Cerai Gugat di Kaltim Lebih Seribu Kasus
KLIKSAMARINDA – Kasus cerai gugat di Kalimantan Timur (Kaltim) meningkat pada tahun 2020. Data Pengadilan Agama Kaltim menyebutkan kasus cerai gugat sebanyak 1.058 kasus. Sementara kasus cerai talak mencapai 358 kasus.
Menanggapi tingginya kasus gugat cerai di Kaltim tersebut, Plt Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim (DKP3A) Kaltim Zaina Yurda mengatakan, perempuan di Kaltim lebih banyak menuntut cerai daripada laki-laki dengan berbagai alasan. Menurut Zaina Yurda, alasan ekonomi merupakan salah satu alasan dominan dari kasus cerai gugat tersebut.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online (Simfoni PPA) Tahun 2020, terjadi kasus kekerasan di Kaltim sampai dengan bulan Agustus sebanyak 291 kasus. Angka perceraian pun meningkat, menurut data dari Pengadilan Agama Kaltim kasus cerai gugat sebanyak 1.058 kasus dan kasus cerai talak 358 kasus.
“Artinya bahwa perempuan lebih banyak yang menuntut cerai dari pada laki-laki dengan berbagai alasan, namun yang paling banyak alasannya adalah karena faktor ekonomi. Sehingga peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam kondisi pandemi seperti ini dituntut untuk memiliki peran yang lebih besar dan mampu beradaptasi di berbagai situasi,” ujar Zaina Yurda saat Seminar Peningkatan Kualitas Keluarga Tahun 2020 dengan tema Perjuangan Perempuan di Era Tatanan Baru (New Normal), di Ruang Rapat Tepian I Kantor Gubernur Kaltim, Selasa 15 Desember 2020.
Karena itu, DKP3A Kaltim menggelar seminar ini agar seluruh pihak memahami pembangunan memerlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, kuat dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan dinamika kehidupan.
Menurut Zaina Yurda, sebagai negara yang besar dan dengan jumlah penduduk yang besar pula, titik berat pembangunan tidak hanya pada satu sektor saja, tetapi pada berbagai segi kehidupan serta harus memperhatikan pula kualitas penduduknya.
Khususnya pada masa pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, beban keluarga menjadi lebih besar dan kompleks, di satu pihak pengeluaran bertambah sedangkan banyak kepala keluarga tidak bekerja lagi terkena di PHK, anak sekolah harus belajar di rumah, sehingga rumah menjadi tempat berkumpul seluruh keluarga.
“Dengan demikian di perlukan peran perempuan atau ibu untuk membantu mencari jalan keluar dari masalah tersebut terutama untuk mengatasi kebutuhan sehari-hari,” ujar Zaina Yurda. (*)