Dampak Dispensasi Kawin di Samarinda Perlu Kajian
KLIKSAMARINDA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3PA) Kota Samarinda mencatat jumlah pengajuan dispensasi kawin mencapai angka 93 orang pada 2022.
Dispensasi kawin atau dispensasi nikah merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau istri yang belum memenuhi syarat usia kawin atau nikah secara hukum negara.
Syarat usia kawin tercatat pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan. Dalam aturan itu tercantum, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria berusia minimal 19 tahun dan pihak wanita minimal 19 tahun.
Bagi warga yang telah memenuhi syarat usia perkawinan, maka perkawinan dapat dilaksanakan. Namun bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia, perkawinan dapat dilaksanakan jika ada penetapan Pengadilan melalui dispensasi kawin sesuai peraturan perundang-undangan.
Untuk mengatur dispensasi kawin, Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Peraturan Mahkamah Agung ini ditetapkan pada tanggal 20 November 2019 dan diundangkan pada tanggal 21 November 2019.
Namun, pemberian dispensasi kawin itu tetap memerlukan pertimbangan dengan melihat dampak terhadap anak yang menikah di usia dini pada masa yang akan datang. Hal itu disampaikan Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti.
Sri Puji Astuti menyatakan, pertimbangan yang perlu digarisbawahi adalah dampak menikah usia muda. Dampak menikah di bawah batas usia yang ditetapkan, antara lain, akan berkaitan dengan kemandirian ekonomi, mental, dan kondisi kesehatan anak.
“Karena mereka ini belum siap semuanya. Baik ekonomi, mental, dan kesehatan. Jika nanti tetap menikah, mereka akan menjadi beban keluarga, beban masyarakat juga,” ujar Sri Puji Astuti, Rabu 8 Februari 2023.
Lebih jauh, Sri Puji Astuti menyatakan turunan dari dampak pernikahan usia dini itu, khususnya dampak ekonomi, akan menjadi faktor pemicu persoalan sosial anak. Misal, anak yang lahir bisa kurang gizi hingga kemiskinan.
“Anak yang dilahirkan bisa mengalami stunting. Bisa juga keluarga mengalami kemiskinan struktural,” ujar Sri Puji Astuti.
Sri Puji Astuti memberikan catatan bagi orang tua anak dan pihak penegak hukum dalam hal ini pengadilan sebelum memberikan dispensasi kawin.
“Perlu ketegasan dari pihak Kementerian Agama dan Pengadilan Agama agar anak yang mengajukan dispensasi karena bermasalah tidak serta merta dinikahkan, tetapi ditangani,” ujar Sri Puji Astuti.
Selain itu, kepada pihak orang tua, agar turut serta membimbing anak-anaknya sehingga betul-betul siap baik secara mental maupun ekonomi untuk menikah.
Selain berpotensi terhadap permasalahan sosial, Sri Puji Astuti juga menyatakan bahwa anak di bawah umur masih memerlukan perlindungan, terutama dari faktor kekerasan dan pelecehan. Peran tersebut ada di tangan orang tua. (Adv/DPRDSamarinda)