Kearifan Arsitektur Tradisional dan Mitigasi Bencana dan Covid-19
Penulis
Faizal Baharuddin
KEARIFAN arsitektur tradisional banyak bercerita tentang hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan sampai hubungan manusia dengan sang pencipta serta lebih jauh lagi kearifan arsitektur tradisional memiliki makna dalam upaya mengurangi risiko bencana.
Banyak makna terkandung dari nilai kearifan arsitektur tradisonal di Indonesia, khususnya sistem panggung yang sebagian wilayah Indonesia (dulu Nusantara), rumah tinggal menggunakan sistem panggung serta keberadaan material sejenis kayu sangat melimpah. Berdasarkan artikel Makna Semiotik Struktur Panggung (Faizal, 2018), sejarah rumah panggung terkait ketinggian panggung di bagi dalam 3 periode.
Periode awal, tinggi panggung 10m dengan ciri-ciri belum tersentuh modernisasi, batang pohon, tektonika masih turun-temurun, sistem sambungan alami. Periode tengah, tinggi panggung antara 3m – 10m dimana cirinya masuknya peradaban baru dengan menggunakan sistem sambungan baru dan material kayu modern. Periode akhir, tinggi panggung antara 3 (1m).
Perubahan ketinggian panggung juga tidak bisa terlepas faktor keamanan penghuni rumah, fungsi kolong dan sebagainya. Selain prinsip tersebut, kearifan arsitektur tradisional juga menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungannya.
Nenek moyang kita belajar dari pengalaman mereka hidup bersama dengan alam dan belajar bagaimana memberi dan menerima dari alam. Sistem panggung mulai ditinggalkan ketika ditemukannya material modern (beton, kaca, baja, etc) di awal abad XIX (pasca revolusi industri I). Mulailah pembangunan gedung modern berlantai 1 atau banyak, dimana area tapak tertutup masif (basement) area parkir tanpa resapan, dan mengabaikan hubungan lingkungan dan bangunan sekitarnya.
Adanya fenomena banjir dan covid 19 (new normal) yang tidak dketahui akhirnya, perlu menjadi pertimbangan untuk kembali menggunakan nilai-nilai kearifan arsitektur tradisional pada setiap pembangunan gedung. Salah satu makna filosofi rumah panggung yaitu menjaga keamanan penghuninya, mengatur jarak (GSB, KLB), material ramah lingkungan (resapan), arah bangunan dan lainnya. Semua itu dapat dimaknai sebagai prinsip social distancing dan animal/disaster distancing yang intinya menjaga hubungan bangunan dengan lingkungan (fisik/metafisik).
Terkait banjir; tapak bangunan publik/kapling besar memaksimalkan penggunaan paving/grass block (basement/kolong), mengurangi KDB meningkatkan KDH/RTH, menampung air hujan (bak/biopori),bidang atap dapat menahan aliran air hujan, dll.
Terkait pendemik; pengaturan posisi bangunan, sinar matahari, arah angin, menyediakan ruang/area penghawaan dan cahaya alami agar dapat mengurangi resiko paparan virus/bakteri.
Semua bisa terlaksana dengan adanya kebijakan, kebijakan untuk bangunan baru perlu dicermati hitungan intensitas (KDB, GSB, KLB, KTB, penggunaan material, bidang atap, dll) dalam dokumen tata ruang khususnya RDTR serta menjadi syarat perizinan IMB dan SLF (sertifikat layak fungsi). Bangunan lama (publik/kaplingbesar) perlu kembali dihitung RTH/KDB, menyediakan tampungan air hujan/biopori, dll.
Tulisan ini perlu dikaji lebih mendalam terkait penerapan terhadap bangunan gedung dalam mengantisipasi permasalahan yang akan timbul atau terjadinya new normal dengan mengadopsi kearifan arsitektur lokal. (*)
Penulis adalah Perencana, Praktisi, Peneliti Kota & Arsitektur Kalimantan Timur, Dosen Program Studi Arsitektur UNTAG 1945 Samarinda, Anggota IAI & IAP Kaltim.