Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Bupati Edi Damansyah Soal UU 10 2016
KLIKSAMARINDA – Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) periode 2021-2026, Edi Damansyah, menguji Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016.
Bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: n. Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.
Menurut Bupati Edi Damansyah, jika permohonan pengujian materil ini dikabulkan oleh Mahkamah dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan frasa “menjabat” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai “menjabat secara definitif”, maka Bupati Kukar tersebut memiliki hak konstitusional untuk mendaftarkan kembali sebagai calon bupati Kukar pada Pilkada 2024 tidak akan hilang atau akan terhalangi.
Bupati Edi Damansyah menguji secara materiil Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Ia mendalilkan kehilangan hak konstitusional yang dberikan oleh UU dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Edi Damansyah menilai Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada dapat dimaknai bahwa Pemohon telah melalui masa jabatan Bupati selama dua periode berturut-turut dari 2016 – 2021 dan dari 2021 – 2026.
Berdasarkan UU Pilkada dapat dimaknai Pemohon telah terhitung selama satu periode pada tahap pertama (2016 – 2021) karena lebih dari 2,5 tahun menjabat sebagai Plt dan definitif sebagai Bupati (dihitung sekaligus 2 tahun, 10 bulan, 12 hari).
Kemudian pada tahap jabatan Bupati yang kedua tahun 2021 – 2026/2024) juga telah terhitung satu periode, karena telah melalui masa jabatan 4 atau 5 tahun.
Sehubungan dengan permohonan Pemohon dalam perkara ini, agar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada untuk pembatasan masa jabatan kepala daerah selama 2 periode hanya berlaku pada pejabat kepala daerah definitif, tidak berlaku pada jabatan kepala daerah Plt.
Pemohon mengatakan, seorang wakil bupati dalam statusnya yang kemudian diangkat sebagai Plt Bupati, kemudian diangkat lagi sebagai Bupati definitif, akan tetap dapat memenuhi dua periode sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, sepanjang masa jabatan Bupati definitifnya memenuhi masa 2,5 tahun atau lebih.
Tidak juga dalam keadaan tersebut, berpotensi akan tercipta pejabat kepala daerah seumur hidup, ataupun prinsip demokrasi menjadi pemerintahan yang berdasarkan pewarisan (keturunan), dikarenakan untuk jabatan Plt.
Kepala daerah pun dapat dilakukan pembatasan untuk jabatan yang sama sebagai wakil kepala daerah dalam ihwal hendak mendaftar lagi sebagai calon wakil kepala daerah.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “menjabat” dinyatakan hanya berlaku untuk yang menjabat sebagai Bupati definitif dan tidak termasuk untuk yang menjabat sebagai Plt. Bupati.
Namun, MK menolak gugatan Bupati Edi Damasnsyah itu. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan nomor 2/PPU-XXI/2023 terkait pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Putusan terhadap gugatan yang dilayangkan Bupati Kukar Edi Damansyah tersebut dibacakan Ketua MK dalam sidang yang diselenggarakan di Kantor MK di Jakarta dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Selasa 28 Februari 2023, di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa 28 Februari 2023 lalu.
Bupati Edi diwakili oleh Muhammad Nursal, advokat dan konsultan hukum di Kantor Hukum Nursal and Partner.
Mengutip dari laman resmi MK, dinyatakan bahwa MK menegaskan yang dimaksudkan dengan masa jabatan kepala daerah yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.
Demikian pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) periode 2021-2026 Edi Damansyah.
“Pemohon mempersoalkan hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak tegas dan tidak konkretnya suatu undang-undang yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada karena terdapat keadaan kekaburan norma yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi karena pemahaman dan pemaknaan yang berbeda. “Kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan “masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun pejabat sementara sebagaimana didalilkan oleh pemohon,” ujar Arief Hidayat saat pembacaan putusan.
Dalam sidang pengucapan putusan tersebut, Arief mengatakan berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah, MK dalam putusannya antara lain Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 17 November 2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan, yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan ”….setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan”.
Artinya, sambung Arief, jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga pemohonan pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menjabat secara definitif” dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum putusan tersebut.
“Dengan demikian, berdasarkan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan kembali dalam putusan 67/PUU-XVIII/2020, makna kata ‘menjabat’ dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Sehingga, kata ‘menjabat’ adalah masa jabatan yang dihitung satu periode yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari satu masa jabatan kepala daerah,” ujar Arief.
Dengan demikian, sambung Arief, berdasarkan pertimbangan hukum dan amar putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut.
Sehingga berdasarkan seluruh pertimbangan hukum, kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil Walikota adalah tidak bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama.
Selain itu, tidak bertentangan dengan prinsip setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama di pemerintahan sebagaimana termaktub pula dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan hak dan kebebasan setiap orang untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis yang termaktub dalam Pasal Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Simak pembacaan putusan atas gugatan Bupati Edi Damansyah di MK pada video Youtube Kanal MK di bawah ini.
(*)