Akademisi Hukum Unmul Tolak Pembahasan RUU IKN yang Tidak Partisipatif
KLIKSAMARINDA – Sejumlah akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman melayangkan penolakan terhadap pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Ibu Kota Negara Baru (IKN).
Sejumlah akademisi hukum Unmul ini menolak pembahasan RUU IKN yang disusun dengan tidak partisipatif.
Tak hanya itu, akademisi Fakultas Hukum Unmul juga menolak pembahasan RUU IKN yang tidak memberikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan intelektual daerah.
Sikap akademisi Fakultas Hukum Unmul tersebut menjadi satu dari empat pernyataan sikap yang disampaikan usai Konsultasi publik RUU IKN, Selasa, 11 Januari 2022 kemarin.
Konsultasi publik itu menghadirkan perwakilan akademisi dari seluruh civitas akademika yang ada di Kaltim. Hadir pula Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budisatrio Djiwandono yang mewakili Panitia Khusus (Pansus) IKN.
Selain sikap di atas, ada tiga pernyataan sikap lainnya dari para akademisi Unmul tersebut.
Pernyataan sikap itu antara lain bahwa RUU IKN ini masih sangat tidak layak untuk disahkan menjadi sebuah Undang-undang yang mengikat.
“Bahwa RUU IKN Masih memerlukan pembahasan lebih mendalam dari berbagai aspek dan sejatinya pembahasan akademis adalah pembahasan ilmiah bukan wadah sebagai legitimasi politik sebuah peraturan perundang-undangan,” demikian disampaikan perwakilan akademisi Unmul, Najidah, melalui keterangan resmi, Rabu 12 Januari 2022.
Selain itu, para akademisi Unmul ini memberikan sorotan terhadap pasal-pasal dalam draft RUU IKN yang tengah dibahas di DPR RI.
Antara lain sorotan terhadap Pasal 2. Menurut para akademisi Unmul, pasal 2 tersebut masih memerlukan penjabaran lebih lanjut terkait sistem pemerintahan khusus IKN.
Akademisi Fakultas Hukum Unmul memandang bahwa perlu dilakukan penjabaran dan sinkronisasi atas farsa “pemerintahan khusus” dalam RUU IKN ini dengan UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah.
Sorotan kedua lainnya adalah terhadap Pasal 7 RUU IKN. Pasal tersebut memerlukan penjabara khususnya yang berkaitan dengan legal substance dari rencana induk IKN.
“Jika rencana induk IKN berisi dokumen perencanaan, pengelolaan, dan lain sebagainya apakah dibenarkan didasarkan pada sebuah Peraturan Presiden atau Perpres semata. Bukankah dokumen perencanaan terkait dengan perencanaan wilayah dan rencana pembangunan ditetapkan dalam sebuah UU atau sebuah peraturan daerah?” demikian disampaikan dalam keterangan tertulis tersebut.
Akademisi Fakultas Hukum Unmul juga merasa khawatir akan penetapan ini yang hanya dilakukan berdasarkan Perpres. Akademisi Hukum Unmul menilai rencana induk IKN terlalu memberikan proporsi berlebihan kepada pemerintah atau pihak eksekutif tanpa mendapat kontrol dan pertimbangan dari legislatif sebagai bagian dari masyarakat.
Sorotan juga disampaikan berkaitan dengan isi Pasal 4. Akademisi Hukum Unmul menilai pasal 4 tidak Koheren dengan pasal 11.
“Wewenang dalam pasal 4 akan disebut dalam UU ini. Tetapi justru di pasal 11 memerintahkan kewenangan diatur dalam Peraturan Presiden. Apakah cukup sebuah kewenangan diatur dalam peraturan presiden?”
Pasal lainnya yang disoroti adalah Pasal 11. Pasal ini mengatur struktur organisasi, tugas, wewenang dan tata pemerintahan khusus IKN diatur dalam peraturan presiden.
Akademisi Hukum Unmul menilai wewenang yang diberikan kepada eksekutif sedemikian besar atas sebuah otoritas IKN. Wewenang itu diberikan atas dasar peraturan presiden.
Sementara UU yang ada di atasnya yaitu RUU IKN tidak mengatur dengan rigid kewenangannya.
“Jelas bahwa kewenangan dilakukan berdaskan atribusi dan pelimpahan kewenangan. Badan sebesar Otorita IKN seharusnyamendapatkan legitimasi kewenangan berdasrkan atribusi langsung dari UU atau peling tidak peraturan pemerintah, bukan peraturan presiden,” demikian tertulis dalam rilis itu.
Akademisi Hukum Unmul menilai kebijakan tersebut manampakkan dominasi eksekutif yang luar biasa tanpa sistem kontrol yang jelas. Dalam sistem pemerintahan yang baik, seharusnya ada cek and balance antara eksekutif dan legislatif. Karena itu akademisi hukum Unmul meminta RUU IKN harus jelas mendeskripsikan antara wewenang dan urusan sebab keduanya adalah hal yang berbeda.
Soroti Kewenangan Pemerintah Daerah
Akademisi Fakultas Hukum Unmul juga menyoroti tentang perlu penegasan pada pasal 12 dan seterusnya terkait dengan kewenangan dan urusan.
Para akademisi hukum Unmul menilai perlu adanya sinkronisasi dengan undang-undang pemerintahan daerah. Karena tampak adanya ketidakjelasan sistem pola hubungan antara Badan Otorita, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan daerah penyangga.
Yang perlu dibahas juga dalam RUU IKN antara lain pola hubungan antara otorita IKN dan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang menjadi jantung ritme IKN.
“Selain itu perlu juga dibahas mengenai pola-pola hubungan kewenangan, kewajiban, hak, dan pertanggungjawaban yang akan dapat menjawab IKN ini akan berjalan dengan baik tanpa adanya ketimpangan antar stake holder yang ada.”
RUU IKN ini masih belum jelas dapat menjangkau kegalauan masyarakat Kalimantan Timur akan keberlangsungan hidup dan sumber daya alam yang ada.
Persoalan lainnya yang turut disoroti adalah Pasal 17 terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akademisi hukum Unmul menilai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam RUU IKN masih sangat abstrak untuk bisa dikatakan sebagai sebuah kebijakan.
“Konteks legal drafting pada RUU IKN ini masih harus dibahas lebih mendalam dengan memfasilitasi problematika yang ada di masyarakat.”
Berdasarkan Kaidah Penyusunan Perundang-undangan Fakultas Hukum berpendapat RUU IKN Masih jauh dari kata layak untuk disahkan sebagai sebuah Undang-undang yang akan berpengaruh besar pada hajat hidup orang banyak terlabih adalah menyangkut hajat hidup masyarakat Kalimantan timur.
“Kami mengapresiasi diselenggarakannya konsultasi publik RUU Ibukota Negara di kampus Universitas Mulawarman oleh pansus RUU IKN. Namun sayang konsultasi publik ini tidak serius untuk dilaksanakan.”
RUU IKN adalah RUU dengan substansi yang multidimensi dalam pembahasannya. Sudah seharusnya pembahasan ini dilakukan dengan serius dan komprehensif. Ketidakseriusan Pansus ini terlihat bahwa proses konsultasi publik ini tidak melibatkan representasi unmul secara menyeluruh dimana seharusnya proses penyusunan RUU ini melibatkan akademisi dari berbagai bidang keilmuan sedari awal. Konsultasi Publik ini tidak boleh menjadikan akademisi hanya sebagai legitimasi pada akhir pembuatan kebijakan.
Akademisi Hukum Unmul juga menilai bahwa proses pembahasan RUU IKN tidak memberikan penghargaan kepada ilmu pengetahuan yang direpresentasikan intelektual di wilayah IKN Kalimantan Timur.
“Realitasnya pembahasan RUU IKN ini hanya dilaksanakan di tingkat elit dan segelintir orang tanpa melibatkan lapisan masyarakat bawah di Kalimanatn Timur, termasuk penduduk, masyarakat adat, masyarakat yang terkena dampak serta stake older lainnya. Bahkan draft RUU yang semestinya dibahas dalam konsultasi publik tidak dibagikan secara sistemik sehingga draft menjadi simpang siur dan diragukan otentisitasnya.”
Padahal untuk urusan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan telah diatur dalam pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011
“Draft RUU ini sudah harus dipublikasikan dan diperdebatkan secara luas untuk menyerap aspirasi publik.” (*)