Pernyataan Bersama Empat Lembaga: Revisi UU TNI Langkah Mundur Demokrasi dan HAM

KLIKSAMARINDA – Empat lembaga masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama pada Minggu, 16 Maret 202, menolak dengan tegas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyatakan penolakan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “kejahatan legislasi” dalam pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup.
Pernyataan bersama yang dirilis empat lembaga usai diskusi daring di kanal Youtube KIKA tersebut menegaskan bahwa revisi UU TNI yang tengah dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR-RI bersama Pemerintah dinilai inkonstitusional, berpotensi melanggengkan pelanggaran HAM, dan mengancam kebebasan akademik.
“Revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” demikian bunyi pernyataan tertulis bersama empat lembaga tersebut.
Enam Alasan Penolakan Revisi UU TNI
Empat lembaga ini menyampaikan sedikitnya enam alasan kuat mengapa revisi UU TNI perlu ditolak.
Pertama, revisi UU TNI dinilai akan mengembalikan peran TNI ke dalam fungsi sosial politik bahkan ekonomi-bisnis seperti masa Orde Baru.
Pandangan ini diperkuat dengan adanya kekhawatiran bahwa pembahasan revisi UU TNI akan menghasilkan kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil.
Kedua, revisi UU TNI dianggap mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
Draf revisi dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).
Ketiga, empat lembaga tersebut menekankan bahwa impunitas akan mempengaruhi tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi.
Hal ini berpotensi menciptakan tekanan terhadap masyarakat untuk tidak menyuarakan pendapat kritis, yang seharusnya bertujuan untuk memastikan Indonesia tetap berjalan sesuai nilai konstitusional, HAM, dan demokrasi.
“Dampak impunitas juga berpengaruh terhadap kekuatan politik yang ada, di mana aktor-aktor politik yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki posisi kekuasaan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan keputusan yang bias,” tegas pernyataan tersebut.
Keempat, revisi UU TNI dikhawatirkan akan melemahkan profesionalisme militer. Ada potensi pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil, yang ditandai dengan sejumlah perubahan kebijakan, seperti perpanjangan masa pensiun, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif, dan pembukaan ruang campur tangan TNI ke wilayah politik keamanan negara.
Kelima, impunitas juga dinilai akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap situasi kebebasan akademik di Indonesia.
Kekhawatiran ini muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya terkait “sweeping” buku-buku kiri, pembubaran diskusi berkaitan isu Papua dan keamanan nasional, serta berbagai tindakan represif lainnya yang memperburuk situasi kebebasan akademik.
Keenam, empat lembaga tersebut mempersoalkan alasan DPR dan pemerintah yang menggelar rapat pembahasan RUU TNI di hotel secara tertutup.
Selain bertentangan dengan kebijakan efisiensi negara, hal ini juga mencerminkan substansi RUU yang jauh dari semangat menghapus dwifungsi militer.
Desakan Kepada Pemerintah dan DPR
Dalam pernyataan bersama tersebut, keempat lembaga menyampaikan tiga sikap tegas.
Pertama, mendesak penghentian pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan sembunyi-sembunyi dan bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM.
Kedua, menolak kebangkitan Dwi Fungsi ABRI yang semakin melanggengkan impunitas dari TNI dengan cara pengisian jabatan sipil dari TNI aktif.
Ketiga, mengajak masyarakat sipil untuk bersatu memberikan desakan kepada DPR-RI dan Pemerintah agar menjalankan konstitusi dan ketentuan hukum HAM dengan menolak revisi UU TNI.
“Semoga pernyataan ini dapat menjadi perhatian semua pihak, khususnya bagi DPR-RI dan Pemerintah untuk memperhatikan masukan dan suara masyarakat sipil yang menolak kembalinya Dwi Fungsi TNI yang bertentangan dengan spirit pemajuan demokrasi dan perlindungan HAM, serta kebebasan akademik,” tutup pernyataan tersebut.
Revisi UU TNI yang tengah dibahas ini menjadi isu krusial yang perlu mendapat perhatian publik secara luas, mengingat dampaknya yang potensial terhadap masa depan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.
Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pihak DPR-RI maupun pemerintah terkait pernyataan bersama keempat lembaga tersebut. (*)