Rilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2020 yang dirilis Transparency International (TI) Indonesia menunjukkan lebih dari dua pertiga negara berada di bawah skor 50 , dengan skor rata-rata global 43. TI memberi skor dimulai dari 0 yang berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Peneliti TI Indonesia Wawan Suyatmiko skor tersebut menunjukkan indeks persepsi korupsi global stagnan dalam lima tahun terakhir. Sedangkan Indonesia mendapat skor 37 dengan peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei.
“Skor ini turun tiga poin dari tahun 2019 yang berada di skor 40 dan ranking 85,” jelas Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers daring, Kamis (28/1/2020).
Wawan menambahkan skor dan peringkat Indonesia sama dengan Gambia (negara di Afrika Barat). Kendati demikian, peringkat Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara Asean lainnya seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Laos dan Kamboja. Namun, masih kalah jauh dibandingkan Singapura (skor 85), Brunei Darussalam (skor 60), Malaysia (skor 51), dan Timor Leste (skor 40).
Terdapat sejumlah indikator indeks persepsi korupsi yang membuat skor Indonesia sedikit turun yaitu ekonomi, investasi, kemudahan berusaha, integritas politik dan kualitas demokrasi.
Kajian TI Indonesia juga menyebutkan bahwa korupsi telah menggeser alokasi anggaran layanan publik yang esensial. Itu terlihat dari negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, cenderung mengeluarkan uang lebih sedikit untuk kesehatan. Di samping itu, korupsi juga berkontribusi pada kemunduran demokrasi selama pandemi Covid-19. Negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi merespons krisis dengan cara-cara yang kurang demokratis.
“Kami juga menyerukan bahwa merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik. Pelibatan kelompok masyarakat sipil dan media pada akses pembuatan kebijakan harus dijamin oleh Pemerintah dan DPR agar kebijakan tersebut akuntabel,” tambahnya.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan korupsi tidak hanya terkait dengan pencegahan dan penindakan korupsi. Namun, juga berkaitan dengan elemen-elemen lain dalam demokrasi seperti kebebasan sipil dan kebebasan media. Ia melihat telah terjadi penyempitan ruang bergerak masyarakat sipil pada 2020. Beberapa indikatornya antara lain kriminalisasi warga dan sejumlah undang-undang yang tidak prodemokrasi.
“CPI ini sebagai warning, pengingat tentang kondisi korupsi di Indonesia yang masih harus terus dibenahi. Jadi jangan berpuas diri berapa banyak yang masuk ke penjara,” tutur Bivitri, Kamis (28/1/2021).
Menurut Bivitri, korupsi merupakan bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu perlu ada kontrol, baik dari masyarakat sipil ataupun menguatkan reformasi terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.
Pemerintah Akan Tindaklanjuti Rekomendasi TI Indonesia
Menko Polhukam Mahfud Md meminta TI Indonesia memberikan hasil kajian tentang Indeks Persepsi Korupsi kepada pemerintah untuk dipelajari. Kata dia, pemerintah juga akan menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan TI Indonesia untuk memberantas korupsi. Mulai dari peningkatan pengawasan hingga mempromosikan partisipasi publik.
“Pengawas yang sifatnya fungsional maupun internal. Ya kita perkuat pengawasan itu,” kata Mahfud Md.
Mahfud menambahkan pemerintah telah melakukan sejumlah upaya pencegahan korupsi dengan melibatkan lembaga seperti KPK, BPK dan BPKP. Namun, kebocoran masih kerap terjadi seperti dalam pengadaan barang dan jasa.
Sementara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan indikator penegakan hukum yang menjadi dasar penilaian Indeks Persepsi Korupsi mengalami kenaikan pada 2020. Ini berbeda dengan indikator lainnya seperti ekonomi, politik dan demokrasi.
Menurut Ghufron, hal ini membuktikan bahwa pemberantasan tidak hanya bisa dilakukan oleh lembaga antirasuah saja, melainkan semua pihak.
“KPK tidak bisa sendiri. karena sektor investasi dan ekonomi, politik dan demokrasi itu semua sayap-sayap yang tidak bisa ditopang oleh KPK sendiri,” jelas Nurul Ghufron.
Ghufron menilai perlu ada perbaikan dalam sistem politik untuk memerangi korupsi. Ia juga menyarankan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial melalui saluran-saluran media sosial.
Sumber VOA Indonesia