RUU Perlindungan PRT Demi Kejahteraan
Pada peringatan Hari PRT Nasional 2021 ini, Komnas Perempuan kembali mengingatkan bahwa kehadiran Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT merupakan bagian dari wujud tanggung jawab negara. Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT dinilai sebagai kebijakan yang bisa menyejahterakan PRT.
Satyawanti Mashudi dari Komnas Perempuan, mendorong agar DPR RI untuk menetapkan RUU Perlindungan PRT sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
“Dan RUU Inisiatif DPR membahas serta mengesahkan ini. Pengakuan dan perlindungan PRT melalui UU akan memberikan kepastian hukum, perlindungan dan pemenuhan hak konstitusi kaum perempuan khususnya PRT serta pemberi kerja,” kata Wanti dalam acara konferensi pers Peringatan Hari PRT Nasional, Senin (15/2).
Lanjutnya, pada masa pandemi perlindungan terhadap PRT sangat mendesak untuk segera diwujudkan guna mengurangi kerentanan dan segala bentuk kekerasan, penyiksaan, serta perdagangan manusia.
“Mendorong setiap fraksi di Badan Legislasi DPR RI untuk terus berkomitmen, berpihak dan berupaya dalam melindungi warga negara khususnya perempuan PRT. RUU ini menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan serta mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan dan semangat gotong royong yang menjadi nilai bangsa Indonesia,” jelas Wanti.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
“Konvensi ini merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap PRT yang selama ini terpinggirkan dari skema perlindungan pekerja pada umumnya. Dengan meratifikasi Konvensi ILO 189, maka dalam hubungan internasional pemerintah Indonesia mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam upaya peningkatan perlindungan PRT di luar negeri,” ungkap Wanti.
Hal senada disampaikan Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini. Kata dia, pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT akan menguntungkan banyak pihak, termasuk pemberi kerja serta ekonomi negara pada umumnya.
“Tidak ada ruginya sama sekali bagi DPR-RI serta pemerintah untuk segera mengakui dan melindungi PRT melalui UU. Sebaliknya, kepastian hukum, perlindungan terhadap kedua belah pihak (pemberi Kerja dan PRT) akan membawa manfaat dan keuntungan bagi semua ” katanya.
Masih kata Theresia, sudah terlalu lama RUU Perlindungan PRT mengantre di DPR RI. RUU Perlindungan PRT juga telah berulang kali terdaftar sebagai Prolegnas DPR RI sejak periode 2004-2009 hingga kemudian masuk RUU prioritas Prolegnas 2020. Namun, lagi-lagi belum membuahkan hasil yang positif.
“Saatnya DPR RI menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok miskin, marginal dan rentan,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini mengatakan sudah 17 tahun RUU Perlindungan PRT di DPR tetap dihalangi. Padahal PRT bekerja di wilayah domestik yang menopang produktivitas nasional bahkan global. Namun, PRT masih bekerja dalam situasi tidak layak, rentan kekerasan, eksploitasi hingga perbudakan.
“Negara telah gagal menjalankan amanat Pancasila dan UUD 1945. Negara terus menerus melakukan diskriminasi, abai terhadap PRT dan memposisikan diri lebih sebagai agen perbudakan modern, daripada memberikan perlindungan. Atas hal tersebut Jala PRT mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mewujudkan UU Perlindungan PRT. Tidak ada lagi alasan untuk menunda pembahasan RUU Perlindungan PRT,” katanya kepada VOA.
Menurut catatan Jala PRT, sejak tahun 2018 sampai dengan 2020 telah terjadi 1.743 kasus kekerasan terhadap PRT. Demikian pula pada masa pandemi Covid-19, PRT sebagai warga negara dan pekerja luput dari subsidi pemerintah. Sementara 82 persen PRT tidak bisa mengakses Jaminan Sosial sebagai aspek dasar dalam kebutuhan hidup.
“PRT terancam hidupnya dalam krisis pangan dan papan,” jelas Lita.
Sumber VOA