Penduduk Miskin Kaltim Berkurang 0,10 Persen
KLIKSAMARINDA – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kaltim merilis data kemiskinan penduduk di Kaltim hingga Maret 2021. BPS Kaltim mencatat jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur pada Maret 2021 sebanyak 241,77 ribu (6,54 persen).
Jumlah itu mengalami penurunan 2,22 ribu orang dari September 2020 sebanyak 243,99 ribu (6,64 persen). Presentase itu menempatkan Kaltim di level 7 dan belum mencapai standar kemiskinan nasional yaitu 10,14 persen, Kaltim berada setelah Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau.
“Persentase Penduduk Miskin pada Maret 2021 sebesar 6,54 persen turun dibandingkan kondisi September 2020 yang sebesar 6,64 persen. Dan meningkat 0,44 persen poin dibanding Maret 2020 yang sebesar 6,10 persen. Berarti jumlah penduduk miskin secara absolut berkurang dari September 2020. Secara persentase turun 0,10 persen poin,” ujar Kepala BPS Provinsi Kaltim, Anggoro Dwithjahyono melalui rilis virtual, Kamis 15 Juli 2021.
Anggoro Dwithjahyono menambahkan, selama September 2020-Maret 2021, garis kemiskinan (GK) naik sebesar 2,90 persen, yaitu dari Rp669.622,- per kapita per bulan pada September 2020 menjadi Rp689.035,- per kapita per bulan pada Maret 2021.
Periode September 2020 – Maret 2021, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 1,031 pada keadaan September 2020 menjadi 1,223 pada keadaan Maret 2021. Indeks Keparahan Kemiskinan juga naik dari 0,293 menjadi 0,337 pada periode yang sama.
Pada Maret 2021, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur dengan Gini Ratio tercatat sebesar 0,334. Angka ini mengalami penurunan 0,001 jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2020 yang sebesar 0,335.
Pada Maret 2021, distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah sebesar 20,50 persen. Artinya pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Angka ini naik sebesar 0,17 persen poin dibandingkan angka September 2020.
Anggoro Dwithjahyono juga menerangkan, untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach) dari Handbook on Poverty and Inequality: The World Bank, 2009.
“Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan),” ujar Anggoro Dwithjahyono.
Anggoro Dwithjahyono menegaskan faktor makanan menjadi kunci penting penentu tingkat kemiskinan. Karena itu, perlu diwaspadai sektor-sektor yang dapat memicu peningkatan harga makanan karena bisa berdampak terhadap konsumsi dan tingkat kemiskinan warga. (*)