Hutan Kemasyarakatan Solusi Legalitas Tambak Tradisional di Pegat Batumbuk
KLIKSAMARINDA – Budi daya udang tambak tradisional telah lama menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat Kampung Pegat Batumbuk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Namun, permasalahan status legalitas lahan tambak yang sebagian besar berada di wilayah mangrove telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan petambak setempat.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, berbagai pihak termasuk Pemerintah Kabupaten Berau, Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Berau Utara, Pemerintah Kampung Pegat Batumbuk, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) telah berkolaborasi untuk mencari solusi yang berkelanjutan.
Kampung Pegat Batumbuk memiliki luas wilayah administrasi sebesar 30.132 hektare, dengan sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan Hutan Produksi.
Kondisi ini bertentangan dengan praktik budi daya tambak tradisional yang telah berlangsung sejak lama.
Untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat, pada tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Keputusan yang mengubah status 11.180 hektare lahan di Pegat Batumbuk menjadi Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa.
Pengelolaan lahan ini kemudian dimandatkan kepada Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Pegat Batumbuk.
Selanjutnya, pada tahun 2023, Pemerintah Kampung Pegat Batumbuk mengambil langkah proaktif dengan mengajukan usulan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 1.050 hektare untuk wilayah tambak yang pemiliknya berdomisili di kampung tersebut.
Meskipun kedua upaya ini telah memberikan manfaat besar bagi masyarakat, Kepala Kampung Pegat Batumbuk, Alimuddin, mengakui bahwa masih ada tantangan yang harus dihadapi.
“Kami sangat berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan dalam implementasi Hutan Desa dan TORA,” ujar Alimuddin pada 14 September 2024.
“Namun, kami merasa upaya tersebut masih belum mampu mengakomodir seluruh tambak yang saat ini jumlahnya kurang lebih 600 petak dengan rata-rata luas setiap tambak 10 hektare dan merupakan sentra produksi udang windu, bandeng, dan kepiting bakau di Kabupaten Berau,” ungkapnya menambahkan.
Menanggapi situasi ini, KPHP Berau Utara berupaya mencari jalan tengah untuk melegalkan pengelolaan tambak yang sudah terlanjur dibuka di dalam kawasan hutan negara di Kampung Pegat Batumbuk, namun berada di luar area Hutan Desa dan TORA.
Kepala KPHP Berau Utara, Najib, menyatakan bahwa Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan dapat menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi.
“Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan dapat menjadi solusi dari apa yang kita hadapi sekarang,” jelas Najib. “Sosialisasi ini bermaksud untuk memfasilitasi pengusulan Hutan Kemasyarakatan agar praktik budi daya tambak tradisional ini menjadi legal untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan.”
Najib menekankan pentingnya pengelolaan tambak yang ramah lingkungan, menambahkan bahwa rasa nyaman dan aman bagi masyarakat untuk mengelola tambak secara legal sangatlah penting.
“Apalagi dapat memberikan nilai ekonomi lebih bagi masyarakat. Namun, pengelolaan tambak ini harus dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Ini adalah wujud kehadiran negara memberikan rasa adil kepada masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam dengan tetap menggunakan prinsip keberlanjutan,” terangnya.
Praktik budi daya udang di tambak tradisional sangat bergantung pada daya dukung lahan sekitarnya, terutama ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati.
Menyadari hal ini, YKAN bersama mitra telah mengembangkan metode akuakultur berkelanjutan yang disebut Shrimp-Carbon Aquaculture (SECURE).
Gunawan Wibisono, Manajer Hubungan Pemerintahan YKAN untuk Berau, menjelaskan, “Pendekatan ini bertujuan meningkatkan ketahanan pesisir dengan mengembalikan ekosistem mangrove hingga 80% dari total area tambak dan mengoptimalkan area yang tersisa untuk praktik budi daya tambak udang berkelanjutan, serta mampu memberikan produktivitas yang optimal.”
Lebih lanjut, Gunawan menekankan bahwa implementasi Perhutanan Sosial dapat meningkatkan konsolidasi sumber daya penganggaran dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten Berau, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan sumber pendanaan lainnya seperti pendanaan karbon.
Hal ini memungkinkan terjadinya sinergi pentahelix para pihak yang bergerak di lokus yang sama.
Keberadaan Perhutanan Sosial di Pegat Batumbuk juga diharapkan dapat memperkuat pengelolaan KPHP Berau Utara untuk disinergikan dengan Integrated Area Development (IAD) yang sudah dikembangkan sebelumnya di bentang daratan Segah.
Dengan adanya sosialisasi Hutan Kemasyarakatan ini, diharapkan dapat memberikan solusi terhadap kekhawatiran petambak di Pegat Batumbuk, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta tetap menjaga kelestarian alam.
Inisiatif ini merupakan langkah penting dalam menyeimbangkan kebutuhan ekonomi masyarakat dengan pelestarian lingkungan.
Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, Hutan Kemasyarakatan di Pegat Batumbuk dapat menjadi model pengelolaan sumber daya alam yang menguntungkan semua pihak, sekaligus menjaga kekayaan ekosistem mangrove yang vital bagi keseimbangan lingkungan pesisir Kalimantan Timur. (*)