnya bisa jadi lebih buruk lagi dan menunjukkan bahwa perempuan Indonesia hidup dalam kondisi yang tidak aman.
Ketua Koalisi Perempuan Indonesia KPI, Mike Verawati Tangka, juga menyampaikan penyesalan serupa.
“(Saya) sudah mencium potensi dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 sejak dua bulan lalu ketika masih saja ada yang menilai RUU ini sebagai produk Barat,” ujar Mike dalam wawancara dengan VOA melalui telepon.
Ia lebih kecewa lagi setelah mengetahui bahwa keputusan itu sebenarnya tidak diambil dalam rapat Komisi VIII. Namun lebih merupakan pernyataan pribadi wakil ketua komisi saja.
Hal ini dibenarkan anggota Komisi VIII dari faksi PDI-Perjuangan Diah Pitaloka.
“Saya juga ingin klarifikasi bahwa itu bukan statement Komisi VIII karena pertama, kita tidak pernah melakukan rapat untuk memutuskan itu. Kedua, itu statement pribadi Pak Marwan yang kemudian dipandang sebagai pernyataan Komisi VIII,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sangat dibutuhkan masyarakat. Belakangan ini, Sahroni sendiri sedang mendampingi proses hukum seorang anak perempuan yang dicabuli oleh ayah kandungnya. Dia mengatakan, para korban kekerasan seksual sangat membutuhkan perlindungan hukum melalui RUU PKS.
“Sikap kami di fraksi juga jelas ya, sahkan RUU PKS tahun ini. Jangan ditunda-tunda lagi. RUU ini sudah ditunggu para korban kejahatan seksual yang selama ini masih harus bersembunyi karena takut, malu, khawatir kena stigma. Nah, kita harus memberikan perlindungan hukum yang maksimal pada mereka,” papar Sharoni dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat 3 Juli 2020.
Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tunda hingga 2021 merupakan salah satu RUU yang memiliki perjalanan panjang. Kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak, yang kian marak mendorong Komnas Perempuan untuk menggagas RUU ini pada 2012.
Setelah berjuang selama hampir empat tahun, pada Mei 2016 DPR meminta Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik yang kemudian dibahas dan dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas pada 2016. Presiden Joko Widodo sendiri menyampaikan dukungannya pada Juni tahun yang sama.
Setahun kemudian RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR yang akan dibahas di Komisi III yang membawahi masalah hukum dan keamanan. Dalam perjalanannya, pembahasan diserahkan ke Komisi VIII yang membawahi agama dan sosial. Draft RUU PKS yang berisi 152 pasal kemudian dikirim ke pemerintah, yang kemudian memangkasnya menjadi 50 pasal.
Sepanjang 2018, Komisi VIII DPR mengundang berbagai elemen masyarakat untuk memberikan pendapat, yang kemudian menuai pro dan kontra.
Sekelompok perempuan pernah membuat petisi menolak RUU PKS, yang mereka sebut sebagai “RUU pro zina” di platform Change.org yang ditandatangani oleh lebih dari 125 ribu orang. Namun beberapa kelompok lain dengan lantang mendorong DPR segera mengesahkan RUU yang dinilai penting di tengah kondisi “darurat kekerasan seksual” itu. Berbagai aksi demonstrasi sempat terjadi di beberapa kota, baik dari kelompok yang mendukung maupun menentang RUU ini.
Pada akhir 2018 DPR memutuskan menunda pembahasan RUU PKS hingga berakhirnya pemilu 2019, dan mulai dikebut kembali pada awal 2020.
Ketua KPI Mike Verawati Tangka mengatakan pihak yang menentang RUU PKS berasal dari dalam dan luar DPR.
“Ada logika yang lompat ketika membahas pasal tentang kekerasan seksual atau perkosaan dalam keluarga, termasuk dalam perkawinan. Lalu dikaitkan dengan dalil kewajiban istri melayani suami. Atau ketika membahas potensi kekerasan di antara sesama jenis, lalu dikaitkan dengan isu LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer) atau melegalkan perkawinan sesama jenis,” ujar Mike kepada VOA.
Selain itu, imbuhnya, ada pihak yang menganggap RUU PKS ini sebagai produk Barat atau mengaitkan dengan agenda kelompok liberal dan kelompok feminis yang ingin mengubah tatanan budaya.
“Saya bingung juga, apakah tidak melihat berita-berita maraknya kekerasan seksual di tengah kita?” ujarnya.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai hal ini mengganggu perhatian para perumus kebijakan yang belum memahami secara utuh persoalan kekerasan seksual, yang bukan sekedar persoalan kesusilaan semata, sebagaimana yang dikonstruksikan dalam KUHP selama ini.
Menurut Andi, RUU PKS dirancang untuk menutupi celah hukum dalam mengatasi kekerasan seksual yang tidak tercantum dalam legislasi yang ada sekarang. Antara lain, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak dan lain-lain.
“Jika saya mencontohkan kasus perkosaan misalnya, ketika korban akan melapor ia juga dibebani pertimbangan apakah pengakuannya akan diakui atau tidak karena latar belakang atau potensi penghakiman pada karakter dirinya, sebagai perempuan bermoral atau tidak,” papar Andy. (*)
Sumber: VOA Indonesia