Di Antara Program FPCF World Bank dan Pembangunan Ibu Kota Negara Baru di Kawasan Tahura Bukit Suharto Kaltim

Bank Dunia telah menetapkan hutan yang ada di Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Suharto, sebagai salah satu kawasan yang akan melaksanakan program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) 2020-2024. Program ini berfokus pada pencegahan deforestasi atau alih fungsi hutan dan degradasi atau perubahan kualitas dan kuantitas hutan.
Program lingkungan itu sejatinya berada dalam lingkaran sejumlah proyek pembangunan pemerintah. Di kawasan Tahura Bukit Suharto, ada pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda. Pun, menyusul kemudian rencana pembangunan Ibu Kota Negara di Kaltim. Rencana pembangunan itu dinilai akan berdampak terhadap eksistensi kawasan Bukit Suharto dalam program Kaltim untuk menurunkan emisi karbon yang berdampak pemanasan global (global warming).

Padahal, Kaltim dinilai telah berhasil dalam menjalankan program penurunan emisi karbon dan meningkatkan kepercayaan dunia bahwa Kaltim mampu menjaga hutannya sebagai paru-paru dunia. Karena itu, beberapa pihak berharap agar IKN di Kaltim dibangun di kawasan yang tidak banyak hutannya. Pasalnya, Kaltim sedang siapkan penurunan emisi karbon melalui program FCPF.
Tinjauan kritis terhadap dinamika di kawasan Bukit Suharto itu datang dari Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim Provinsi Kaltim, Prof. Dr. Daddy Ruhiyat. Menurut Daddy, usai menjadi pembicara dalam Pelatihan Jurnalistik FCPF-Carbon Found, Sabtu 7 Sepember 2019 lalu, soal pindah Ibu Kota Negara ini isu besar. Proyek itu berkaitan dengan deforestasi hutan yang juga merupakan isu besar.

Nah, di sisi lain, FCPF merupakan satu-satunya program di Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Jika program ini gagal, imbuh Daddy, negara global akan membuat opini bahwa Indonesia belum mampu melindungi hutan-hutannya dan akan berdampak pada peningkatan emisi akibat pembukaan lahan. Daddy mengakui, pemerintah belum menetapkan pasti lokasi tempat yang dibangunnya pusat pemerintahan baru. Padahal, proyek ini adalah krusial.
“Ada tahapan-tahapan yang akan dibangun dan itu jika dibangun di lokasi di lahan yang stok karbon rendah tidak signifikan menjadi signifikan kalau itu membuka hutan hutan hutan tropis kita, apakah itu hutan primer maupun hutan sekunder,” ujar Prof. Daddy.
Praktisi lingkungan Kaltim, Abrianto Amin mengatakan, program FCPF yang selama ini didengung-dengungkan Bank Dunia dan Kaltim menjadi salah satu kawasan yang dituntut menjaga hutannya harus diperjelas. Program FPCF merupakan kompensasi. Progam tersebut, menurut Abri, sapaan akrabnya, telah berlangsung sejak 2015 sampai tahun 2020 mendatang. Namun, hingga saat ini, bentuk program itu belum tampak.

Padahal, harga per karbon itu cukup luar biasa dan fantastis sebagai kompensasi atas karbon yang dihasilkan oleh negara-negara maju kemudian ditukar dengan pemeliharaan hutan di Indonesia. Rata-rata menghasilkan sekitar 300 ribu ton per tahun. Namun, potensi itu akan terganggu jika terjadi pembukaan lahan besar-besaran di kawasan hutan di Kaltim, khususnya di kawasan Ibu Kota Negara Baru.
“Harga per karbon itu cukup luar biasa fantastis. Lima dolar dan kita rata-rata menghasilkan itu kalau kondisi sekarang yaitu sekitar 300 ribu ton per tahun. Nah, itu lumayan untuk pembangunan dan pemeliharaan hutan Kaltim. Problemnya ketika ini ditetapkan bukan pada perencanaannya tapi orang-orang yang datang itu yang kemudian mengkapling. Yang paling parah, hutan-hutan dipikir cuma lahan hutan. Padahal ini lahan produksi karbon yang kemudian bisa kita jual,” ujar Abri. (Jie)