Alat Musik Sape Kalimantan Timur dari Ritual Spiritual hingga Panggung Global

KLIKSAMARINDA – Sape merupakan alat musik petik tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat Dayak di Kalimantan Timur (Kaltim). Bentuknya yang menyerupai gitar menghasilkan petikan suara khas yang telah digunakan dalam upacara adat dan ritual spiritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur selama berabad-abad.
Proses Pembuatan Sape yang Penuh Makna
Helmi atau Onel, seorang pengrajin sape asal RT 25 Mangkurawang, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), mewarisi keahlian membuat sape dari ayahnya. Sejak duduk di bangku SMP, ia telah menekuni kerajinan tradisional Indonesia ini. Kini, hasil karyanya tidak hanya dipasarkan di Kalimantan, Jawa, tetapi juga hingga ke New York, Amerika Serikat.
Pembuatan sape memerlukan keahlian dan ketekunan tinggi. Satu buah sape dapat diselesaikan dalam waktu 6-8 hari kerja. Prosesnya dimulai dengan pemilihan kayu berkualitas, umumnya kayu adau atau kayu kelay yang banyak terdapat di Kalimantan. Kayu ini dipilih karena memiliki kualitas suara yang baik dan tahan lama, serta berbobot ringan sehingga nyaman dimainkan.
Pembentukan badan sape menggunakan alat-alat tradisional seperti parang, pahat, dan gergaji. Proses ini memerlukan kehati-hatian dan kecermatan tinggi untuk menghasilkan bentuk yang sempurna. Setelah badan terbentuk, pengrajin melanjutkan dengan membuat desain dan ukiran pada sape. Ukiran pada sape biasanya memiliki makna simbolis yang terkait dengan budaya dan kehidupan Suku Dayak.
Tahap selanjutnya adalah pemasangan senar dan penyetelan untuk memastikan sape menghasilkan suara yang sesuai dan harmonis. “Kemarin kayunya dari kayu bayur. Kalau ini, kan kayunya kayu kelay atau bayur, ini kan kayunya ringan, kalau kayu yang lain, kan berat,” ungkap Helmi menjelaskan pemilihan material untuk sape pesanan ke New York.
Makna Spiritual dan Perkembangan Modern
Aditya, seorang seniman sape, menjelaskan bahwa alat musik sape memiliki makna spiritual yang dalam dalam budaya Dayak. Awalnya, sape hanya dimainkan oleh pria dalam komunitas tertentu dan memiliki fungsi spiritual. Namun seiring perkembangan zaman, fungsinya mulai bergeser ke arah seni pertunjukan.
Sebagai warga Dayak, Aditya mengaku sejak sekolah dasar sudah diwajibkan belajar alat musik sape. “Dulu alat musik sape hanya sedikit yang memilikinya, namun saat ini telah banyak pengrajin lokal yang bisa membuatnya, sehingga alat ini semakin mudah dicari dan dipelajari,” ujarnya.
Kini, tidak hanya orang Dayak yang mahir memainkan sape, tetapi juga suku-suku lain telah dapat memainkannya. Hal ini menunjukkan proses budaya Dayak Kalimantan dapat diterima dan diapresiasi secara luas.
Karya Berkelas Dunia
Mengenai sape buatan Helmi, Aditya memberikan pujian khusus. “Ini dia terlihat dari tangan, sama pembuatan atasnya ini juga, dan ciri khas ukiran dia juga lebih rapi, lebih halus,” ungkapnya menilai kualitas kerajinan tradisional Indonesia tersebut.
Sape buatan Helmi dijual dengan harga Rp1,5 juta hingga Rp7,5 juta tergantung dari jenis ukiran dan lukisan yang diterapkan. Harga ini sebanding dengan kualitas dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Sape tidak hanya memiliki nilai estetika yang tinggi, tetapi juga makna spiritual yang dalam. Keberadaannya sebagai warisan budaya Dayak terus dilestarikan dan dikembangkan, menjadikan alat musik tradisional ini sebagai duta budaya Indonesia di kancah internasional. (Suriyatman)