Jatam Pertanyakan Niat Evaluasi Tambang dari Pemprov Kaltim

KLIKSAMARINDA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mempertanyakan komitmen dan keberanian Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim terkait rencana evaluasi keberadaan tambang di sekeliling kota Samarinda. Rencana evaluasi pertambangan batubara di Samarinda ini muncul karena adanya dugaan penyebab banjir terjadi karena pertambangan batubara.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menyatakan langkah evaluasi itu tidak akan membuahkan hasil. Alasan Jatam Kaltim atas penilaian itu adalah pemerintah kehilangan kewenangan setelah pemerintah pusat menerbitkan UU Minerba yang dinilai tidak memiliki keberpihakan terhadap warga.
Selain itu, persoalan banjir di kota Samarinda, imbuh Pradarma Rupang, karena rusaknya alam di wilayah sekitar kota Samarinda. Saat ini ada ribuan lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa reklamasi, menjadi salah satu persoalan serius yang tak mendapat perhatian dari pemerintah.
Lubang-lubang ini telah menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak, dan berpotensi akan terus bertambah, sebab, tetap dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi dan penegakan hukum.
Bahkan, air di lubang-lubang tambang yang masih dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik warga, termasuk kebutuhan pengairan lahan pertanian dan budidaya perikanan.
Padahal, air di bekas lubang galian tambang itu mengandung konsentrasi aluminium, besi, mangan, juga tingkat pH yang sangat mungkin berdampak pada turunnya produksi tanaman dan budidaya ikan.
Meski kondisinya sudah separah itu, laju reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang yang dilakukan pemerintah justru berbanding terbalik dengan laju produksi dan pembukaan lahan konsesi tambang baru. Semuanya untuk dan atas nama “pembangunan dan pertumbuhan ekonomi”.
Judicial Review terhadap UU Minerba sudah dilakukan Asosiasi Bupati Se-Indonesia saat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda diterbitkan. Saat itu, pemerintah Kabupaten dan kota menggugat hal yang sama tentang kewenangan menerbitkan dan mencabut izin tambang.
“Apakah Pemprov Kaltim berani mempeloporinya? Beranikah Pemprov melakukan Judicial Reviuw terhadap UU Minerba ?” ujar Pradarma Rupang, Kamis 28 Mei 2020.
Selain banjir di kota Samarinda, Jatam Kaltim juga mencatat persoalan lain sejak 2011, yaitu korban meninggal di lubang bekas tambang batubara terus bertambah.
“Saat ini ada 349 lubang bekas galian tambang yang ada di Kota Samarinda, yang hingga saat ini dibiarkan tetap menganga tanpa ada upaya rehabilitasi,” ujar Pradarma Rupang.
Berdasarkan UU Minerba yang telah ditetapkan DPR RI, kewenangan untuk penetapan Wilayah Pertambangan (WP), Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), dan menetapkan luas dan batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) menempatkan pemerintah pusat menjadi atasan dari pemerintah kabupaten/kota.
“UU Minerba telah jelas menyebutkan bahwa kewenangan untuk menerbitkan izin hanya di pemerintah pusat. Ini membuat apapun yang dilakukan terhadap perusahaan di daerah tidak berpengaruh banyak,” ujar Pradarma Rupang.
Padahal, menurut Pradarma Rupang, seharusnya daerah yang memiliki kewenangan mengatur energi, sumber daya, dan mineral di wilayahnya sendiri. Sebab, Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 sudah menyebut bahwa pemerintahan daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan asas otonomi daerah masing-masing.
“Ini tidak adil dan tak selaras sesuai paradigma desentralisasi sebagaimana digariskan Pasal 18A UUD 1945.dan saya rasa adanya UU MInerba apapun yang dilakukan pemerintah propinsi tidak akan berdampak signifikan bagi masyarakat Kota Samarinda apalagi kaitanya dengan penanggulangan banjir,” ujar Pradarma Rupang.
Jatam Kaltim memiliki sejumlah pandangan kritis terhadap sistem dan pola pertambangan di Samarinda dan Kaltim yang bermasalah. Misal menyerobot lahan tani milik warga. Persoalan seperti ini, menurut Jatam Kaltim, tak pernah disentuh pemerintah. Tak ada keberpihakan terhadap warga padahal masyarakat petani sudah sewajarnya mendapatkan perlindungan pemerintah.
Beberapa pasal dalam UU Minerba juga justru dihapus. Misal, pasal 165 dalam UU Minerba, dalam beleid itu disebutkan pejabat berwenang bisa dipidana jika menyalahgunakan kekuasaannya untuk urusan izin. Namun pasal tersebut dihapus. Atau mengenai perpanjangan izin bagi pemilik PKP2B yang bisa otomatis tanpa harus melewati tahapan administrasi.
“Masih ada sejumlah pasal lain yang sangat merugikan. Lalu bagaimana dengan nasib Kaltim, sementara izin begitu banyak,” ujar Pradarma Rupang.
Jatam menilai UU Minerba ini penting demi pengelolaan energi di daerah, terutama di Kaltim dengan luasan menurut izin tambang batubara mencapai lima juta hektare. Data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim izin tambang di Kaltim mencapai 5.137.875,22 hektare atau sama dengan 40,39 persen daratan provinsi ini.
Dari jutaan izin tersebut dibagi menjadi dua, yakni izin usaha pertambangan atau IUP lalu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sebelum UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berlaku di Kaltim, kewenangan penerbitan izin ada di tangan para bupati dan wali kota di Kaltim. Ketika itu ada 1.404 IUP diterbitkan dengan total luas 4.131.735,59 hektare. Sedangkan izin PKP2B datang dari pusat, setidaknya ada 30 PKP2B beroperasi di Kaltim.
Jadi Total luasnya ada 1.006.139,63 hektare. Dari tujuh perusahaan tambang dengan izin PKP2B terbesar di Indonesia, lima di antaranya berada di Kaltim. Pada 2013 lalu, Jatam Kaltim sempat merilis data mengenai IUP di kawasan Samboja, Kutai Kartanegara. Setidaknya ada 90 izin pertambangan di kawasan Samboja. (*)