Mengadopsi Filosofi dan Cara Agrowisata: Franziscus dan Mina Wisata Technopark
Catatan Perjalanan oleh Diddy Rusdiansyah
Pagi itu, kami berada di Samberembe, Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Di sana, ada Franz, begitulah dia biasa dipanggil oleh koleganya sesama petani.
Bersama 43 orang anggota kelompok tani, Franz mampu mengembangkan Kawasan Mina Wisata Technopark.
Kawasan Mina Wisata Technopark ini memiliki hamparan lahan padi yang dikelola seluas 3,5 hektare.
Masing-masing hamparan terpisah dalam jarak yang tidak berjauhan. Pengelolaan hamparan lahan ini memanfaatkan aliran air dengan pasokan stabil sepanjang tahun.
Kami berkunjung ke Mina Wisata Technopark ini pada 12 Mei 2023. Kunjungan ini difasilitasi Mugiyanto, seorang praktisi pertanian hortikultura. Mugiyanto sukses mengembangkan kelengkeng kateki dan pola kemitraan pertanian dengan memanfaatkan lahan tidur.
Tujuan kunjungan kami dalam rangka studi komparasi untuk menjadikan lahan UPTD Balai Benih Induk Tanaman Pengan & Hortikultura (BBI TPH) sebagai Agrowisata (+ Education Park).
Khususnya untuk pengembangan BBI Padi di Rempanga, Kecamatan Loa Kulu, yang relevan untuk belajar dan mengadopsi tata kelola agrowisata di Mina Wisata a la Franz ini.
Di kawasan Mina Padi, Franz yang bernama lengkap Franziscus ini, mampu menggombinasikan lahan untuk produksi sekaligus menjadi obyek wisata. Antara lain, berupa penyediaan view untuk photo spot serta gazebo untuk sekedar menikmati suasana alami hamparan sawah.
Yang menjadi pilihan sistem tanam di sana adalah jajar legowo “mina padi” atau “mina hortikultura”. Sistem ini berupa kombinasi antara tanaman padi dengan ikan atau udang yang disingkat ugadi (udang–padi).
Idealnya, jarak penanaman antar benih padi, baik sisi baris atau banjar adalah 20 cm. Sehingga pilihan jajar legowo 2:1 (2 baris : 1 kolom) atau 4:1 atau 6:1 akan berdampak terhadap hilangnya luasan lahan penanaman padi/hortikultura sebanyak 20 % dari total lahan yang ada.
Oleh Franziscus, untuk mengatasi hal ini, dilakukan dengan cara mengalihkan bibit padi/hortikultura yang seharusnya ditanam pada kolom terbuka, digeser ke kiri dan kanan kolom. Cara ini membuat jarak bibit tersebut pada setiap banjar sehingga hanya berjarak 10 cm.
“Oleh karenanya, kehilangan potensi 20 % lahan untuk kolom terbuka tadi dapat terkompensasikan, Artinya, secara riel jumlah produksi tidak berkurang. Namun sebaliknya mendapatkan tambahan penghasilan dari budidaya ikan/udang (mina),” kata Franz.
Kolom terbuka ini dimanfaatkan sebagai tempat budidaya ikan atau udang dengan kedalaman yang disesuaikan kebutuhan.
Untuk udang rata-rata 20 cm, dengan kedalam kolam induk 80–100 cm. Sedangkan untuk bibit ikan, rata-rata 5–10 cm.
Kedalaman kolam induknya cukup berkisar 30 cm. Debit dan rotasi air secara berkala tetap dijaga kestabilannya.
Franz menerangkan, rata-rata produksi padi per hektare di sana mencapai 10 ton, sehingga dapat dibayangkan berapa hasil didapatkan anggota kelompok tani, baik dari hasil produksi padi, budidaya mina ikan/udang, dan wisata alam.
Konsep seperti ini yang akan ditiru UPTD BBI TPH, namun tetap akan dilakukan modifikasi sesuai kondisi yang ada. Hal yang lebih penting lagi adalah penggunaaan pupuk kimiawi yang minim karena adanya kombinasi dengan pupuk organik. (*)
Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Staf Ahli Gubernur Kaltim Bidang Reformasi Birokrasi dan Keuangan Daerah, Diddy Rusdiansyah Anan Dani bersama selama unsur Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura, termasuk UPTD BBI TPH, BPAKD, Dinas PUPR & Pera serta Biro Ekonomi Setdaprov Kaltim, 12-15 Mei 2023.