Sastra Kaltim Kurang Porsi Dari Media Siber
KLIKSAMARINDA – Kondisi kekinian kesusastraan di Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi sorotan tajam webinar bertajuk “Menakar Pengaruh Munsi (Musyawarah Nasional Sastrawan) III Bagi Sastra Kaltim-Kaltara” yang digagas Kantor Bahasa Kaltim. Acara ini dihadiri 63 peserta dari berbagai kota di Kaltim dan peserta dari Riau serta Kalimantan Selatan (Kalsel).
Dalam webinar yang berlangsung Senin, 16 November 2020 dengan moderator Aminuddin Rifai dari Kantor Bahasa Kaltim tersebut, ada sejumlah kritik dan gagasan sebagai respon atas kondisi dan perkembangan kesusastraan di Kaltim, setidaknya dalam 2 tahun terakhir. Satu di antara narasumber yang memberikan tilikan tajam terhadap kondisi sastra di Kaltim dalam webinar tersebut adalah sastrawan Kaltim asal Bontang, Sunaryo Broto, yang juga merupakan karyawan Pupuk Kaltim Bontang.
Sastrawan yang masuk nominasi Tokoh Kebahasaan 2019 kategori Penggiat Literasi Kaltim-Kaltara oleh Kantor bahasa Kaltim ini merupakan satu di antara peserta Munsi III dari Kaltim, selain Kartini Hilmatunnida dari Bontang dan Indah Prihatiningsih dari Balikpapan. Sebagai pemateri pertama, Sunaryo Broto menyampaikan sejumlah usulan sebagai tindak lanjut yang mengacu pada rekomendasi Munsi III.
Pertama adalah usulan agar Kantor Bahasa daerah bekerja sama dengan media massa daerah untuk menambah honor bagi penulis karena selama ini tidak ada honor. Selain itu, Sunaryo Broto juga mengemukakan usulan agar kegiatan pemilihan Duta Baca/Duta Bahasa supaya tidak menyerupai lomba atau ajang pemilihan keputrian. Kegiatan itu, menurut Sunaryo Broto, cenderung meminorkan intelektualitas.
“Untuk itu penguasaan terhadap karya sastra akan dijadikan salah satu kriteria penilaian. Syukur mempunyai buku karya,” ujar Sunaryo Broto.
Tak kalah penting, menurut nomine Sastrawan Berdedikasi 2020 peserta Munsi III 2020 ini, pelatihan sastra yang sudah berjalan seperti Gebyar Literasi dan Bengkel sastra bisa dilanjutkan. Kalau perlu dikembangkan. Pun, perlu ditambahkan dengan adanya tindak lanjut pelatihan dengan gelaran Kompetisi tahunan karya sastra (Cerpen, puisi, esai) di Kaltim dan bisa diterbitkan dalam buku.
Hal ini dperkuat dengan usulan agar penghargaan personal yang terlibat pada kegiatan sastra yang sudah jalan bisa tetap dilanjutkan dan kalau perlu dikembangkan. Selain perlu adanya penghargaan tahunan buku sastra (cerpen, puisi dan esai) diadakan. Mirip yang dilakukan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia untuk buku puisi.
“Publikasi kegiatan literasi pada media mainstream dan kantor berita seperti Antara supaya ada gaung literasi. Bukan hanya media sosial. Sehingga memicu sastrawan agar tetap menulis karya pada media apapun dan situasi apapun,” ujar Sunaryo Broto.
Sementara itu, naasumber lainnya, Kartini Hilmatunnida, mengusulkan pengembangan sastra di Kaltim dilakukan dengan penyediaan laman sastra digital. Menurut Kartini Hilmatunnida, pengisian laman sastra digital ini bisa sebulan sekali terbit dengan karya sastra beserta kritik sastra untuk menjaga kualitas. Kartini Hilmatunnida juga menyatakan agar perlu mengoptimalkan sastra untuk penyandang difabilitas dengan alih karya menjadi suara.
Untuk kaderisasi para penulis sastra, Kartini Hilmatunnida menyatakan agar melakukan pelatihan tenaga pendidik dan komunitas sastra.
“Termasuk sastra anak, baik penulis anak maupun dewasa juga sastra daerah,” ujar Kartini Hilmatunnida.
Kartini Hilmatunnida juga menyoroti penghargaan karya sastra di media. Antara lain, kurang publikasi karya sastra dan perlunya kritikus sastra.
“Sastrawan itu menjadi garda terdepan menjaga kebudayaan dan pelopor perubahan,” ujar Kartini Hilmatunnida.
Narasumber ketiga, Indah Prihatiningsih, membicarakan tentang kesan saat mengikuti Munsi III. Antara lain, adanya birokrasi, ajang curhat, hingga pertemuan dengan beberapa tokoh sastra. Selain itu, Indah Prihatiningsih juga mencermati minat baca masyarakat yang bergeser dari buku kepada media digital. Menurut Indah Prihatiningsih, kondisi tersebut menjadi potensi untuk pengembangan sastra di Kaltim ke depan.
“Sebenarnya minat baca sekarang tetap ada. Hanya medianya dari buku ke media digital. Memang perlu ditingkatkan kualitas bacaannya,” ujar Indah Prihatiningsih.
Indah Prihatiningsih menyatakan persetujuannya dengan self publishing (penerbitan mandiri) untuk pemula. Meski begitu, menurut Indah Prihatiningsih, tetap diperlukan kritik sastra.
“Kritikus sastra penting untuk meningkatkan kualitasnya. Saya berharap Kantor Bahasa mempunyai platform sastra untuk karya dan kritik sastra yang bisa diisi oleh para sastrawan atau calon sastrawan. Bukan sekedar situs berita. Selama ini, media di Kaltim juga belum pro sastra karena porsinya sangat kecil. Atau malah tidak ada. Belum masalah honor karya juga tak ada,” ujar Indah Prihatiningsih.
Salah seorang peserta webinar, Syah Kalana dari Kalsel mengemukakan bahwa di Kalsel, iklim sastra lumayan baik, terutama di Banjar Baru. Rutin digelar even sastra seperti Aruh Sastra Kalsel, Banjarbaru Literary Festival, dan lain-lain. Bisa diterapkan di Kaltim dan untuk anggaran bisa diperjuangkan.
Sebagai pembuka Webinar, mewakili Kantor Bahasa Kaltim, Aminuddin Rifai mengutip rekomendasi Munsi III Tahun 2020. Beberapa rekomendasi Munsi III tersebut antara lain:
1. Pengembangan Sastra
A. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain mengoptimalkan ekosistem digital dalam pengembangan sastra di Indonesia.
B. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain mengoptimalkan penerjemahan karya sastra dan distribusinya.
C. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain mengoptimalkan pengembangan sastra untuk penyandang difabel.
2. Pembinaan Sastra
A. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain memperbanyak dan memperluas pelatihan bagi tenaga pendidik dan komunitas sastra.
B. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain membuat senarai buku-buku sastra.
C. Badan Bahasa mengoptimalkan kualitas penyelenggaraan Munsi.
3. Pelindungan Sastra
A. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain meningkatkan pelindungan hak kekayaan intelektual karya sastra serta hak ekonomi dan hak moral karya sastra.
B. Badan Bahasa dan/atau lembaga lain memperkuat keterlibatan penulis sastra dalam penyusunan dan pelaksaan program pelindungan sastra. (*)