PWYP Indonesia Pertanyakan PP Nomor 25 Tahun 2024
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat menjadi ancaman sekaligus hambatan dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia.
PERNYATAAN tersebut disampaikan Aryanto Nugroho dalam diskusi bertajuk “PP 25 Tahun 2024: Hambatan bagi Transisi Energi?” yang diselenggarakan Rabu 19 Juni 2024, Jakarta Pusat.
Dia menegaskan, sejumlah pasal menjadi penghambat transisi energi dalam beleid tersebut. Diantaranya, pasal 83A terkait dengan pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan. Juga, penghapusan kata “tahunan” terkait kewajiban pelaporan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB). Di antaranya Pasal 22, Pasal 47, Pasal 120, Pasal 162, Pasal 177, Pasal 180, dan Pasal 183.
“Sudah banyak kritik untuk Pasal 83A ini. Diantaranya karena bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba dimana prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba juga menyebutkan bahwa pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah,” katanya, dalam rilis resmi kepada Klik Samarinda.
“Selain itu terlalu banyak risiko yang sepertinya Pemerintah tidak siap untuk mengimplementasikan pasal ini, mulai dari resiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, risiko teknis pertambangan, resiko lingkungan, resiko akan adanya potensi konflik horizontal, risiko konflik kepentingan, resiko korupsi dan
lain-lainnya,” timpal Aryanto Nugroho.
Dia mengungkapkan, pemberian prioritas penawaran WIUPK kepada ormas keagamaan dianggap akan memicu peningkatan produksi batubara yang semakin tidak terkendali, dan pada akhirnya menghambat transisi energi di Indonesia. Semangat eksploitasi dalam PP tersebut sangat kontradiktif dengan posisi Indonesia yang kini tengah mengejar capaian transisi energi.
Dalam 3 tahun terakhir, Pemerintah dianggap gagal mengendalikan produksi Batubara sebagaimana yang dimandatkan dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dimana produksi produksi batu bara dibatasi maksimal sebesar 400 juta ton mulai 2019.
Bahkan, pada awal tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyetujui RKAB tahun 2024-2026. Sumbernya berasal dari 587 permohonan, dengan jumlah tonase produksi batu bara yang disetujui mencapai 922,14 juta ton pada 2024, 917,16 juta ton pada 2025, dan 902,97 juta ton pada 2026. “Angka tersebut belum termasuk jumlah potensi produksi tambang batu bara dari IUP yang saat ini masih berstatus eksplorasi maupun badan usaha milik ormas keagamaan yang merupakan implementasi beleid bermasalah ini,” ungkap Aryanto Nugroho.
Di satu sisi, beleid yang menghapus kata “tahunan” terkait kewajiban pelaporan RKAB di antaranya Pasal 22, Pasal 47, Pasal 120, Pasal 162, Pasal 177, Pasal 180, dan
Pasal 183 PP 25/2024. Padahal, RKAB merupakan dokumen penting sebagai landasan monitoring dan evaluasi kegiatan usaha pertambangan setiap tahunnya. Dengan ditiadakannya RKAB tahunan, maka dapat berimplikasi serius terhadap tata kelola pertambangan di Indonesia. Makanya, eksploitasi batu bara tak terkendali menjadi ancaman bagi transisi energi.
“Bayangkan, Perpres (RUEN) membatasi (produksi batu bara) 400 juta ton dan sekarang sudah 900 juta ton, itu sudah mengancam transisi energi. PP ini, jika diimplementasikan, dapat memicu produksi batubara hingga 1 miliar ton per tahun. Belum lagi, dengan pembahasan dan persetujuan RKAB yang tidak transparan dan ada risiko korupsi,” ucapnya.
“Seharusnya, pemerintah melakukan moratorium izin pertambangan. Bukan memberikan konsesi kepada ormas keagamaan. Karena urgensi hari ini adalah moratorium izin usaha pertambangan,” tukas Aryanto Nugroho.
Sebagai informasi, dalam diskusi ini, hadir sejumlah narasumber. Diantaranya Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPPI) Resvani, perwakilan Koalisi #BersihkanIndonesia Fajri Fadhilah, dan Koordinator
Pokja 30 Kalimantan Timur (Kaltim) Buyung Marajo. (re)