Pengenalan Ekolabel dalam Pengadaan Barang/Jasa
KLIKSAMARINDA – Pemerintah Indonesia telah bersiap mengubah pola pengadaan barang dan jasanya menjadi lebih “hijau” atau berkelanjutan. Untuk mewujudkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Yang Berkelanjutan, dibutuhkan produk-produk dari produsen atau industri hijau yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini dituangkan dalam aturan yang berlaku lewat Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 16 Tahun 2020 tentang Penetapan Produk Hijau/Hasil Industri Hijau Untuk Dapat Digunakan Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Yang Berkelanjutan, yang diterbitkan pada 18 Mei 2020.
Salah satu indikator barang dan jasa ramah lingkungan yang paling mudah ditemui adalah ekolabel. Ada 3 tipe ekolabel, yaitu ekolabel tipe 1 untuk barang dan jasa yang tersertifikasi oleh Llembaga Sertifikasi Ekolabel (LSE) berdasarkan kriteria SNIembaga independen, tipe 2 klaim swadeklarasi yang diverifikasi oleh Lembaga Verifikasi Ekolabel (LVE), serta tipe 3 yang berbasis pada data kuantitatif yang disampaikan oleh konsumen.
“Ekolabel ini adalah suatu jembatan, antara bisnis yang memproduksi barang dan jasa ramah lingkungan dengan konsumennya. Itulah pentingnya ekolabel ini,” ujar Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Noer Adi Wardojo saat hadir sebagai pembicara dalam Pelatihan Ekolabel untuk bisnis yang diadakan IBCSD, 25 Februari 2021.
Pustanlinghut KLHK mencatat, dari tahun 2016 sampai 2019 telah terjadi peningkatan produk ramah lingkungan yang teregister. Pada tahun 2019 terjadi peningkatan signifikan dengan adanya 23 produk yang telah diregister sebagai produk yang memenuhi ekolabel tipe I, dimana pada tahun 2016 hanya ada 4 produk.
Untuk produk dengan ekolabel tipe II, pada tahun 2016 hingga 2019 terjadi peningkatan dari 18 produk menjadi 27 produk. Sementara itu, penerapan gaya hidup yang lebih “hijau” dan perilaku “green consumerism” sudah lebih dulu dimulai di masyarakat.
“Hasil survei WWF-Indonesia dan Nielsen Survey tahun 2017 menunjukkan, sebanyak 63% konsumen Indonesia bersedia mengkonsumsi produk ramah lingkungan walaupun dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan peningkatan kesadaran konsumen yang signifikan dan mengindikasikan kesiapan pasar domestik menyerap produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan. Kendati demikian, dari hasil survey yang sama, sebanyak 53% menyatakan belum bisa menemukan produk ramah lingkungan di toko-toko sekitar,” ujar Lilik Unggul Rahardjo, Executive Committee IBCSD.
Direktur Pemberdayaan Konsumen Kementerian Perdagangan, Ojak Simon Manurung juga menambahkan, “green consumer, menurut Indeks Keberdayaan Konsumen, konsumen di Indonesia dikategorikan dalam kondisi ‘mampu’ atau konsumen itu memikirkan dahulu barang yang akan dikonsumsi, karenanya perlu edukasi ekolabel dan lainnya.”
Untuk menyambut munculnya “green consumerism” dan mendorong peningkatan ketersediaan barang dan jasa dengan ekolabel, berbagai upayapun dilakukan. Salah satu contohnya dengan pelatihan ekolabel terhadap sektor bisnis sebagai penyedia barang dan jasa yang ramah lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD). Pelatihan dengan platform zoom itu berlangsung selama dua hari, dengan puluhan perwakilan perusahaan hadir sebagai peserta.
Pelaku usaha dan bisnis secara keseluruhan memang diharapkan untuk mulai menerapkan proses konsumsi dan produksi bertanggung jawab sesuai dengan SDG 12, agar dapat terus bertahan. Menggunakan platform seperti working group untuk bisnis besutan IBCSD dengan tema Greenlifestye bisa menjadi salah satu alternatif untuk belajar dan mencari informasi demi bisnis yang lebih berkelanjutan. (*)