Kaltim Perlu Indikator Akurat Untuk Mengidentifikasi Kemiskinan
KLIKSAMARINDA – Dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Salehuddin, menyoroti pentingnya kesepakatan mengenai indikator kemiskinan.
Menurutnya perlu kerjasama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk merumuskan indikator yang lebih akurat.
Salehuddin menerangkan, indikator kemiskinan yang tepat sangat krusial, terutama ketika mempertimbangkan konteks unik seperti desa nelayan.
Salehuddin menggarisbawahi perlunya identifikasi bersama indikator yang menyebabkan sebuah desa masuk dalam kategori miskin. Hal ini menjadi penting karena setiap desa memiliki konteks uniknya sendiri.
Misalnya, indikator sanitasi tidak selalu mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Desa-desa nelayan sering kali diidentifikasi sebagai miskin hanya berdasarkan indikator sanitasi, sementara ekonomi mereka mungkin cukup baik.
“Harus dicari bersama dulu kira-kira apa indikator yang menyebabkan sebuah desa itu masuk dalam kategori miskin,” ungkap Salehuddin ditemui beberapa waktu lalu.
Salehuddin menduga, dalam konteks Kaltim Badan Pusat Statistik (BPS) mungkin menggunakan sejumlah indikator yang mungkin kurang relevan. Salehuddin menyampaikan bahwa BPS menggunakan indikator yang tidak selalu sesuai dengan kondisi unik di Bumi Mulawarman. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan di Kaltim terkadang terhitung tinggi akibat ketidaksesuaian indikator yang digunakan.
Karena itu, Salehuddin menegaskan urgensi kesepakatan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, bahkan kementerian untuk menetapkan indikator kemiskinan yang dapat diterima bersama. Tanpa kesepakatan ini, kebijakan sosial dan ekonomi sulit diarahkan secara efektif. Kaltim sebagai daerah yang sangat unik memerlukan pendekatan yang sesuai dengan realitas lokalnya.
“Selama ini, kan BPS menggunakan beberapa indikator yang mungkin, kalau untuk Kaltim justru tidak relevan. Notabenenya Kaltim ini kan sangat unik, bisa saja berbeda dari daerah lain,” ujar Salehuddin.
Sebagai contoh, Salehuddin mencatat bahwa di beberapa desa nelayan, indikator kemiskinan sering kali dihubungkan dengan sanitasi. Namun, hal ini dapat menjadi pemandu yang kurang akurat, terutama jika desa tersebut memiliki ekonomi yang mapan.
Dalam survei yang dilakukan, desa nelayan seringkali masuk dalam kategori kemiskinan hanya karena indikator sanitasi. Padahal masyarakatnya mungkin memiliki tabungan yang signifikan dan mampu membiayai pendidikan anak-anak hingga ke luar negeri.
Salehuddin menegaskan bahwa generalisasi indikator kemiskinan sering kali menyebabkan kesalahan dalam penilaian. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih kontekstual untuk mengukur tingkat kemiskinan.
Politikus Golkar ini juga realitas unik di Kaltim, dengan segala kekayaan sumber daya dan karakteristiknya, menunjukkan perlunya penyesuaian dalam menetapkan indikator kemiskinan. (Dya/Adv/DPRDKaltim)