News

Echo Chamber Effect Menuju Kode Etik Jurnalistik di Tengah Pemilu

KLIKSAMARINDA – Bambang Harymurti (BHM), tokoh Dewan Pers dan anggota Dewan Pers periode 2007-2010 dan Wakil Ketua Dewan Pers periode 2010-2013, memberikan gambaran kekinian terkait dunia jurnalistik di Indonesia. Terutama, ketika dunia pers yang harus menghadapi gempuran informasi di ranah media sosial. Apalagi pada saat kontestasi politik praktis dalam pemilihan umum, seperti ketika Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 lalu.

Ia menerangkan, ketika itu telah terjadi Echo Chamber Effect (efek ruang gema). Fenomena Echo Chamber Effect menggambarkan pengguna media sosial yang berada di lingkungan pertemanan media sosial yang ditautkan dengan pikiran serupa. Pikiran yang dilontarkan segera mendapat dukungan dari rekan dan terus berulang hingga dia seolah percaya bahwa inilah fakta yang terjadi. Padahal, di ruang itu, pengguna media sosial hanya mendengar apa yang diteriakkan tanpa mau tahu kondisi nyata. Jika dalam pemilu, dapat diartikan populer dan didukung di media sosial (ruang gema) belum tentu terpilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Ruang gema ini membuat seseorang percaya karena pertemanan yang dijumpai di linimasa berpikir hal yang sama. Dampaknya, muncul internet filter bubbles atawa kelompok-kelompok massa yang homogen di media sosial yang memilih pertemanan. Informasi yang beredar hanyalah yang berkaitan dengan seseorang tanpa memverifikasi dan mengkajinya lebih dalam. Fenomena ini juga tak terlepas dari peran pemain baru di jagat maya, yaitu buzzer. Tak semua, menurut BHM, buzzer berperilaku buruk dalam menyebarkan informasi. Ada pula yang berperilaku baik. Namun, publik tetap perlu mengkaji informasi yang disebarluaskan agar memperoleh kebenaran dengan tetap memelihara pemikiran kritis.

Pun, begitu dengan dunia jurnalisme di tengah arus informasi tersebut. Pangkal soal itu berpengaruh terhadap kontestasi politik praktis. Di Indonesia, misal, ketika Pemilihan Presiden, terjadi polarisasi dua kubu calon yang diturunkan pada para pendukungnya yang kerap disebut cebong dan kampret. Dampaknya pun, memberikan tautan terhadap peran jurnalis dan jurnalistik dalam kancah politik (praktis) pada pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Eksekutif, di era internet.

Yang menjadi tantangan bagi para jurnalis dalam kondisi tersebut adalah terbunuhnya pemikiran kritis jurnalis dalam menghadapi dunia yang terpisah atau terbelah akibat politik praktis. Kondisi itu tak terlepas dari tiga momentum antara lain persiapan pemilu, pelaksanaan pemilu, dan pasca pemilu. Pers berada di tengah kancah itu.

Pemaparan BHM itu muncul dalam Workshop “Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019” Kamis, 3 Oktober 2019 di Hotel Bumi Senyiur, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Tak hanya itu, BHM juga mencermati tingkah publik pasca pemilihan yang menurutnya menjadi pihak yang perlu diperhatikan oleh para penggiat jurnalistik di tahun politik. Apalagi menjelang pemilihan serentak kepala daerah yang akan berlangsung pada 2020 mendatang, termasuk di beberapa kabupaten dan kota di Kaltim.

Kutipan singkatnya adalah: “Sebetulnya, publik itu tidak terlalu menyalahkan wartawan dalam hal terjadinya dunia yang terpisah dan penuh fake news ini. Mereka menyalahkan politisi dan lainnya. Tetapi yang menarik, walaupun ada juga yang disalahkan. Biasanya jurnalis yang independen itu disalahkan oleh semua, karena oleh kampret dianggap cebong dan oleh cebong dianggap kampret, karena kritis terhadap dua-duanya,” ujar BHM.

Jika terjadi persoalan dalam menjalankan peran jurnalistik, BHM singkat berkata, “kembali ke Kode Etik Jurnalistik.” (*)

Check Also
Close
Back to top button
DMCA.com Protection Status